Liputan6.com, Jakarta - Sistem bantuan sosial yang langsung tepat sasaran lebih relevan ketimbang suntikan subsidi untuk barang, seperti terhadap bahan bakar minyak (BBM). Semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, seyogianya mengubah paradigma dari subsidi untuk barang atau produk menjadi bantuan langsung tepat sasaran.
“Kita sebaiknya menatap ke depan untuk tidak lagi selalu terganggu dengan isu naik tidaknya BBM atau perlu ditambah atau tidaknya subsidi. Akan lebih baik jika pemerintah mengubah upaya menyejahterakan rakyat dengan mengubah model intervensi. Mumpung data (kependudukan) sudah lengkap,” ujar Prof Bambang Brodjonegoro, mantan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional dalam Webinar Nasional Moya Institute bertajuk “Penyesuaian Harga BBM: Problem atau Solusi”, Jumat (2/9/2022).
Advertisement
Terkait rencana penyesuaian harga BBM, pemerintah maupun Pertamina didorong untuk melakukan komunikasi publik yang baik, untuk menjelaskan harga keekonomian dihadapkan dengan kemampuan daya beli masyarakat.
Politisi Reformasi Mahfudz Siddiq meminta pemerintah segera mengambil keputusan politik untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi agar memberikan kepastian bagi masyarakat, walaupun tidak berkeberatan melepaskan harganya sesuai mekanisme pasar, sehingga isu ini tidak berulang kembali di masa akan datang.
“Subsidi BBM menjadi masalah ketika ketahanan fiskal negara terganggu. Lagipula BBM adalah sumber energi yang pasti akan habis, produksinya bakal menurun karena tingginya pemakaian dan bertambahnya jumlah penduduk,” ucap Mahfudz.
Transparan
Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Mukhaer Pakkanna mengungkapkan, ketika nanti pemerintah mengimplementasikan penyesuaian harga BBM agar dilakukan secara transparan, sehingga masyarakat luas dapat memakluminya.
Sementara pemerhati politik dan isu strategis Prof Imron Cotan mengatakan, pemerintah perlu memastikan tetap mampu menjaga daya beli masyarakat, jika penyesuaian harga BBM bersubsidi dilakukan.
Pertimbangan strategis inilah yang mendorong pemerintah meluncurkan program bantalan sosial, yang terdiri dari BLT kepada 20,6 juta masyarakat lapisan bawah sebesar Rp 600.000/keluarga/bulan; subsidi upah kepada 16 juta pekerja, sebesar Rp 600.000/kepala/bulan; dan subsidi untuk sektor transportasi, ojek, dan nelayan, sebesar 2% dari Dana Transfer Umum, yang dikelola oleh pemda-pemda di seluruh Indonesia.
“Bansos menyasar kelompok masyarakat yang tepat menjadi elemen penting dalam penyesuaian harga BBM bersubsidi, sehingga keadilan dapat dihadirkan, karena subsidi tidak dinikmati kelompok yang tidak berhak,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menyampaikan, terjadinya perang Rusia-Ukraina benar-benar merusak rantai pasok global, sehingga menimbulkan krisis energi bagi semua negara, termasuk Indonesia.
Situasi seperti itu membuat Indonesia harus realistis menghadapinya agar APBN terjaga, sebagai instrumen penggerak ekonomi nasional.
Advertisement