Liputan6.com, Cilacap - Seorang ulama di Cilacap, Jawa Tengah berhasil mengubah sebuah perkampungan pusat bisnis esek-esek alias prostitusi menjadi perkampungan Islami. Di tempat itu, kini telah berdiri madrasah atau lembaga pendidikan Islam.
Lebih penting lagi, dia mampu mengubah pola hidup masyarakat setempat yang semula sangat tergantung pada geliat prostitusi menjadi peri hidup yang lebih berkah. Tentu tak mudah untuk mengubah kebiasaan masyarakat, butuh perjuangan nan panjang.
Berikut akan diceritakan bagaimana KH Hizbullah Huda berjuang mengubah kampung prostitusi menjadi perkampungan Islami.
Kala itu, malam semakin dingin, waktu menunjukkan pukul 23.23 WIB. Kendati hari hampir berganti, aktivitas di Gang Jalan Puncak itu seolah baru saja dimulai. Ini adalah lokalisasi prostutisi, pusatnya bisnis esek-esek di Majenang, Cilacap, Jawa tengah.
Baca Juga
Advertisement
Perempuan-perempuan berbusana irit duduk santai di warung malam dan di bilik-bilik rumah di bawah temaram lampu remang-remang.
Terlihat bayangan mereka berbincang dengan teman mereka sembari mengisap rokok. Di sudut lain laki-laki hidung belang datang dan para perempuan itu segera melancarkan rayuan mautnya seraya memintanya mampir. Dengan laki-laki itu pula mereka masuk ke rumah bilik remang yang teresedia di kawasan prostitusi ini.
Pada siang hari, sepanjang jalan beraspal tidak seberapa lebar tersebut lengang. Kondisi ini berubah 180 derajat saat malam tiba. Jalan itu cukup legendaris di kalangan lelaki hidung belang beberapa tahun lampau.
Di jalan kompleks lokalisasi atau prostitusi itu lah para penjaja seks komersial (PSK) mangkal dan menyapa ramah lelaki yang berkunjung atau sekadar melintas di wilayah tersebut.
Tercatat, di Cilacap pernah ada banyak tempat lokalisasi. Misalnya, di sekitar Benteng Pendem dan darmaga Tanjung Intan. Namun kini kebaradaannya gelap tak kentara.
Di Kecamatan Kesugihan, di sana ada lokalisasi kompleks Slarang. Hingga kini masih terang lokalisasi itu dijumpai. Para pekerja seks di sana barangkali masih suka menjajakan diri. Sementara di Kecamatan Majenang ada kawasan prostitusi, Puncak yang dalam kilasan sejarah dan peristiwa, dari waktu ke waktu, pernah menjadi surganya pria hidung belang.
Kisah di atas adalah sepenggal kisah kelam kawasan Puncak, Majenang, Cilacap Jawa Tengah, sekitar 15 tahun silam. Kala itu, Puncak tengah moncer sebagai pusat prostitusi.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Gus Huud Muda dan PSK
Cerita ini dikisahkan seorang mantan muncikari, Kustiwa (55), yang kini hijrah bahkan jadi penggerak mujahadah Annahdiyah dan Banser NU. Praktik prostitusi sebagaimana cerita di atas kerap hadir dalam ingatannya.
Kebalikannya, saat ini Puncak sebagai nama tempat tujuan pelesiran esek-esek itu telah berubah suasana menjadi pesona ilmu kebaikan dan pendididikan. Di sini, telah berdiri pusat pendidikan keagamaan, pondok pesantren.
Kustiwa bercerita, Kompleks Lokalisasi Puncak Majenang. Diceritakan, tempat itu sudah ada sejak tahun 1960-an. Pasalnya, Ada yang menyebutkan lokalisasi itu merupakan pindahan dari Cigobang, Jenang area Kawedanan Majenang yang sudah ada sejak zaman Jepang, sekitar tahun 1943.
Perpindahan di sebabkan adanya prahara, penolakan masyarakat sekitar. Lalu pindah lah lokalisasi ini ke Puncak, tiga kilometer timur laut Kota Majenang. Di Puncak, hampir 85 persen rumah dijadikan tempat mesum. PSK-nya ada 300-an.
Keberadaan lokalisasi prostitusi di Puncak Majenang menjadi keprihatinan ulama Majenang. Perlahan, di tangan seorang kiai bersahaja bernama Hizbullah Huda, lokalisasi tersebut berhasil diubahnya menjadi kompleks penyebar semangat kebaikan dan tolabul ilmi.
Usaha dakwahnya juga sempat memantik pro dan kontra. Jalan dakwahnya pun menjadi buah bibir masyarakat karena dianggap bukan di tempat seharusnya. Namun, ia tetap berkukuh dan isiqamah di jalan yang dipilihnya.
Kiai Huud bukanlah warga asli Puncak. Namun sepak terjang dakwahnya hingga sampai di sana. Inilah hebatnya, pejuang gigih dan tulus.
Hizbullah Huda adalah anak sulung dari pasangan Kiai Imam Mahdy bin KH Maqsudy dan Ibu Mahabbah Hidayah binti H. Zainuddun Darudy. Hizbullah Huda kecil, banyak di antara teman sebayanya memanggilnya Gus Huda, di samping anak kiai, ia nyemedulur, mumpuni berbahasa Inggris-Jawa-Sunda, apalagi kitab kuning.
Kedua orangtuanya tinggal di Kampung Baru, Sindangsari, Majenang. Medio 1970, di kampung itulah orangtuanya membuka pesantren dan sekolah, di bawah naungan Lembaga Pendidikan Maarif NU. Di tempat inilah Kiai Huud lahir dan dibesarkan.
Orangtua Kiai Huud memutuskan mengirimkan anaknya belajar ilmu agama dan kepesantrenan. Belajar langsung kepada temannya, yang adalah kiai Pesantren. Di antaranya Pondok Pesantren Matlabul Anwar Salebu, Majenang, PP Annur Cigulingharjo, Padangjaya, Majenang, PP Cijantung, Ciamis dan terakhir PP Attaujieh Al-Islamy, Leler, Kebasen, Banyumas.
Saat mesantren di Leler, Banyumas sembari belajar menempuh kesarjanaan di perguruan tinggi Universitas Wijaya Kusuma mengambil Fakultas Hukum Hingga lulus dan menyandang gelar, Hizbullah Huda, SH.
Setelah mendapat banyak ilmu dan pengalaman, Kiai Huud pulang kampung. Ia meneruskan apa yang dilakukan ayahnya, mengasuh pesantren, mengembangkan dunia pendidikan.
Di samping ia prihatin dengan kondisi kampung Puncak. Karena itu ia berdakwah di tempat lokalisasi meski awalnya sempat pesimis. Namun berkat kegigihan, keberaniannya, jalan dakwahnya lambat laun diterima kalangan PSK.
Advertisement
Kiainya WTS dan Muncikari
Gus Huud bercerita, semula ia bersilaturahmi, bertamu kepada salah satu pemilik rumah bordir di kompleks, di situ ia mengajak mereka (psk sekaligus micikari) berbagi cerita, bejibun suka dukanya, sambil medang bareng-ngudud bareng, metodologi atau cara khas sang kiai mengadvokasi sekaligus mengedukasi mereka.
Kiai Huud mengedepankan amar ma'ruf, komunikasi persuasif, dan lambat laun mereka pun saling mengenal. Kegiatan bersilaturahmi itu sebagai ajang bertukar kaweruh yang lama-lama kemudian menjelma layaknya orang pesantren menyebut mujahadah bil wujuh, cara kiai memperbaiki lahir batin santrinya (mantan PSK dan muncikari).
Hari-hari berjalan gerakan perjuangan Kiai Huud pun terus dilakukan. Kegiatan Mujahadah pun menjadi kegiatan rutinan. Kiai Huud bersama jamaahnya menamainya Mujahadah Istighotsah '@syieq ilalloh Almahdy Puncak yang berarti bahwa '@syieq bermakna Bronto (Jawa) atau rindu berat, ilalloh kepada pangeran Alloh SWT, Almahdy ialah dengan penuh harapan mendapat hidayah, selain bermaksud mahabbah nyadong berkah Almagfurlah KH Imam Mahdi dan Puncak simbol lokalisasi berubah sebagai simpul tempat ngaji, diharap pengaji.
Dakwahnya mendapat respons baik hingga kemudian kawasan puncak yang dikenal sebagai lokalisasi alias pusat prostisui, kini telah berdiri sebuah Madrasah Diniyah Awaliyah dan Wathoniyah. Bahkan Lembaga Pendidikan Formal, Madrasah Ibtida'iyyah Al Mahdi.
Seiring berjalannya waktu, Kiai Huud sampai dikenal dengan 'Kiai Puncak' sebagai analogi 'Kiainya WTS dan Muncikari". Mendapat julukan itu, Kiai Huud, ikhlas, tidak mempersoalkannya.
"Kiprahnya yang gigih dan berani, bukti dakwahnya meneladani, menginspirasi kami untuk menitii, alani kebaikan menuju ridho illahi," kata Kustiwa, warga puncak, salah satu saksi sejarah kiai huud berdakwah.
Jalan dakwah Kiai Huud mengubah lokalisasi puncak, menjadi pesona kebaikan dan pendidikan Islam diketahui Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cilacap, H Imam Tobroni. Lewat akun sosmednya, ia mengaku dan mengapresiasi terhadap perjuangan Kiai Huud disampaikan.
"Saya Mengenal Beliau Gus Huda (panggilan kerennya) sejak muda Bersama. Tatkala saya tinggal 9 Tahun di Majenang, Bahkan saya sempat sering sowan ke Abahnya KH. Imam Mahdi untuk ngangsu kaweruh banyak hal, kini beliau telah mengubah wajah daerah kumuh, dunia hitam dengan pesona kebaikan dan pendidikan Islam. Selamat Gus..Terima kasih dan turut bangga.. Dan sangat inspiratif bagi semuanya," tulis Imam.
Tim Rembulan-Imam Hamidi (Lesbumi Majenang, Cilacap)