Liputan6.com, Jakarta - Ibu hamil akan menjalani beragam tes untuk mengetahui kesehatan salah satu yang paling terkenal tes TORCH (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes simplex virus). Selain itu, Ketua Satgas HIV Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Endah Citraresmi, mengingatkan tes HIV juga perlu dilakukan semua ibu hamil.
Hasil tes HIV akan menunjukkan status kesehatan ibu dari virus tersebut. Bila positif HIV maka bisa dilakukan upaya untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
Advertisement
"Tes TORCH pada ibu hamil ini kan beken ya dilakukan. Selain itu, perlu juga tes HIV, penting karena kita punya obat pencegahan penularan dari ibu ke bayi," kata Endah dalam media interview secara daring pada Jumat, 2 September 2022.
Hal ini Endah tegaskan mengingat di Indonesia sekitar 90 persen HIV pada anak adalah imbas penularan dari orang dewasa.
Padahal, jika sejak hamil sudah dilakukan tes HIV lalu dilakukan upaya tatalaksana yang tepat, anak yang lahir tidak tertular virus yang menyerang sistem imunitas tubuh itu.
"Jadi, bukan setiap anak yang lahir tes HIV melainkan saat ibu hamil sudah tes HIV," kata Endah lugas.
Bila hasil tes menunjukkan positif HIV, lanjut Endah, ibu akan mengonsumsi obat HIV, Antiretroviral atau biasa disingkat ARV. Obat ini berperan untuk menekan perkembangbiakan virus di dalam tubuh.
Lalu, saat persalinan bila tes darah menunjukkan jumlah virus HIV dalam tubuh ibu tak terdeteksi itu artinya bisa menjalani persalinan spontan atau kebanyakan orang menyebut normal.
Bila tidak, persalinan bisa dilakukan lewat sectio caesarean (SC) guna menghindari penularan dari ibu ke anak.
Tak berhenti di situ, bayi selama enam minggu kehidupannya bakal mendapatkan terapi pengobatan.
"Kemudian bayi tersebut bakal menjalani tes darah untuk mengetahui status HIV-nya lagi," kata Endah.
Sudah Ada di Permenkes tapi Tidak Berjalan Sempurna
Endah mengatakan bahwa tes HIV pada ibu hamil sudah ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Sayangnya, saat di lapangan tidak semua ibu hamil mau melakukan tes hamil. Lalu, ada dokter obstetri dan ginekologi (obgin) yang juga tidak meminta tes tersebut.
"Saya melakukan survei kecil-kecilan. Jadi ada yang tidak ditawarkan obgin tapi ada yang ditawarkan lalu mengikuti tes HIV," kata Endah.
Endah memahami, bahwa tenaga kesehatan tidak meminta tes HIV pada ibu hamil karena ada stigmatisasi pada penyakit ini.
"Ada anggapan bila menyuruh tes HIV dianggap menuduh orang tersebut punya latar belakang jelek. Seperti diketahui ada stigma pada penyakit ini. Padahal nyatanya banyak ibu rumah tangga yang baik-baik saja tapi tertular dari suaminya. Jadi, sebenarnya tidak perlu ada stigma itu," kata Endah.
"Jadi, itu (stigma) yang menjadi kendala."
Ia pun berharap makin banyak ibu hamil yang melakukan tes HIV sehingga anak yang lahir bisa sehat tanpa HIV. Banyak negara yang sudah bisa mendeklarasikan bebas HIV transmisi vertikal dari ibu ke anak. Termasuk negara tetangga Malaysia dan Thailand.
“Sayangnya di Indonesia belum bisa mendeklarasikan seperti itu karena kasus HIV pada anak masih tetap kami temukan.”
Advertisement
Penularan HIV pada Anak Remaja
Penularan vertikal atau dari ibu ke anak menjadi cara penularan terbanyak pada kasus HIV anak. Namun, ada cara penularan lain yang kasusnya mulai bermunculan pada anak-anak usia remaja.
Pada golongan remaja, ditemukan penularan HIV secara horizontal yakni melalui narkoba suntik dan seks bebas, terutama sesama jenis.
“Kasus ini mulai bermunculan di remaja meski memang bukan kasus mayoritas.”
Alhasil, anak remaja dengan HIV positif harus menjalani terapi ARV agar bisa terus menjalani kehidupan layaknya anak-anak lain. Tes ARV dijalani seumur hidup agar menekan jumlah virus serta menghambat replikasi virus dalam tubuh.