Sejarah Subsidi BBM di Indonesia Sejak Era Sukarno hingga Kini

Dalam beberapa waktu belakangan, pemerintah memang berencana menaikkan harga BBM Subsidi. Namun, kabar kenaikan ini masih sebatas sinyal-sinyal dari pemerintah.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 03 Sep 2022, 00:00 WIB
Ilustrasi petugas mengisi BBM ke sebuah mobil. (Sumber foto: Pexels.com).

Liputan6.com, Bandung - Pemerintah masih belum memberikan keputusan resminya terkait wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak atau BBM bersubsidi. Sejauh ini paling tidak pemerintah telah mengalokasikan Rp502,4 triliun untuk membayar subsidi dan kompensasi BBM. Namun, bila pemerintah terus mempertahankan harganya, subsidi hanya untuk BBM bisa jebol ke angka Rp698 triliun.

Sebagaimana diketahui, krisis energi dunia membuat Indonesian Crude Price atau ICP alias harga rata-rata minyak mentah Indonesia terus mengalami kenaikan. Akibatnya, beban kompensasi dan subsidi energi pemerintah terus membengkak lantaran pemerintah memutuskan menahan kenaikan harga BBM bersubsidi di tingkat konsumen, terutama Pertalite dan Solar.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi pun angkat bicara mengenai kepastian kenaikan harga BBM Subsidi. Ia menegaskan, soal ini masih dilakukan penghitungan.

Dalam beberapa waktu belakangan, pemerintah memang berencana menaikkan BBM subsidi. Namun, kabar kenaikan ini masih sebatas sinyal-sinyal dari pemerintah.

"BBM semuanya masih pada proses dihitung, dikalkulasi dengan hati-hati, masih dalam proses dihitung dengan penuh kehati-hatian," kata dia kepada wartawan, mengutip Keterangan Pers yang disiarkan akun YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (1/9/2022).

Kenaikan harga BBM tercatat pernah dilakukan pada setiap masa pemerintahan. Pada masa kepemimpinan Presiden Habibie, yang hanya 18 bulan, harga BBM tidak mengalami kenaikan.

Kembali ke belakang, kebijakan subsidi BBM sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan Presiden Sukarno. Pada 1966, pemerintah menerapkan subsidi untuk tiga jenis bahan bakar, yakni Premium, Solar, dan Minyak Tanah.

 


Era Orde Lama

Mengutip The Habibie Center dalam booklet berjudul Kebijakan Subsidi BBM pada Kamis (1/9/2022), dari data dan informasi Kementerian ESDM dan PT Pertamina, penyesuaian harga BBM di masa pemerintahan Presiden Sukarno dilakukan pada 1965 dan 1966.

Subsidi bensin jenis Premium dan Solar untuk kendaraan, serta Minyak Tanah untuk kebutuhan rumah tangga. Harga BBM pada 22 November 1965 yakni Rp0,30/liter untuk Premium, Rp0,20/liter untuk Minyak Tanah dan Rp0,20/liter untuk solar.

Kemudian, terjadi perubahan harga pada 3 Januari 1966 di mana Premium Rp1/liter, minyak tanah Rp0,60/liter dan solar Rp0,80/liter. Penyesuaian kembali terjadi pada 27 Januari 1966 yakni untuk Premium Rp0,50/liter, Minyak Tanah Rp0,30/liter, dan Solar Rp0,40/liter.


Era Orde Baru

Pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, BBM bersubsidi tercatat sekitar 21 kali melakukan penyesuaian harga. Meski begitu, penyesuaian harga BBM bersubsidi pada masa Soeharto tidak selalu dilakukan secara serentak untuk semua jenis BBM bersubsidi. Penyesuaian diberlakukan untuk satu jenis, dua jenis, atau tiga jenis BBM subsidi.

Pada 1967, harga Premium dibanderol Rp4/liter. Sedangkan, di penghujung masa jabatannya pada 1998, harga Premium menjadi Rp1.000/liter.

Berikutnya, harga Minyak Tanah dari Rp1,8/liter (1967) berubah menjadi Rp280/liter (1998). Sementara, Solar dari Rp3,5/liter (1967) menjadi Rp550/liter (1998).


Era BJ Habibie

Pada era Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, yang menjabat sejak 21 Mei 1998-20 Oktober 1999, harga BBM bersubsidi sama dengan harga terakhir pemerintahan Presiden Soeharto. Selama menjabat sebagai presiden, BJ Habibie tidak melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi.


Era Gus Dur

Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang menggantikan BJ Habibie sejak 20 Oktober 1999-23 Juli 2001, diketahui menjabat sekitar dua tahun. Pada masa kepemimpinannya, tercatat enam kali melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi.

Adapun penyesuaian harga BBM bersubsidi di masa Presiden Abdurrahman Wahid relatif sama dengan pemerintahan Presiden Soeharto, yakni tidak selalu diberlakukan secara bersamaan untuk semua jenis.

Pada Oktober 2000, harga Premium yakni Rp1.150/liter, Minyak Tanah Rp350/liter dan Solar Rp 600/liter. Berikutnya, pada 2001 harga Premium Rp1.450/liter, Minyak Tanah Rp1.289/liter dan Solar Rp1.250/liter.


Era Megawati

Selama menjabat sekitar tiga tahun, Presiden Megawati Soekarnoputri tercatat 18 kali melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi. Sebagaimana seperti pemerintahan terdahulu, penyesuaian harga BBM bersubsidi tidak selalu diberlakukan serentak terhadap semua jenis BBM subsidi.

Adapun posisi harga BBM bersubsidi pada Agustus 2001 yakni Premium Rp1.450/liter, Minyak Tanah Rp1.205/liter dan SolarRp 1.190/liter. Kemudian, pada Oktober 2004 harga Premium berubah menjadi Rp1.810/liter, Minyak Tanah Rp1.800/liter dan SolarRp 1.650/liter.


Era SBY

Berikutnya, era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama menjabat selama 10 tahun (20 Oktober 2004-20 Oktober 2014), Presiden SBY tercatat melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi sebanyak delapan kali.

Untuk Premium yang awalnya Rp1.810/liter pada November 2004, berubah menjadi Rp6.500/liter pada Oktober 2014. Dalam rentan waktu yang sama, Minyak Tanah berubah dari Rp1.800/liter menjadi Rp2.500/liter dan Solar dari Rp1.650/liter menjadi Rp5.500/liter.


Era Jokowi

Selanjutnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi setidaknya pernah tujuh kali mengubah harga BBM subsidi sejak ia menjabat pada 2014 lalu. Namun, jumlah ini seiring dengan dinamika di awal periode kedua ia menjabat.

Kemudian, belum termasuk juga dengan hitungan peralihan BBM penugasan dari Premium ke Pertalite yang sama-sama mengalami penyesuaian harga.

Sejak 2014-2016 saja misalnya, Jokowi tujuh kali mengubah harga BBM subsidi. Premium tercatat empat kali mengalami kenaikan harga, dan tiga kali mengalami penurunan harga.

Berbeda dengan Solar yang mengalami dua kali kenaikan harga, sementara telah lima kali mengalami penurunan harga.

Di awal Jokowi menjabat, harga Premium dipatok Rp6.500 per liter, kemudian naik menjadi Rp8.500/liter pada November 2014. Tak lama, pada 1 Januari 2015, Jokowi menurunkan harga Premium menjadi Rp7.600/liter.

Sekitar 2 pekan berselang, Jokowi kembali menurunkan harga Premium menjadi Rp6.600/liter. Tapi, pada Maret 2015, kembali dinaikkan menjadi Rp6.900/liter. Di penghujung bulan yang sama, Jokowi juga menaikkan lagi harga Premium ke Rp7.300/liter.

Berselang cukup lama, harga Premium diturunkan menjadi Rp6.950/liter di tahun 2016. Kemudian, turun lagi menjadi Rp 6.450/liter pada April 2016.

Berbeda dengan Solar, di awal Jokowi menjabat, harganya sebesar Rp5.500/liter, kemudian naik menjadi Rp7.500/liter, dan turun lagi menjadi Rp/7.250 per liter.

Lalu, Jokowi menurunkan lagi menjadi Rp6.400/liter, dan naik menjadi Rp6.900/liter. Menuju penghujung 2015, Jokowi menurunkan lagi harga Solar menjadi Rp6.700/liter, dan turun lagi menjadi Rp5.650/liter di awal 2016. Lalu, kembali turun menjadi Rp5.150/liter di pertengahan 2016.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya