Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus menggodok rencana kenaikan harga bensin. Terkait rencana kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi ini memang sudah terus bergulir.
Beragam tanggapan dari berbagai pihak pun muncul soal rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Salah satunya seperti disampaikan Ekonom Senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri.
Baca Juga
Advertisement
Faisal mengatakan, penyebab kuota BBM subsidi selalu cepat habis dari tahun ke tahun, karena harga jual eceran BBM bersubsidi yang disalurkan PT Pertamina (Persero), seperti Pertalite dan Solar, selalu berada di bawah harga yang terbentuk akibat mekanisme pasar.
Karena itu, siapapun ingin mengonsumsi BBM bersubsidi, termasuk golongan mampu. Menurutnya, kondisi ini pada akhirnya menyebabkan penyaluran BBM bersubsidi dari dulu hingga saat ini tidak pernah tepat sasaran. Sebab, faktor pengendaliannya diserahkan pada mekanisme kuota.
"Hukumnya, kalau menjual di bawah ongkos, pasti langka. Mau tentara, Kopassus sekalipun diturunkan tidak bisa (melarang penjualan BBM subsidi). Malaikat pun akan membeli yang lebih murah kalau ada dua harga," kata Faisal dikutip Rabu 31 Agustus 2022.
Kemudian, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo mengaku, pihaknya menolak rencana kenaikan BBM bersubsidi.
"Saat ini untuk tarif angkutan penyerangan yang berlaku saja masih berada di bawah perhitungan HPP yang telah dihitung oleh pemerintah yaitu 35,1 persen dibawah HPP. Ini yang sedang dimintakan kenaikan supaya pengusaha dapat menutup biaya operasional yang ada," ujar Khoiri saat berbincang dengan Liputan6.com di Surabaya.
Berikut sederet tanggapan berbagai pihak soal rencana kenaikan harga bensin dihimpun Liputan6.com:
1. Ekonom
Pada 2022 ini pemerintah mematok subsidi BBM Rp 502,4 triliun, yang terdiri dari subsidi energi Rp 208,9 triliun dan kompensasi energi sebesar Rp 293,5 triliun. Saat ini subsidi pertalite hanya tersisa 6 juta kiloliter dari 23 juta kiloliter subsidi yangdisepakati hingga akhir 2022.
Ekonom Senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri, mengatakan penyebab kuota BBM subsidi selalu cepat habis dari tahun ke tahun, karena harga jual eceran BBM bersubsidi yang disalurkan PT Pertamina (Persero), seperti Pertalite dan Solar, selalu berada di bawah harga yang terbentuk akibat mekanisme pasar.
Karena itu, siapapun ingin mengonsumsi BBM bersubsidi, termasuk golongan mampu. Menurutnya, kondisi ini pada akhirnya menyebabkan penyaluran BBM bersubsidi dari dulu hingga saat ini tidak pernah tepat sasaran. Sebab, faktor pengendaliannya diserahkan pada mekanisme kuota.
"Hukumnya, kalau menjual di bawah ongkos, pasti langka. Mau tentara, Kopassus sekalipun diturunkan tidak bisa (melarang penjualan BBM subsidi). Malaikat pun akan membeli yang lebih murah kalau ada dua harga," kata Faisal dikutip Rabu 31 Agustus 2022.
Faisal pun menyarankan cara lain yang bisa diterapkan pemerintah untuk membendung dampak pergerakan harga minyak mentah dunia ke besaran subsidi adalah dengan memanfaatkan mekanisme fiskal.
Mekanisme fiskal yang bisa digunakan, yakni dengan menyesuaikan pelaksanaan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap konsumsi BBM.
"Jika harga minyak sedang tinggi-tingginya, pemerintah bisa memungut PPN 11 persen. Tapi, jika harga minyak mentah turun, pungutan PPN ditiadakan," ujarnya.
Ditambahkan Ekonom Center of Economics Law and Studies (Celios) Bhima Yudhistira, meminta pemerintah mencermati dampak yang terjadi jika harga Pertalite naik. Apalagi pada Juli 2022 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi bahan pangan mencapai 11 persen.
"Kenaikan harga BBM jenis subsidi terutama Pertalite tolong benar-benar dicermati baik-baik oleh pemerintah. Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM?," kata Bhima saat dihubungi merdeka.com.
Bhima menuturkan, kenaikan harga Pertalite tidak hanya mengancam masyarakat miskin di Indonesia. Kalangan menengah juga rentan terhadap kenaikan BBM dengan RON 90 ini.
Pasalnya, masyarakat kelas ini sebelumnya memang mengkonsumsi BBM jenis Pertamax. Namun karena harganya naik menjadi Rp 12.500 per liter, mereka pun beralih menggunakan Pertalite.
"Mungkin sebelumnya mereka kuat beli Pertamax, tapi sekarang mereka migrasi ke Pertalite dan kalau harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan korbankan belanja lain," tutur Bhima.
"Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin," sambungnya.
Konsumsi belanja masyarakat yang berkurang ini bisa menimbulkan efek domino yang lebih luas. Penurunan permintaan barang bisa membuat sektor manufaktur terganggu dan berakhir pada tidak tercapainya target pemulihan ekonomi nasional.
"Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar," kata dia.
Selain itu, kenaikan harga Pertalite bisa meningkatkan inflasi. Jika kenaikan terjadi dengan cepat, serapan tenaga kerja akan semakin terganggu.
Ancaman Indonesia mengalami stagflasi pun tak terhindarkan. "Jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi," kata dia.
Akibatnya, tren pemulihan ekonomi di Indonesia yang sudah berjalan lama ini akan terganggu. Bahkan untuk kembali ke fase pemulihan membutuhkan waktu bertahun-tahun.
"Imbasnya bisa 3-5 tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam," pungkasnya.
Advertisement
2. Pengamat
Pemerintah telah menyiapkan anggaran subsidi dan kompensasi BBM dan listrik hingga Rp 502 Triliun dan diperkirakan merangkak naik mencapai Rp 698 Triliun sebagai imbas melonjaknya harga energi dan juga pangan, yang dipicu perang Rusia-Ukraina.
Menanggapi kebijakan tersebut, Direktur Eksekutif Moya Institute Heri Sucipto mengatakan, bahwa langkah penyesuaian harga BBM bersubsidi memang tidak terelakkan, seperti yang terjadi juga di masa lalu.
"Penting dicari formula yang tepat agar kehidupan sosial-ekonomi masyarakat tidak terlaku terdampak” ucap Heri dalam webinar Moya Institute, Rabu 31 Agustus 2022 dengan topik APBN Tertekan: Subsidi BBM Solusi atau Solusi?
Sementara itu, pengamat sosial UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Azyumardi Azra, menyampaikan bahwa penyesuaian harga BBM yang bakal ditempuh pemerintah memang tidak dapat dihindari. Hal ini untuk menghindari dampak negatif lebih besar yaitu krisis dan bangkrutnya APBN, seperti dalam kasus Pemerintah AS, yang berkali-kali "lockdown" akibat likuiditas keuangan yang terganggu.
Azyumardi menyebutkan, keinginan pemerintah menyesuaikan harga BBM boleh saja diterapkan, namun jika bisa dilakukan secara bertahap agar masyarakat tidak terkejut dan panik. Kemudian pula kebijakan penyesuaian harga BBM ke depannya sebaiknya juga melibatkan banyak pihak, misalnya kelompok masyarakat sipil, karena ini adalah "urusan bersama".
"Saya usulkan kenaikannya jangan sekaligus agar tidak terasa. Kalau naiknya langsung banyak nanti masyarakat yang terkejut,” ujar Azyumardi.
Pembicara lainnya, pengamat ekonomi senior UGM, mantan Ka Wantimpres Dr. Sri Adiningsih, menuturkan bahwa APBN memang perlu dijaga supaya tidak mengalami defisit.
Pasalnya, Sri Adiningsih mengatakan, APBN itu berfungsi bukan hanya untuk subsidi BBM, tetapi untuk memitigasi dampak Pandemi Covud-19 dan untuk memulihkan perekonomian nasional.
Sebab itu, Sri Adiningsih beranggapan, keinginan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM tentu saja didasarkan banyak pertimbangan. Menurutnya bukan sekadar menjaga stabilitas APBN, melainkan juga memacu kesejahteraan masyarakat (public spending), dan kesiapan dukungan anggaran bagi penyelesaian masalah lainnya.
Sementara tu, Pakar kebijakan transportasi, Djoko Setijowarno skeptis jika momentum harga BBM naik akan mengubah kebiasaan masyarakat beralih ke transportasi publik.
"Tergantung pemerintah, berpikirkah ke sana?" ujar Djoko kepada merdeka.com, Rabu (31/8).
Alih-alih kenaikan harga BBM dijadikan sebagai momentum reformasi untuk transportasi publik, Djoko menyampaikan bahwa DPR bahkan berencana mengurangi subsidi transportasi publik sebesar 60 persen.
Jika demikian, Djoko meyakini polemik transportasi tak akan kunjung tuntas.
Dia pun mengkritisi jumlah kendaraan sepeda motor semakin meningkat tajam. Sebab menurutnya, realita tersebut cerminan ketiadaan upaya pemerintah dalam perbaikan transportasi publik, sehingga masyarakat tidak melulu bergejolak akibat kenaikan harga BBM.
"Transportasi umum semakin berkurang, kendaraan pribadi terutama sepeda motor melesat populasinya, saatnya membenahi angkutan penumpang berbadan hukum dan angkutan barang," pungkasnya.
3. Gapasdap
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo mengaku, pihaknya menolak rencana kenaikan BBM bersubsidi.
"Saat ini untuk tarif angkutan penyerangan yang berlaku saja masih berada di bawah perhitungan HPP yang telah dihitung oleh pemerintah yaitu 35,1 persen dibawah HPP. Ini yang sedang dimintakan kenaikan supaya pengusaha dapat menutup biaya operasional yang ada," ujar Khoiri saat berbincang dengan Liputan6.com di Surabaya.
Khoiri mengungkapkan, bagaimana jika nantinya BBM yang pada struktur biaya angkutan penyeberangan merupakan biaya yang terbesar, mengalami kenaikan di kisaran 40 hingga 60 persen (berdasarkan data yang berkembang di masyarakat).
"Berapa tarif yang akan dikenakan kepada masyarakat? Daya beli masyarakat saat ini hanya cukup jika tarif tersebut naik sesuai dengan permintaan kami untuk menutup kekurangan tarif yang terdahulu," ucapnya.
Khoiri mengatakan, jika memang pemerintah berkeinginan menaikkan harga BBM bersubsidi, maka pihaknya minta agar hal tersebut tidak dikenakan untuk moda transportasi laut/penyeberangan.
"Karena segmen pasar dari angkutan laut penumpang/penyeberangan adalah masyarakat kelas bawah yang terbatas daya belinya," ujarnya.
Selain itu, lanjut Khoiri, fungsi strategis angkutan penyeberangan adalah sebagai infrastruktur di negara maritim yang seharusnya fungsi tersebut dijalankan oleh pemerintah, tetapi untuk angkutan penyeberangan, fungsi tersebut dijalankan oleh para pengusaha.
Khoiri melanjutkan, sebagai fungsi infrastruktur dan juga angkutan super massal, harusnya nilai subsidi BBM lebih besar dibandingkan dengan moda transportasi yang tidak merangkap sebagai infrastruktur.
"Apalagi jargon dari Presiden Jokowi adalah pembangunan sektor maritim. Maka Pak Jokowi wajib membaca berita ini, supaya benar-benar mengetahui kondisi yang sebenarnya," ucapnya.
Khoiri menyebut, saat ini kuota BBM bersubsidi berdasarkan penyaluran BBM jenis Solar secara nasional hanya 1,36 persen dari yang seharusnya kurang lebih 1,5 persen.
"Dengan kuota tersebut diharapkan tidak dilakukan pengurangan jumlahnya dan untuk nilai subsidinya juga agar menjadi perhatian pemerintah," ujarnya.
Saat ini, kata Khoiri, kondisi pengusaha angkutan penyeberangan sudah memprihatinkan. Banyak yang terlambat dalam memberikan gaji karyawannya hingga perusahaannya dijual karena tidak mampu mengoperasikannya.
"Kenaikan biaya operasional yang sangat tinggi sedangkan tarifnya masih belum cukup sebagai pemicunya. Jika angkutan penyeberangan mengalami kegagalan, maka tidak bisa tergantikan dengan moda transportasi yang lainnya," ucapnya.
Saat ini Gapasdap sedang mengajukan penyesuaian tarif kepada pemerintah untuk menutup kekurangan dari perhitungan sebelumnya yaitu 35,1 persen. Sehingga harapannya dengan kesulitan operasional yang ada bisa segera direalisasikan oleh pemerintah.
"Dan jika memang pemerintah tidak ingin kenaikan tarif tersebut tidak membebani masyarakat, maka diharapkan tidak terjadi kenaikan tarif pelabuhan maupun jasa asuransi," ujar Khoiri.
Khoiri menegaskan, jika kondisi seperti ini tidak diperhatikan oleh pemerintah, pengusaha akan kesulitan memenuhi standar pelayanan minimum dan juga standar keselamatan internasional, karena yang penting kapal bisa beroperasi.
"Dan jika terjadi kecelakaan maka pemerintah juga ikuta bertanggung jawab terhadap rendahnya tarif sehingga tidak mampu untuk menutup biaya operasional," jelas Khoiri.
Advertisement
4. MUI
Selanjutnya, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Marsudi Syuhud mengemukakan, penyesuaian harga BBM memiliki dua aspek yakni untuk kebaikan publik atau masyarakat dan negara sendiri.
Sasaran dari penyesuaian harga BBM adalah kemaslahatan dan kebaikan bagi rakyat, terutama yang paling membutuhkan. Sehingga BBM bersubsidi yang selama ini masih banyak digunakan konsumen yang tidak berhak dapat dihindari.
"Ini sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu mengutamakan kemaslahatan rakyat banyak", imbuh Marsudi.
Sementara itu, pengamat isu-isu strategis Imron Cotan menggaris-bawahi fakta bahwa pemerintah telah menggelontorkan ratusan triliun rupiah, untuk penanganan Pandemi Covid-19 agar dapat mengatasi krisis kesehatan dan ekonomi yang diakibatnya.
Sementara hasilnya sudah mulai dirasakan masyarakat, ternyata terjadi perang Rusia-Ukraina, yang telah memicu munculnya krisis energi dan pangan global, yang juga menjalar ke Indonesia.
Imron mengungkapkan, kedua negara itu merupakan sumber ekspor gas dan minyak, termasuk pupuk ke Eropa yang menjadi salah-satu mesin pertumbuhan ekonomi dunia. Ketimpangan di Eropa tentu dirasakan bagian dunia lainnya, ujar Imron.
Diharapkan dengan penerapan bantalan sosial, yang ditujukan untuk memberikan jaring pengaman sosial bagi masyarakat bawah dan kaum pekerja, berupa bantuan langsung, subsidi upah, dan subsidi transportasi, rakyat dan pemerintah mampu tampil sebagai pemenang di dalam menghadapi serangkaian krisis saat ini.
5. BPH Migas
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengakui sistem penyaluran BBM Subsidi masih dilakukan secara terbuka. Dengan demikain, mobil-mobil mewah masih bisa menikmati BBM bersubsidi dengan harga yang lebih murah dibanding nonsubsidi.
Namun demikian, alih-alih mengganti dengan sistem tertutup, pemerintah memilih untuk mempersempit konsumen BBM subsidi tersebut.
Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan, itu dilakukan dengan harapan penyaluran BBM Subsidi tepat sasaran. Caranya dengan melakukan pendataan yang saat ini tengah dilakukan.
Untuk diketahui, pendataan yang dimaksud mengarah pada pendaftaran melalui situs MyPertamina. Sejauh ini, setidaknya ada 1 juta orang yang telah mendaftar.
"Subsidi masih terbuka, masih di harga, jadi belum menyasar orang-orang yang berhak atas subsidi tersebut. Ini memang yang jadi bahan pemikiran kita juga di Kementerian ESDM, di BPH, di Kemenkeu, saya kira juga ya gimana cara kita agar subsidi ini tepat sasaran kita coba persempit komosumennya," kata dia dalam Diskusi bertajuk 'Subsidi Energi BBM untuk Siapa?'.
Pendataan ini menurutnya jadi satu poin penting untuk menjadikan penyaluran BBM subsidi tepat sasaran. Meski, implementasinya kedepan masih menunggu aturan yang jelas.
Mengacu beberapa upaya pembatasan kebelakang, Saleh mengatakan kalau sistem MyPertamina saat ini dinilai sudah paling siap. Artinya, telah memiliki kemampuan sebagai platform penopang pembatasan penyaluran BBM Subsidi.
"Saya pikir MyPertamina lebih siap dan komprehensif dan bisa meminimalisir ketidaktepatan subsidi yang diberikan kepada masyarakat kita," terangnya.
Kendati begitu, ia mengakui sistem pendaftaran MyPertamina masih belum maksimal, baru sekitar 1 juta orang yang mendaftar. Satu hal yang menurutnya bisa mendorong jumlah ini adalah terbitnya revisi Peraturan Presiden Nomor 191/2014.
"Saya kira memang misalnya Perpres keluar, disitu clear apa yang disitu nanti promosi atau pendaftaran tentu akan dilakukan lebih masif," jelas dia.
Advertisement
6. Ombudsman
Ombudsman RI menyoroti rencana kenaikan harga BBM Subsidi yang akan dilakukan oleh pemerintah. Padahal kondisi saat ini masyarakat masih belum pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Anggota Omudsman RI Hery Susanto mengatakan dari sisi tata kelola distribusi BBM pun masih dalam proses perbaikan. Sementara sudah muncul rencana kenaikan harga BBM Subsidi.
"Dalam hal kenaikan harga BBM, tentu ini akan, tanpa ditanya sekalipun pasti jawabannya banyak gak setuju, semua kalangan saya kira tak akan setuju," kata dia dalam Diskusi bertajuk Subsidi Energi BBM untuk Siapa?'.
"Dalam kondisi pandemi belum pulih total, masyarakat kecil sudah sangat kesusahan ketika ditambah bebannya, harga pangan, BBM belum naik, (harga) pangan sudah naik," tambahnya.
Pada kondisi ini, masyarakat menengah kebawah disebut akan menjadi golongan yang paling terdampak. Belum lagi berbicara kondisi di beberapa titik yang sulit ditemuinya BBM Subsidi.
"Ini kan satu hal yang menurut kami sangat berimplikasi terhadap perekonomian masyarakat. Kenaikan harga BBM dengan Rp 10.000 per liter saja Pertalite, dan Sola Rp 8.000 per liter akan mendorong inflasi bertambah 0,9 persen," terangnya.
Untuk itu, Hery menyarankan pemerintah tidak dulu menaikkan harga BBM Subsidi. Namun, lebih kepada pembatasan pembelian Pertalite maupun Solar.
Selanjutnya, Peraturan Presiden nomor 191 Tahun 2014 yang sedang direvisi disebut perlu mengatur lebih jelas golongan yang boleh mengakses BBM Subsidi. Utamanya perlu menyasar kelompok pengguna espeda motor dan angkutan umum.
"Gimana pemerintah dalam revisi perpres tersebut dengan penekanan lebih mengakomodasi dari sepeda moor dan angkutan umum saja, angkutan barang sudah ada di perpres tersebut," kata dia.
"Adapun untuk mobil pribadi, kelompok menengah atas lebih baik masuk kategori BBM non subsidi," imbuhnya.
Di sisi lain, menurutnya jika pemerintah masih memasukkan kategori kendaraan pribadi, itu bertentangan dengan Undang-Undang Energi dan Undang-Undang MInyak dan Gas Bumi.
"UU migas Pasal 28 ayat 3 dalam menentukan harga BBM pemerintah punya tanggung jawab sosial terhadap golongan masyarakat tertentu. Subsidi BBM bukan untuk seluruh golongan masyarakat, kalau digeneralisir pemerintah jangan mengeluh lagi kalau banyak dikonsumsi kalangan kaya," bebernya.
7. Menteri ESDM
Di tengah rencana pemerintah menaikkan harga BBM, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, berharap masyarakat bisa melakukan hijrah dari kendaraan pembakaran konvensional ke kendaraan listrik.
Menurut Arifin, dengan beralihnya ke mobil listrik atau motor listrik akan memberikan dampak yang lebih baik tidak hanya bagi pengguna itu sendiri, tetapi juga untuk lingkungan yang lebih hijau.
"Inilah evolusi kendaraan bermotor, yang tadinya bermotor bakar jadi berlistrik, bersih lingkungan dan hemat. Biaya listriknya juga semakin lama semakin kompetitif," jelas Arifin Tasrif, dalam keterangan resminya saat meninjau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Green Energy Station (GES) di Bali.
Tidak hanya itu, konsumen juga menurut Arifin nantinya akan dibebankan dengan beberapa kenaikan harga. Salah satunya adalah BBM di mana dalam waktu dekat pemerintah akan memberlakukan harga baru serta pajak baru terkait polusi kendaraan.
"Sebaliknya, apabila tetap menggunakan bahan bakar fosil, akan semakin mahal. Belum lagi kedepannya nanti kena pajak karbon. Jadi memang kita harus beralih ke energi bersih terbarukan yang memang sumbernya di alam," tambah Arifin.
Mengingat kebutuhan yang semakin besar, Arifin juga mendorong partisipasi seluruh pihak untuk mempercepat transisi menuju kendaraan listrik menuju efisiensi nasional.
"Jadi memang siapa pun bisa ikut, bagaimana kita bisa mendorong demand kendaraan listrik. Dari sisi biaya bahan bakar," pungkasnya.
Advertisement