Liputan6.com, Jakarta- Penolakan berbagai elemen masyarakat sipil terhadap Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kian kencang. Kelompok Kerja (Pokja) Nasional RUU Sisdiknas dinilai bisa menjadi solusi untuk membuka ruang dialogis bagi pemerintah dan kelompok masyarakat sipil.
“Kami sepakat jika UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas harus direvisi karena dinamika pengelolaan pendidikan nasional sudah jauh berubah dibandingkan kondisi 20 tahun lalu. Kendati demikian harus dibuka ruang dialog yang lebih transparan mengingat banyaknya penolakan dari kelompok masyarakat sipil. Maka saya menginisiasi adanya Kelompok Kerja (Pokja) Nasional RUU Sisdiknas ini,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Kamis (1/9/2022).
Huda menjelaskan kencangnya penolakan draf RUU Sisdiknas yang disusun oleh Kemendikbud Ristek oleh berbagai elemen masyarakat sipil harus ditangkap sebagai bentuk kritik membangun. Suara-suara mereka harus benar-benar didengar dan dipertimbangkan agar UU Sistem Pendidikan Nasional yang ada benar-benar menjadi payung hukum bagi terciptanya ekosistem pendidikan nasional yang sesuai dengan kepentingan bangsa.
“Apalagi suara-suara tersebut disampaikan oleh lembaga-lembaga yang selama ini terlibat aktif dalam pengelolaan pendidikan nasional seperti PGRI, P2G, Muhammadiyah, pemerhati pendidikan, hingga para guru besar,” ujarnya.
Baca Juga
Advertisement
Huda menilai kritikan adanya kelemahan pada sisi aspek prosedural dan materi RUU Sisdiknas yang disampaikan publik masih dalam tahap kewajaran. Dari aspek prosedural misalnya Kemendikbud Ristek memang terkesan berjalan sendiri dan tidak membuka ruang partisipasi publik dalam proses penyusunan draf RUU Sisdiknas.
“Pakar-pakar yang diundang sebagian besar mengaku hanya disuruh mendengarkan poin-poin dalam draf RUU Sisdiknas, sehingga kesannya Kemendikbud Ristek hanya sosialisasi saja. Di samping itu memang belum ada grand desain pendidikan yang disepakati sebagai pijakan dalam pembentukan UU. Hal inilah yang dianggap kelemahan dari sisi prosedur penyusunan draf RUU Sisdiknas,” katanya.
Dikhawatirkan Muncul Kastanisasi
Dari sisi konten atau materi RUU Sisdiknas, kata Huda, kekhawatiran akan munculnya kastanasisasi pendidikan dengan adanya jalur baru persekolahan mandiri yang dilegitimasi di level UU, ketidakjelasan peran Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, polemik penghapusan tunjangan profesi guru harus dijawab secara seksama oleh pemerintah. Menurutnya kekhawatiran ini bisa jadi karena minimnya dialog antara Kemendikbud Ristek dengan publik.
“Bisa jadi antara maksud perancang RUU Sisdiknas dengan publik ada gap yang memicu miss persepsi. Maka sekali lagi perlu ruang dialogis yang lebih luas,” katanya.
Politikus PKB ini menegaskan ruang dialog bagi mereka yang kontra dengan RUU Sisdiknas tidak cukup direspons Kemendikbud Ristek dengan membuat website sosialisasi yang sekaligus berfungsi sebagai penampung keluhan dan masukan publik. Menurutnya masih perlu ada pertemuan-pertemuan fisik antara stake holder pendidikan di Indonesia sehingga mereka bisa berdialog dari hati ke hati terkait format ideal UU Sisdiknas Indonesia.
“Maka kami berharap Pokja Nasional RUU Sisdiknas ini bisa menjadi ruang dialog para stakeholder pendidikan sehingga revisi RUU Sisdiknas benar-benar merupakan bentuk pertemuan ide, gagasan, dan harapan akan terbentuknya sistem pendidikan nasional terbaik yang kita impikan bersama,” pungkasnya.
Advertisement