Liputan6.com, Jakarta Pengusaha sekaligus Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady mengatakan, jika pemulihan sektor properti masih berada pada fase awal, meskipun sepanjang paruh pertama tahun ini mengalami pertumbuhan.
Tekanan inflasi serta kenaikan suku bunga acuan harus disikapi pelaku industri dan pemangku kebijakan secara cermat.
Advertisement
Menurutnya, walau sektor properti menuju tren pemulihan, tergambarkan dari pertumbuhan kuartal kedua sebesar 18 persen dibandingkan kuartal sebelumnya, kinerja sektor padat karya itu masih terbilang rentan.
John menilai realisasi kinerja sektor properti yang positif selama paruh pertama tahun ini dipicu beberapa penopang.
Selain bertumpu pada permintaan yang masih sangat besar, berbagai produk properti bisa diserap pasar lantaran insentif fiskal dari pemerintah.
Insentif berupa Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) yang merupakan upaya stimulus ekonomi pemerintah selama pandemi, telah menopang permintaan sektor properti.
Keberadaan insentif fiskal itu pun kembali menghidupkan sektor properti yang memiliki rantai bisnis sangat banyak.
“Pemerintah sudah sangat tepat memberikan insentif ke sektor properti karena memberikan dampak ganda terhadap perekonomian masyarakat,” ungkap John.
Di lain sisi, insentif PPN DTP yang membantu daya beli masyarakat itu memiliki tenggat berlaku. Pada tahun ini, pemerintah mematok insentif tersebut diberikan hingga September.
Sebaliknya, memasuki semester II/2022 sektor properti justru kembali menghadapi tantangan yang signifikan. Misal, jelasnya sejak memasuki paruh kedua tahun ini, pelaku industri harus menghadapi berbagai kenaikan harga, mulai dari material hingga ongkos distribusi.
“Itupun tercermin dari tingkat inflasi yang menembus 4,5 persen,” jelas John.
Dampak Kenaikan Harga
Kenaikan harga-harga tersebut pada akhirnya berpotensi melambungkan harga jual produk properti. Sewaktu harga properti tidak lagi terjangkau pada saat daya beli masyarakat juga tergerus kenaikan harga, maka kinerja pelaku industri bakal terancam dan berpotensi menjalar ke berbagai sektor lainnya termasuk perbankan.
Pada arah berbeda, kenaikan inflasi direspon bank sentral dengan kenaikan tingkat bunga acuan.“Jurus ini sudah tepat, karena BI pun harus merespon kondisi makro. Tidak ada yang salah dengan kenaikan suku bunga acuan,” jelas John.
Terlebih lagi, kenaikan suku bunga acuan inipun menjadi antisipasi yang baik terhadap kemungkinan inflasi yang semakin tinggi seiring kenaikan harga BBM.
Persoalannya, kata John, kenaikan suku bunga acuan yang wajar tersebut bisa memberi sentimen negatif terhadap konsumen di tengah daya beli mulai lunglai.
Advertisement
Efek Kenaikan Suku Bunga
John menjelaskan bila ditelisik lebih jauh, efek kenaikan suku bunga sebesar 25 bps memang belum tentu berimbas langsung terhadap kinerja properti pada paruh kedua tahun ini.
Semisal, untuk subsektor perumahan subsidi dan komersil belum tentu terganggu. Pasalnya, untuk rumah subsidi akan terus mengikuti bunga tetap tidak mengacu pada penyesuaian bunga acuan bank sentral.
Begitupun untuk sektor perumahan komersil yang memiliki basis pembeli lebih kuat. Hanya saja, John menilai faktor kenaikan suku bunga acuan yang diiringi tekanan secara faktual berupa kenaikan harga-harga bakal berimbas negatif terhadap konsumen properti.
Untuk itu, pemerintah perlu memformulasikan kebijakan yang tepat guna menahan hantaman lebih keras terhadap sektor padat karya tersebut.
Dia menilai skema kebijakan insentif PPN DTP masih cukup relevan diusung pemerintah agar menjaga pertumbuhan sektor properti.
Melalui insentif PPN DTP, pemerintah bisa meredam daya beli konsumen yang merosot tergerus inflasi.“PPN DTP merupakan penyelamat sektor properti, itu sudah terbukti selama pandemi ini,” kata John.