Liputan6.com, Gorontalo - Penyadapan getah pohon pinus di beberapa daerah di Provinsi Gorontalo, hingga kini masih berlangsung. Meski bernilai ekonomi bagi petani, pengambilan getah pinus ini dinilai merusak ekosistem hutan jika tidak dilakukan sesuai prosedur penyadapan.
Tidak mengenal bahwa itu kawasan hutan, demi memenuhi kebutuhan, masyarakat mengambil bagian dari hutan yang menjadi habitat satwa. Pekerjaan ini sudah dilakoni mereka sejak lama dan tidak mengetahui bahwa itu merusak atau tidak.
Seperti halnya yang ada di Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo. Sebagian petani menggantungkan hidupnya dari penyadapan getah pinus untuk dijual.
Baca Juga
Advertisement
Kabupaten Gorontalo sendiri memiliki luasan hutan sebesar 255,008 Ha. Dari luasan itu, 361,55 ha terdiri dari Hutan Pinus yang berpotensi menghasilkan getah.
Mereka menyayat satu persatu pohon pinus tanpa ampun demi mendapatkan getahnya. Bahkan beberapa pohon pinus sudah ada yang mati akibat terlalu banyak sayatan pisau.
Getah pinus merupakan komoditas yang mampu memberikan nilai ekonomi yang tinggi. Karena getah pinus bisa dijadikan Gondorukem, bahan baku pembuat campuran batik tulis serta bahan campuran pembuatan sabun, cat, pernis, kertas, semir sepatu, isolasi alat listrik dan tinta cetak.
Selain itu getah pinus juga bisa dijadikan Terpentin atau bahan baku dari industri kosmetik, minyak cat, campuran bahan pelarut, antiseptik, kamper dan farmasi.
Warga sekitar berdalih, jika mereka memiliki izin pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) pada Hutan Produksi Terbatas (HPT) dengan nomor 01/DPMESDM-TRANS/SK/IUBPHHBK/I/2018. Sesuai dengan izin tersebut, maka hutan pinus dapat dimanfaatkan oleh warga lokal.
Hutan tersebut bisa dilakukan penatausahaan HHBK untuk seluruh areal. Diantaranya membantu pengembangan sosial, budaya, wisata dan ekonomi demi meningkatkan pendapatan masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan pinus.
"Kalau kami hanya tahu bahwa ini punya izin, kami tidak tahu kalau ini bisa merusak pohon pinus, termasuk hutan," kata warga sekitar yang namanya tidak mau disebutkan.
Bahkan, mereka tidak mau menyebutkan berapa hasil getah pinus yang berhasil mereka jual per bulannya. Mereka hanya bilang, jika hasil dari menyadap pinus bisa memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
"Selain menyadap getah pinus, kami juga bertani. Keduanya bisa untung, sembari menunggu getah tertampung banyak kami bercocok tanam," ungkapnya.
Simak Video Pilihan Ini:
Tanggapan Aktivis
Sementara menurut salah satu Pemerhati Lingkungan di Provinsi Gorontalo, Mohamad Jufri Hard bahwa, dirinya tidak bisa berkomentar banyak soal kondisi tersebut. Sebab dia belum melihat langsung kondisi yang sebenarnya.
Namun kata Jufri, jika ada pohon pinus yang mati karena praktik pengambilan getah maka kemungkinan besar masyarakat belum paham cara pengambilan getah yang baik.
"Nah ini tentunya terkait dengan pihak-pihak yang memperoleh manfaat dari praktek penyadapan getah tersebut. Entah itu dari perusahaan atau lembaga yang memperoleh izin penyadapan dan instansi teknis yang memberi izin," kata Jufri.
"Kemungkinan besar diduga mereka tidak memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat atau petani penyadap," tuturnya.
Terkait kelestarian hutan, tentunya tetap ada pengaruhnya. Dan ini harus di cek ke instansi teknis pemberi izin penyadapan getah pinus.
"Apakah mereka melakukan pengawasan atau tidak?, apakah dalam prosedur izin yang diberikan juga mempersyaratkan untuk menggunakan sistem penyadapan yang baik?," ujarnya.
Menurut Jufri, dalam kondisi seperti ini, pihak yang berwenang harus ada upaya atau proses peremajaan pohon atau penanaman ulang. Hal ini untuk memastikan keberlanjutan aktivitas yang disebut sebagai mata pencaharian warga.
"Harus dipastikan juga, mulai kapan warga penyadap getah pinus tersebut, sehingga bisa dikatakan bahwa itu merupakan mata pencaharian warga," imbuhnya.
Advertisement
Pemerintah Desa
Sementara itu, Kepala Desa Motilango Noldianto Hongi mengatakan, jika selama dirinya memimpin desa itu, tidak pernah ada sosialisasi cara penyadapan getah pinus dari instansi atau lembaga terkait.
Tidak hanya cara penyadapan getah, dirinya membenarkan jika selama ini belum pernah ada program penanaman atau peremajaan kembali pohon pinus yang mati.
"Setahu saya, selama ini belum pernah ada sosialisasi tata cara penyadapan getah," kata pria yang akrab disapa Noldi itu.
"Kalau saya tidak keliru, setiap satu pohon pinus yang mati, itu diganti dengan 25 pohon pinus yang baru. Tapi, selama saya jadi kepala desa belum ada program itu masuk," tuturnya.
Menurutnya, jika kelompok petani yang menyadap getah pinus di kawasan HPT Mootilango itu, memiliki izin HHBK. Sementara untuk pemasarannya, kelompok tersebut di bawah naungan Koperasi Pinus Jaya Sejahtera.
"Jadi setiap getah pinus yang disadap itu, ditampung oleh koperasi, kemudian dijual ke luar jawa," ungkapnya.
Sementara, penyadapan getah pinus di desa mootilango diperkirakan sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Bahkan, sudah berbagai elemen, termasuk pemerhati lingkungan yang menyoroti aktivitas tersebut.
"Sudah ada juga teman-teman LSM dan Pemerhati lingkungan pertanyakan ini, sudah banyak yang mati. Saya tidak bisa menjawab itu," ia menandaskan.