, Melbourne - Mengapa turis asing suka berfoto bugil di tempat-tempat yang dianggap suci di Asia Tenggara? Hingga kini jawaban pastinya belum dapat diketahui pasti.
Sejatinya ada banyak perasaan yang muncul saat kita menginjakkan kaki di tempat yang dianggap suci atau sakral.
Advertisement
Mungkin kita tiba-tiba ingin menangis karena begitu besar karisma tempat itu, atau segera memegang dan merasakan material bangunan yang sudah berusia ratusan tahun. Atau mungkin ingin hanya ingin berbisik berbagi kekaguman kita dengan orang di sebelah.
Tapi keinginan untuk telanjang? Ini jadi tren aneh yang melanda Asia Tenggara yang dilakukan sejumlah turis dari negara-negara Barat.
Beberapa dari mereka berfoto dengan pose telanjang di monumen, kuil, dan tempat yang dianggap suci atau keramat.
Mengutip ABC Australia, Sabtu (3/9/2022), Ravinjay Kuckreja, peneliti agama Bali di Universitas Hindu Negeri Denpasar Bali mengatakan aksi foto bugil di lokasi-lokasi ini "terus berulang."
Menurutnya sebagian besar foto bugil itu tampaknya dibuat oleh 'influencer', yang "dengan sengaja melakukannya demi konten", tapi ada juga yang bukan 'influencer'.
"Banyak dari mereka sepertinya adalah yang bergerak di bidang kesehatan atau aktor atau influencer yoga," katanya.
Dia memberikan beberapa contoh, termasuk 'influencer' Rusia dideportasi dari Bali bulan Mei kemarin, setelah berpose telanjang di depan pohon yang dianggap keramat yang berusia 700 tahun.
Sebulan sebelumnya, seorang aktor dan blogger kesehatan asal Kanada juga menyinggung perasaan orang Bali dan Māori saat ia menyiarkan langsung dirinya melakukan Haka dalam keadaan telanjang di puncak Gunung Batur.
Pria itu juga dideportasi.
Ravinjay mengatakan perilaku ini juga mengundang reaksi keras dari pemerintah setempat.
"Pertanyaan besarnya adalah mengapa [ini] terus terjadi lagi dan lagi?" katanya.
Dipicu Media Sosial?
Ravinjay setuju jika media sosial telah mendorong beberapa pelancong untuk menggunakan negara asing "sebagai panggung untuk diri mereka sendiri."
Tapi dia percaya ada motivasi lain yang lebih mendesak: kurangnya pendidikan dan gelembung perjalanan mandiri.
"Orang-orang tidak lagi menggunakan pemandu wisata lokal," katanya.
"Mereka tinggal sendiri di Airbnb atau vila yang dikelola secara lokal. Mereka menggunakan aplikasi transportasi online. Mereka tidak berbicara dengan penduduk lokal mana pun. Mereka tidak memiliki supir atau kontak apa pun, jadi mereka tidak benar-benar tahu apa yang terjadi. Mereka tidak benar-benar tahu apa yang ada di sekitar mereka," katanya.
Anggapan Hukuman Bisa Disogok
Ravinjay percaya orang-orang dari negara-negara Barat kadang-kadang memandang penegakan hukum di negara-negara Asia Tenggara kurang professional.
Dia mengatakan ada mentalitas di kalangan turis asing jika hukum dapat dihindari dengan sogokan di tempat-tempat seperti Bali.
"[Mereka pikir] bisa lolos dari segalanya, selama mau sedikit keluar uang atau bertemu dengan orang yang tepat", katanya.Namun faktanya, otoritas di banyak tempat, termasuk di Bali, bisa lebih konservatif daripada di beberapa negara Barat.
Advertisement
Bukan Hal Baru
Ben Groundwater, seorang 'travel writer' dan mantan pemandu wisata, mengatakan perilaku seperti ini bukanlah hal baru.
Ketika dia menjadi pemandu di awal tahun 2000-an, ada "banyak perilaku buruk" di antara turis, termasuk "banyak orang telanjang di tempat-tempat yang tidak seharusnya,” katanya.
"Tapi tidak begitu jelas [di mata publik]. Saat itu tidak ada media sosial [jadi] tidak ada yang diunggah dan tidak ada yang dipulangkan."
Perilaku tersebut masuk ke dalam kategori "tindakan yang tidak berbahaya, tetapi ternyata cukup bermasalah."
Ben percaya ada dua kelompok orang yang berbeda di sini.
Ada kelompok yang dia anggap kurang dalam "perspektif": "hanya pelancong biasa yang melakukan hal-hal gila dan konyol ketika mereka bepergian dan hal-hal yang mungkin tidak sopan.”
Mereka mungkin tidak mempertimbangkan dampak dari kelakuan mereka.
Kemudian ada kelompok influencer, yang "sangat fokus dan haus untuk mendapatkan perhatian [dan] lebih banyak pengikut. Apa yang mereka lakukan adalah untuk memberikan kesan kepada para pengikutnya [dan] demi membuat konten untuk dibagikan,” katanya.
"Saya merasa sangat sulit percaya kalau orang-orang ini tidak tahu bahwa yang mereka lakukan adalah salah", katanya.
"Siapa pun yang bepergian tahu bahwa jika kita pergi ke tempat ibadah, kuil atau gereja atau apa pun, ada hal-hal tertentu yang perlu dilakukan untuk menunjukkan rasa hormat.""Dan jelas salah satunya adalah tidak melepas semua pakaian Anda dan berfoto."
Sanksi Deportasi
Deportasi akibat perilaku yang tidak pantas seperti 'selfie' telanjang di tempat-tempat keramat adalah bagian dari "Pemerintah Indonesia turun tangan, seolah mengatakan, 'Hai, kami ada dan kami memiliki hukum, dan kami dengan senang hati akan menegakkannya', jelas Ravinjay.
“Sekarang, Kemenkum HAM Indonesia mendeportasi orang sebagai bentuk sikap atau pernyataan."
"Anda tidak bisa pergi ke negara asing seperti Indonesia dan melakukan apa pun yang ingin Anda lakukan."Gubernur Bali, Wayan Koster, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa lebih "penting melestarikan budaya dan menghormati martabat Bali" daripada menoleransi perilaku seperti foto telanjang di tempat-tempat suci untuk dolar turis.
Ravinjay mengatakan sebagai turis yang baru pertama kali mengunjungi Bali, banyak orang Australia yang pernah atau tahu sedikit tentang Bali, termasuk soal adat dan tradisinya.
"Mereka agak mampu membedakan [situs] mana yang suci dan mana yang tidak .. Mereka jauh lebih sadar," katanya.
Mereka yang "benar-benar asing dengan budaya Asia" lebih cenderung menunjukkan perilaku yang dianggap tidak sopan, katanya.
"Ketika mereka datang, mereka tidak benar-benar tahu ... batas antara apa yang suci dan tidak."
Tapi menurut Ravinjay jumlah wisatawan yang bepergian dan tetap menghormati budaya Bali masih jauh lebih banyak daripada yang tidak.
Ia hanya ingin perilaku buruk wisatawan yang ada dihilangkan, selain juga memastikan orang-orang yang bepergian ke Bali atau tujuan luar negeri lainnya untuk "menghormati budaya lokal dan juga belajar sesuatu yang baru.”
Advertisement