Mudah Dibaca, Tiap Harga Komoditas Naik Subsidi BBM Selalu Jebol

Kuota BBM subsidi Pertalite saat ini jebol sekitar 5 juta kilo liter (KL), kemudian Solar jebol sekitar 2 juta KL. Jika ditotal, itu mencapai 7 juta KL atau setara 7 miliar liter.

oleh Arief Rahman H diperbarui 01 Sep 2022, 09:30 WIB
Sejumlah kendaraan mengisi bahan bakar minyak (BBM) di sebuah SPBU di Jakarta, Kamis (31/3/2022). PT Pertamina (Persero) akan memberlakukan tarif baru BBM jenis Pertamax menjadi Rp 12.500 pada 1 April 2022. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat ekonomi memandang jebolnya subsidi BBM yang dialokasikan pemerintah terdapat satu pola yang sama. Yakni, terjadi ketika adanya kenaikan harga komoditas secara internasional.

Ketua Dewan Pakar Transisi Energi Indonesia Salamuddin Daeng mengatakan hal itu terlihat dari kenaikan harga komoditas yang mempengaruhi kenaikan harga BBM beberapa waktu. Ia mencontohkan kenaikan harga kelapa sawit, batu bara, dan nikel.

"Kalau menurut eksperimen saya, aaya lihat dari alur cerita itu setiap kenaikan harga komositas, itu pasti jebol, kalo harga komoditas tambang, sawit, batu bara, nikel naik itu jebol, perhatikan aja," ungkapnya dalam diskusi bertajuk 'Subsidi Energi BBM untuk Siapa? Review Nota Keuangan 2023 dan Catatan Kritis', ditulis Kamis (1/9/2022).

Sebelumnya, menurut catatan Liputan6.com, Presiden Joko Widodo telah 7 kali mengubah harga BBM Subsidi. 4 kali diantaranya menaikkan harga Premium dan 2 kali menaikkan Solar, sementara 3 kali menurunkan harga Premium dan 5 kali menurunkan harga Solar.

Daeng menduga, ini berkaitan dengan penggunaan BBM Subsidi di sektor tambang dan komoditas unggulan yang juga disinggung salam Peraturan Presiden nomor 191 Tahun 2014.

"Berarti apa? Kalau merujuk ke perpres 191 kan perusahaan tambang sawit itu dilarang untuk dapat oengecualian dapat bbm susbdii, tapi kalau liat kecederungan setiap kenaikan harga komoditas ini barang jebol," terang dia.

Menurut datanya, Pertalite saat ini jebol sekitar 5 juta kilo liter (KL), kemudian Solar jebol sekitar 2 juta KL. Jika ditotal, itu mencapai 7 juta KL atau setara 7 miliar liter.

Dengan asumsi harga Rp 15.000 per liter, totalnya mencapai Rp 105 triliun. Angka ini menjadi jumlah kelebihan biaya yang ditanggung subsidi.

"Sekarang aja jebol Pertalite itu 5 juta KL, 5 miliar liter, jebol Solar 2 juta KL, 2 miliar liter, 7 miliar liter jebol kalikan saja 15 ribu itu dua-duanya itu berapa? Uangnya sementara subsidi di APBN dikurangi. Saya lihat ini ada miss ya, semua pengaturan ini tak menyatu, tak terintegrasi dengan lainnya," papar dia.

 


Dilibatkan

Pengendara mengisi BBM di SPBU Jakarta, Minggu (10/2). Hari ini BBM kembali diturunkan Pertamina adapun penurunan harga BBM ini, untuk wilayah Jabodetabek, harga Pertamax Turbo diturunkan dari Rp 12.000 jadi Rp 11.200 per liter.(Liputan6.com/AnggaYuniar)

Lebih lanjut, Pengamat Ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia ini meminta kalau Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Pertamina, dan Ombudsman dilibatkan dalam penyusunan nilai subsidi energi di APBN. Alasannya, subsidi energi merupakan hal yang strategis.

"Begitu mereka mendapat masalah dengan kenaikan harga minyak dunia kan mereka kelabakan. Mestinya institusi-institusi terkait dilibatkan, BPH dilibatkan, tak hanya ESDM, Ombudsman dilibatkan semua dilibatkan dalam hal mencari solusi," terangnya.

Masih terkait subsidi, ia menilai ruang fiskal pemerintah masih memiliki kemampuan untuk menanggung subsidi. Meski ada kenaikan harga komoditas tambang dan kelapa sawit, ia meminta itu tak jadi alasan melonggarkan subsidi energi.

 


Persempit Konsumen

Pengendara motor mengisi kendaraannya dengan BBM di salah satu SPBU, Jakarta, Selasa (15/3). Pertamina menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) umum Pertamax, Pertamax Plus, Pertamina Dex, dan Pertalite Rp 200 per liter. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Diberitakan sebelumnya, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengakui sistem penyaluran BBM Subsidi masih dilakukan secara terbuka. Alih-alih mengganti dengan sistem tertutup, pemerintah memilih untuk mempersempit konsumen BBM subsidi tersebut.

Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan, itu dilakukan dengan harapan penyaluran BBM Subsidi tepat sasaran. Caranya dengan melakukan pendataan yang saat ini tengah dilakukan.

Untuk diketahui, pendataan yang dimaksud mengarah pada pendaftaran melalui situs MyPertamina. Sejauh ini, setidaknya ada 1 juta orang yang telah mendaftar.

"Subsisdi masih terbuka masih di harga, jadi belum menyasar orang-orang yang berhak atas subsidi tersebut. Ini memang yang jadi bahan pemikiran kita juga di Kementerian ESDM, di BPH, di Kemenkeu, saya kira juga ya gimana cara kita agar subsidi ini tepat sasaran kita coba persempit komosumennya," kata dia dalam Diskusi bertajuk 'Subsidi Energi BBM untuk Siapa?', Rabu (31/8/2022) malam.

Pendataan ini menurutnya jadi satu poin penting untuk menjadikan penyaluran BBM subsidi tepat sasaran. Meski, implementasinya kedepan masih menunggu aturan yang jelas.

Mengacu beberapa upaya pembatasan kebelakang, Saleh mengatakan kalau sistem MyPertamina saat ini dinilai sudah paling siap. Artinya, telah memiliki kemampuan sebagai platform penopang pembatasan penyaluran BBM Subsidi.

"Saya pikir MyPertamina lebih siap dan komprehensif dan bisa meminimalisir ketidaktepatan subsidi yang diberikan kepada masyarakat kita," terangnya.

Kendati begitu, ia mengakui sistem pendaftaran MyPertamina masih belum maksimal, baru sekitar 1 juta orang yang mendaftar. Satu hal yang menurutnya bisa mendorong jumlah ini adalah terbitnya revisi Peraturan Presiden Nomor 191/2014.

"Saya kira memang misalnya Perpres keluar, disitu clear apa yang disitu nanti promosi atau pendaftaran tentu akan dilakukan lebih masif," ujarnya.

 


Catatan Ombudsman

Kertas bertuliskan "Pertalite Dalam Perjalanan (Habis)" terpampang di salah satu SPBU kawasan Galur, Johar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (11/8/2022). Kekosongan pertalite diduga disebabkan oleh migrasi pengguna pertamax dan BBM nonsubsidi lainnya akibat disparitas harga yang cukup tinggi. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Pada kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman RI Hery Susanto melihat kalau MyPertamina sebagai satu terobosan dalam digitalisasi. Namun, pelaksanaan di lapangan masih belum tepat sasaran.

Hal ini didapatkan dari proses asesmen yang dilakukan oleh Ombudsman. Di sisi lain, pelaksaaan MyPertamina ini masih terbatas di sebagaian kecil SPBU di daerah-daerah besar.

"Dalam catatan kami sebarannya hanya di memang sudah 10 provinsi, dan belum semua kabupaten kota, dan jauh dari basis perekonomian rakyat di level bawah. Paling banyak ditemukan pendaftaran MyPertamina itu sopir sama ojek dan lain-lain, nelayan kecil sekali, petani gimana akses mereka suapya bisa masuk MyPertamina, ini belum terserap dalam aplikasi tersebut," paparnya.

Masalah yang ditemukan ternyata adanya keterbatasan pengetahuan dari kelompok kecil tersebut untuk mendaftar melalui MyPertamina. Ini jadi satu alasan kalau sosialisasi harus dilakukan lebih masif lagi.

"Artinya disini aplikasi harus melindung (sesuai dengan) persyarakat dalam undang-undang pelayanan publik, pelayanan informasi, dan konsultasi ini belum masif dilakukan," tegasnya.

"Sehingga pemenitah terlalu menggemborkan upaya lewat MyPertamina di seluruh lapisan masyarakat, harus dievaluasi dan diperbaiki untuk serapan pembatasan," tambah dia.

Infografis Siap-Siap Kenaikan Harga BBM Bersubsidi. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya