Andi Saksofone, Potret Sulitnya Cari Kerja bagi Penyandang Disabilitas di Surabaya

Komunitas disabilitas di Sidoarjo, Jawa Timur LIRA Disability Care (LDC) terenyuh melihat penyandang disabilitas netra di Surabaya yang sulit mendapatkan pekerjaan walau memiliki banyak prestasi.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 30 Agu 2022, 20:27 WIB
Andi Saksofone (kemeja salur) dan LDC Sidoarjo. Foto: LDC

Liputan6.com, Jakarta Komunitas disabilitas di Sidoarjo, Jawa Timur LIRA Disability Care (LDC) terenyuh melihat penyandang disabilitas netra di Surabaya yang sulit mendapatkan pekerjaan walau memiliki banyak prestasi.

Penyandang disabiitas itu adalah Andi Iwan Hermansyah. Pria yang pandai bermain alat musik tiup saksofon ini bahkan memiliki panggilan akrab “Andi Saksofone”.

Alat musik tersebut telah dipelajarinya sejak duduk di bangku perkuliahan. Selain saksofon, pria lulusan Universitas Negeri Surabaya (UNESA) ini juga menguasai hampir semua alat musik tiup dan beberapa alat musik lainnya seperti keyboard dan piano.

“Alhamdulillah, saya menguasai hampir semua alat musik tiup dan piano,” kata Andi mengutip keterangan pers yang dibagikan LDC Selasa (30/8/2022).

Kemampuannya memainkan alat musik membawanya ke berbagai panggung. Mulai dari tampil di kafe-kafe hingga ke hotel berbintang.

Ia juga acap kali mendapat undangan manggung di berbagai tempat di Surabaya. Bahkan, kontrak berdurasi panjang pun pernah tandatangani. Salah satu hotel bintang lima memintanya menjadi pemain musik di sana.

Namun, hal ini berubah ketika pandemi COVID-19 datang. Ditambah, penggantian manajemen hotel membuatnya haru berhenti dari pekerjaannya.

Tak dapat dimungkiri, kebutuhan sehari-hari tetap ada dan perlu dipenuhi. Hal inilah yang memaksa  pria kelahiran 1977 itu untuk tetap semangat mencari rupiah. Setiap hari Jumat, Andi Saksofone bermain musik di salah satu kafe di Kota Surabaya.


Mengandalkan Saweran

Ilustrasi saksofon, Pixabay.

Ini merupakan pekerjaan yang ia dapat dari rekannya. Meski begitu, penghasilannya tidak pasti karena hanya mengandalkan saweran dari pengunjung.

“Alhamdulillah, masih ada teman yang kasih jadwal main di kafenya. Soal hasil ya jangan ditanya, namanya juga saweran dari pengunjung, jadi pendapatan saya ya tidak pasti,” ujarnya.

Ia pun bercerita, sebagai seniman dengan disabilitas, ia belum pernah mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah Kota Surabaya khususnya dalam pengembangan minat dan bakat yang dimilikinya. 

Andi memiliki impian untuk menjadi seorang guru musik dengan modal pengetahuan dan pendidikan tinggi yang pernah ia kenyam. Mendapat pekerjaan adalah hal yang sangat sulit baginya, ia pun dikejar waktu karena usianya yang semakin tua.

“Usia saya sudah kepala empat (empat puluhan), tetapi hingga saat ini saya belum mendapatkan pekerjaan yang bisa diandalkan untuk keberlangsungan hidup saya di masa depan," jelas Andi

“Kalau diberikan kesempatan, ya saya ingin menjadi guru musik di sekolah atau lembaga pendidikan, karena itu passion saya. Gaji UMR pasti saya syukuri, yang penting ada kepastian, tidak seperti saat ini, semua serba tidak pasti," tambahnya.


Sering Menyuarakan Aspirasi

Menurut pengakuannya, pria asal Balongsari Tama Selatan 5 blok 8D, Kelurahan Balongsari, Kecamatan Tandes kota Surabaya itu sudah sering menyuarakan aspirasi dan uneg-unegnya dari tingkat kelurahan hingga beberapa dinas, tetapi hasilnya nihil.

Guru musik memang menjadi profesi impiannya, tapi ia juga sangat terbuka dengan pekerjaan-pekerjaan halal lain yang bisa membantunya mendapatkan pendapatan tetap.

Ia sempat menyuarakan keluh kesahnya secara baik-baik lewat pesan singkat ataupun telepon. Bahkan ia sempat disurvei. Namun, tidak ada kelanjutan dari survei tersebut.

Ia hanya mendapat sembako yang memang ia syukuri tapi bukan itu keinginannya.

Andi kemudian meminta kepada Walikota Surabaya Eri Cahyadi untuk meresponS pesannya melalui surat yang sudah ia kirimkan bersama LIRA Disability Care terkait permohonannya untuk diberikan kesempatan untuk bertemu dan menyuarakan aspirasinya secara langsung.

“Saya sudah mencoba bertemu pak walikota pada hari Sabtu, itu kan jadwalnya beliau untuk menyapa masyarakat, tapi waktu itu libur katanya, jadi ya akhirnya saya balik pulang, padahal sudah jauh-jauh dari rumah ke balai kota."


Kehidupan yang Lebih Layak

Menurut Ketua LDC Abdul Majid, ini adalah salah satu potret buram dan realita dari gemerlapnya pembangunan kota Surabaya dengan APBD triliunan rupiah tiap tahunnya.

Piala dan penghargaan dari forum internasional atas capaian pembangunan kota hanya terwakili dari tata kota, keasrian hingga tata kelola pemerintahan.

Namun, pembangunan manusia dan kesejahteraan belum tampak memenuhi rasa keadilan khususnya bagi penyandang disabilitas di kota pahlawan.

Majid yang juga menyandang disabilitas netra berharap agar orang-orang seperti Andi dapat didengar suaranya dan diberikan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

 

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya