Pemda Diminta Lebih Adil soal Aturan KTR

Sejumlah pemerintah daerah diminta untuk lebih adil dalam mengatur kawasan tanpa rokok (KTR).

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Sep 2022, 11:30 WIB
Petugas menempelkan stiker kawasan tanpa rokok di kawasan Braga yang menjadi salah satu lokasi KTR di Kota Bandung, Senin (15/11/2021). (Foto: Tim Penyelenggara Acara HKN)

 

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Kebijakan Publik Gitadi Tegas Supramudyo meminta sejumlah pemerintah daerah untuk lebih adil dalam mengatur kawasan tanpa rokok (KTR).

Di tengah masifnya penerbitan Perda KTR, Gitadi mengimbau pemerintah daerah juga harus mengakomodasi kepentingan konsumen dengan menyediakan tempat merokok yang memadai.

Menurut Gitadi, pemerintah daerah memang harus tegas dalam mengambil kebijakan yang bertujuan melindungi kesehatan masyarakat.

Akan tetapi, pemda juga harus menyadari bahwa tembakau sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia sehingga dalam implementasinya, pemda diminta mengakomodasi seluruh pemangku kepentingan industri hasil tembakau (IHT), termasuk petani dan pekerja.

“Menurut saya supaya bisa meng-cover dua ini, sediakanlah tempat untuk mengurangi kerugian perokok pasif. Karena masyarakat kita adalah masyarakat perokok, buatlah kawasan smoking area, sehingga perokok tidak menggunakan tempat umum,” ujar Gitadi dikutip Sabtu (3/9/2022).

Gitadi menjelaskan, pemerintah daerah seharusnya terbuka untuk menerima masukan dalam penyusunan Perda KTR, dan siap berkolaborasi, termasuk dalam hal penyediaan tempat khusus merokok, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak bersifat diskriminatif pada salah satu pihak. Lebih penting daripada itu adalah kebijakan yang dibuat dapat diimplementasikan dengan baik.

“Sebetulnya, bahkan kalau pabrik rokok dimintai kesediaan untuk membuat smoking area, mungkin mereka tak akan menolak. Jadi, memang harus ada kompromi dan solusi di lingkungan internal. Jangan sampai seperti terkesan menutup mata pada industri rokok yang menghidupi orang banyak. Harus ada win-win solution,” katanya.

Selain itu, dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) juga bisa menjadi solusi untuk pembuatan tempat merokok sehingga asapnya tidak mengganggu masyarakat yang tidak merokok.

 


Revisi

Anak-anak melintasi mural bertema bebas asap rokok di lingkungan RW 06 Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta, Jumat (8/10/2021). Warga sejumlah RT di RW 06 berkomitmen menjaga lingkungan dari asap rokok dengan memberikan teguran dan sanksi bagi yang melanggar. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Di samping itu, Gitadi juga menanggapi banyaknya pemerintah daerah yang melakukan perubahan atas perda KTR yang telah berlaku sebelumnya. Menurut Gitadi, pemda seharusnya fokus pada implementasi tanpa harus melakukan revisi.

“Masalahnya sekarang adalah implementasi. Tak perlu ada perda baru. Yang lama bisa dipakai sepanjang implementasinya punya konsep jelas. Pelanggaran sanksinya jelas. Tapi yang saya lihat dari dulu sampai sekarang tidak ada komunikasi dan eksekusi yang jelas,” tandasnya.

Ia menyarankan agar pemda tidak terburu-buru dalam memberlakukan regulasi yang berkaitan langsung dengan masyarakat, termasuk perda KTR. Harus ada sosialisasi yang masif dan jelas terkait regulasi dan konsekuensinya. Peraturan yang langsung dieksekusi tanpa sosialisasi, lanjut Gitadi, tidak akan berjalan dengan efektif apalagi saat proses penyusunannya tidak melibatkan pihak-pihak yang justru akan menjalankan regulasi tersebut.

“Jika peraturan langsung dieksekusi, tak akan efektif. Apalagi kalau masih sama dengan perda sebelumnya. Solusinya sederhana, misal sosialisasi jangan terburu buru. Dari 2020 sampai 2023 ada sosialisasi. Tak cuma larangan yang cuma ditempel dengan dalih melanggar perda,” ucap dosen FISIP Unair ini.

Gitadi menyampaikan bahwa negara memang perlu berpihak pada derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Akan tetapi, pertembakauan di Indonesia memiliki kepentingan yang luas sehingga regulasi yang berkaitan dengan tembakau harus menciptakan win-win solution antara semua pihak dan mencapai tujuan pembuatan peraturan tersebut.


Pemerintah Diminta Libatkan Konsumen Susun Regulasi KTR

Seorang remaja melintas dekat tembok warna-warni di Kampung Penas Tanggul, Cipinang Besar Selatan, Jakarta, Kamis (2/11). Kampung warna-warni tanpa rokok tersebut dibuat warga guna melindungi perempuan dan anak. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dalam penyusunan dan penerapan peraturan seperti Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai lokasi, konsumen tidak pernah dilibatkan di dalamnya.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Pakta Konsumen (PK) Andi Kartala pada Focus Group Discussion (FGD) Ketimpangan Perlindungan Hak Konsumen dalam Kebijakan Ekosistem Pertembakauan di Yogyakarta.

"Sejak dilahirkan dan diterapkannya Perda KTR, konsumen tidak pernah dilibatkan. Padahal kebijakan dan regulasi tersebut secara jelas mengatur konsumen dengan sangat ketat," ujarnya, dikutip Minggu (21/8/2022)

Andi menegaskan bahwa konsumen produk tembakau memiliki tanggung jawab pada negara dalam bentuk cukai hasil tembakau (CHT) dan pajak yang disampaikan dalam PMK 192/PMK.010/2021.

Menurutnya, partisipasi konsumen dalam regulasi nyaris tidak ada, dilihat dari public hearing, penyusunan naskah akademik sampai sosialisasi, sehingga regulasi yang dihasilkan tidak berkeadilan dan hanya timpang di satu sisi saja.

"Konsumen tidak antiregulasi. Konsumen bersedia diatur dan siap memenuhi kewajibannya, tetapi tidak sebanding dengan sumbangsih yang diberikan. Kebijakan, aturan, dan regulasi yang ditunjukan pada konsumen produk tembakau hanya menekankan pada pelarangan bukan pembatasan," katanya.

 


Lindungi Hak Konsumen

Siswa SMP N 104 Jakarta memasang banner di salah satu warung di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta, Kamis (5/11). Aksi ini sebagai bentuk kesadaran tentang ancaman adiksi rokok terhadap anak-anak di sekolah melalui iklan (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Komisioner Ombudsman DIY, Agung Sedayu, menuturkan sesuai amanah undang-undang, pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak konsumen, serta memberikan akses kepada publik dalam perumusan regulasi sebelum aturan tersebut resmi diterapkan.

Namun, pada kenyataannya hak partisipatif publik sering terabaikan. Ketimpangan antara pemenuhan kewajiban dan hak tidak boleh terjadi dalam proses penetapan hukum.

"Hak konsumen yang telah berkontribusi lewat penerimaan negara memang belum sepenuhnya terpenuhi. Pelibatan langsung hak konsumen menjadi penting dan mendesak. Tanpa inovasi kebijakan, hak konsumen ekosistem pertembakauan hanya berakhir sekadar menjadi angka. Hak konsumen telah terabaikan dibandingkan kewajiban lewat pengenaan CHT yang telah mencapai Rp 188 triliun pada tahun lalu," tuturnya.

Agung menegaskan kebijakan dan pengambilan keputusan terkait regulasi dalam ekosistem pertembakauan perlu dievaluasi dan dikoreksi.

Mulai dari sisi produksi hingga konsumsi, pemenuhan hak konsumen dirasa masih kurang elok. Pemenuhan hak konsumen perlu sinergi jejaring komunikasi dan konsolidasi dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah hingga lintas organisasi seperti Pakta Konsumen

"Agregasi aspirasi konsumen yang dilakukan kali ini diharapkan bisa menjadikan Yogyakarta sebagai daerah yang progresif dalam menerapkan strategi inovasi kebijakan ekosistem pertembakauan. Komitmen terhadap pemenuhan pelayanan publik hingga ruang konsumen, bisa dilakukan secara maksimal," kata Agung.

(Liputan6.com / Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya