Lebih Dari 90 Persen Anak Tertular HIV dari Ibu, Dokter Sarankan Tes Sejak Kehamilan

Ketua Satgas HIV Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Endah Citraresmi menjelaskan terkait HIV pada anak.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 03 Sep 2022, 09:00 WIB
Ketua Satgas HIV Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Endah Citraresmi. Foto: Tangkapan layar Instagram endahcitraresmi.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Satgas HIV Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Endah Citraresmi menjelaskan terkait HIV pada anak. Endah menuturkan sebagian besar HIV anak merupakan imbas dari HIV yang terjadi pada orang dewasa.

Lebih dari 90 persen penularan HIV pada anak terjadi dari ibu ke janin. Jadi, pengendalian HIV pada dewasa akan memengaruhi terjadinya kasus-kasus HIV di anak.

“Sebetulnya penularan HIV itu kan banyak modenya tapi di anak penularannya lebih banyak dari ibu ke janin atau ke bayinya. Dan ini adalah penularan yang sangat bisa dicegah, tapi pencegahan ini belum sepenuhnya efektif di Indonesia,” kata Endah dalam konferensi pers dalam jaringan, Jumat (2/9/2022).

Padahal, lanjutnya, Thailand, Malaysia, dan negara tetangga lainnya sudah bisa mengumumkan bahwa tak ada tambahan kasus HIV pada anak di negara mereka.

“Sayangnya di Indonesia belum bisa mendeklarasikan seperti itu karena kasus HIV pada anak masih tetap kami temukan.”

Endah mengatakan butuh partisipasi semua orang untuk meningkatkan kesadaran terkait cara mencegah penularan HIV. Perlu juga kesadaran terkait cara mencegah penularan dari ibu ke anak.

Meski penularan vertikal atau dari ibu ke anak menjadi cara penularan terbanyak pada kasus HIV anak, tapi ada cara penularan lain yang memprihatinkan.

Pada golongan remaja, ditemukan penularan HIV secara horizontal yakni melalui narkoba suntik dan seks bebas, terutama yang sesama jenis.

Kasus HIV (dengan penularan) ini mulai bermunculan di remaja meski memang bukan kasus mayoritas.”


Bisa Disembuhkan?

Salah satu cara penularan virus HIV/AIDS dari dari ibu dengan HIV ke bayi umumnya terjadi selama kehamilan, persalinan dan saat menyusui

Endah menambahkan, hingga detik ini ahli di seluruh dunia belum bisa mengatakan bahwa HIV bisa disembuhkan.

“Kalau konotasinya ‘sembuh’ ini artinya selesai, tidak ada lagi virusnya dan sudah tidak berobat. Sedangkan, penanganan HIV adalah menurunkan, menekan jumlah virus serta menghambat replikasi virus.”

Virus HIV menyerang berbagai sel dan salah satu sel terpenting yang dimasuki untuk dibajak oleh virus ini adalah sel CD4. Ini adalah sel limfosit yang punya peran sangat penting dalam pertahanan tubuh atau sistem imun.

“Jadi dia membajak sel CD4 kemudian berkembang biak. Nah, obat yang diberikan hanya bisa menekan replikasi virus. Ada virus yang masih bisa bersembunyi, tidak terjangkau oleh obat. Dan begitu obatnya dihentikan, virus ini akan bertambah banyak.”

Banyak ahli yang mengatakan bahwa HIV adalah virus paling pintar karena dapat bermutasi dan membuat obat tidak mempan jika sempat diputus.

Maka dari itu, obat harus dikonsumsi setiap hari seumur hidup dan tidak boleh putus.


Penyederhanaan Obat

Saat ini orang dengan HIV atau biasa disebut ODHA di Indonesia sudah bisa mengonsumsi obat ARV jenis Efavirenz buatan dalam negeri

Awalnya, obat HIV bisa mencapai 3 pil per hari. Kini, obat HIV disederhanakan dalam satu pil yang mengandung ketiga kandungan obat sebelumnya. Diminumnya pun sehari sekali.

“Ini akan memperbaiki kualitas hidup pengidap HIV dan minum obatnya enggak terlalu repot lagi.”

Di beberapa negara maju, kini sedang dipelajari obat HIV yang lebih sederhana lagi. Misalnya obat suntik yang perlu disuntikan satu bulan satu kali, bukan setiap hari, tambah dokter spesialis anak tersebut.

Terkait gejala klinis pada anak yang mengidap HIV, Endah mengatakan umumnya mereka akan mudah sakit.

“Mudah sakitnya oleh kuman yang biasa, anak-anak memang biasa sakit tapi pada anak dengan HIV akan lebih berat. Misalkan pada anak biasa hanya flu batuk, kalau sama anak HIV bisa jadi pneumonia. Jadi infeksinya lebih berat.”

Anak HIV juga bisa terinfeksi oleh kuman yang seharusnya tak menyebabkan masalah. Dengan kata lain, jika anak yang memiliki kekebalan tubuh yang baik terinfeksi kuman itu maka ia tidak akan menjadi sakit. Sedangkan pada anak HIV, kuman tersebut bisa membawa masalah berat. Contohnya jamur atau parasit.


Gejala Anak Lebih Berat dari Dewasa

Relawan HIV/AIDS Teaching Saturday menggelar acara buka puasa dan berbagi keceriaan bersama anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA).

Jika anak sering sakit dengan penyakit tak lazim dialami anak lain atau penyakitnya lebih berat dan berulang, maka perlu dicurigai adanya masalah kekebalan tubuh.

“Anak yang kena HIV juga sering sekali datang dengan jamur di mulut, bolak-balik kena jamur, diare lama, pneumonia berulang, gizi kurang, dan gizi buruk.”

Gejala pada anak biasanya lebih berat ketimbang dewasa. Hal ini karena sistem kekebalan tubuh anak belum terbentuk sempurna.

Maka dari itu, pemeriksaan sejak dini perlu dilakukan. Semua ibu hamil perlu tes HIV, kata Endah.

“Sebetulnya HIV ini penting diperiksa karena kita punya obat untuk pencegahan penularan ke bayi. Sayangya, tidak semua ibu hamil melakukan pemeriksaan dengan berbagai alasan.”

Alasan yang paling banyak adalah keengganan dokter untuk meminta pemeriksaan HIV pada pasien. Ini acap kali dianggap penuduhan lantaran stigma HIV yang buruk. Orang yang memiliki HIV dianggap selalu memiliki latar belakang yang jelek.

“Jika ibu hamil terdeteksi HIV maka bisa segera diberi obat ARV sehingga jumlah virusnya menurun dan tidak menularkan ke bayi. Jadi bukan bayi baru lahir yang dites, tapi ibu hamil,” kata Endah.

Infografis 6 Tips Bantu Anak Terbiasa Pakai Masker Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya