Liputan6.com, Banyumas - Salman al-Farisi lahir di Desa Jayyun, Kota Isfahan, Persia. Kala itu, Persia adalah sebuah imperium besar, dengan wilayah kekuasaan luas, termasuk sebagian jazirah Arab.
Terlahir di Persia, Salman al-Farisi memeluk agama Majusi atau penyembah api. Namun, batinnya bergolak. Ia sendiri tak yakin, apakah benar kepercayaan yang dianutnya.
Suatu hari, dia melakukan perjalanan dalam rangka menjalankan tugas. Dalam kesempatan itu, ia sempat bertemu dengan orang beragama Nasrani. Melihat cara beridahnya, Salman tertarik dan lantas masuk Nasrani lantaran ajaran kesederhanaannya.
Namun, tak berapa lama hatinya tak kunjung tentram. Ia melihat pendeta bergelimang harta hasil dari penebusan dosa. Ini berbanding terbalik dengan ajaran yang semula diharapkan membuatnya tenang.
Baca Juga
Advertisement
Pencariannya akan kebenaran menuntunnya hingga jazirah Arab. Perjumpaannya dengan Rasulullah SAW membuatnya tenang. Apa yang diucapkan oleh Nabi berbanding lurus dengan yang dilakukannya.
Salman yang semula adalah bangsawan di Persia, rela melepas segala atributnya. Di Madinah, dia hidup sederhana. Salah satunya yakni dengan menganyam, salah satu keahlian yang diperoleh semasa masih tinggal di Persia.
Namun, keahlian Salman al-Farisi sebagai jago strategi perang di tempat asalnya tetap terpelihara dengan baik. Sebagai bangsawan, Salman memiliki pengetahuan soal teknik perang dan strategi pertempuran. Ini menjadi pengetahuan khusus para bangsawan Persia yang dituntut sewaktu-waktu untuk maju ke medan tempur.
Ini terbukti, ketika umat Islam mendapat ancaman penyerangan oleh tentara koalisi bani Quraisy dan Yahudi (Ghathfan) di sisi luar, dan kaum Yahudi Bani Quraidlah yang akan menyerang dari dalam kota Madinah. Mereka akan menyerbu Madinah dan meluluhlantakkan ajaran Islam yang baru saja berkembang.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Pembuatan Parit
Kemudian dua kekuatan tersebut bersatu lalu mereka bersiap-siap. Orang-orang Yahudi lalu meninggalkan Makkah menuju Ghathafan untuk menyeru mereka untuk memerangi Rasulullah Saw.
Mereka provokasi orang-orang Ghathafan agar mengikuti kehendak mereka dan mereka jelaskan bahwa orang-orang Quraisy telah mendukung ide ini. Orang-orang Ghathafan pun bersatu dengan orang-orang Yahudi.
Berangkatlah orang-orang Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb, sedangkan orang-orang Ghathafan berada di bawah komando Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badr. Adapun Yahudi Bani Nadhir dipimpin Sallam bin Abul Huqaiq.
Total pasukan koalisi kaum kafir berjumlah 10.000 personel. Bahkan menurut Syekh Wahbah Zuhaili menyebut jumlah mereka mencapai 15.000 personel, sementara pasukan muslim hanya berjumlah 3.000 personel.
Mendengar keberangkatan pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:
Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah naik sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab:l0).
Mendengar informasi ini, Nabi Muhammad SAW mengumpulkan sahabat-sahabat terkemuka untuk membahasa strategi menghadapi serangan pasukan al Ahzab atau koalisi. Salah satunya adalah Salman al-Farisi.
Kemudian, keluarlah ide brilian dari Salman. Dia mengusulkan agar umat Islam menggali parit (khandaq) untuk membendung pasukan koalisi yang berjumlah besar, terutama pasukan berkudanya yang dikenal ganas. Parit itu akan menghambat pergerakan pasukan lawan.
Di Persia, Salman mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Kaum Muslim lantas bergotong royong membangun parit dengan cepat. Kurang lebih diperlukan waktu sembilan hari untuk membangun parit ini.
Advertisement
Pengepungan Madinah dan Badai Pasir
Parit dibuat di wilayah utara kota Madinah, yaitu daerah yang bisa menghubungkan antara kedua ujung daerah Harran Waqim dan Harrah al-Wabrah. Daerah ini juga merupakan satu-satunya jalan terbuka di hadapan pasukan musuh.
Sedangkan sisi lainnya sudah menjadi benteng, karena terdapat gunung-gunung tinggi, yang dipenuhi pohon kecil, dan dikelilingi pohon-pohon kurma, sehingga bisa menyulitkan unta dan pejalan kaki untuk melewatinya. Adapun panjang parit itu mencapai 5.544 meter. Sedangkan lebarnya mencapai 4,62 meter dengan kedalaman mencapai 3.234 meter.
Rasulullah Saw bersama 3.000 kaum muslimin keluar ke Gunung Sil'un. Di sanalah beliau bermarkas, sedang parit membatasi mereka dengan musuh.
Ketika pasukan Quraisy dan sekutunya tiba di Madinah, mereka kaget dengan parit yang menghalangi jalan mereka untuk memasuki kota Madinah. Mereka menyadari bahwa strategi yang dilakukan Rasulullah dan kaum muslimin kali ini berbeda dengan strategi yang pernah dilakukan dalam peperangan-peperangan sebelumnya.
Berbagai upaya mereka lakukan untuk menerobos parit, namun selalu gagal. Oleh sebab itu, selama hampir sebulan, peperangan yang terjadi hanya saling lempar panah. Sampai pada akhirnya, beberapa tentara berkuda yang berhasil melewati parit, di antaranya Amr bin Abdu Wadd Al Amiri. Konon Amr bin Abdu Wadd Al Amiri ini memiliki kekuatan setara dengan 100 orang.
Melihat hal ini Rasulullah memerintahkan untuk menghadapinya. Lalu tampillah Ali bi Abi Thalib menghadapi Amr bin Abdu Wadd Al Amiri dan berhasil mengalahkan dan membunuhnya.
Setelah terjadi pengepungan selama satu bulan penuh, Nua'im bin Mas'ud dari Bani Ghathafan yang telah memeluk Islam tanpa sepengetahuan pasukan koalisi, berkat kecerdasannya berhasil memecah belah pasukan koalisi.
Dampak dari perpecahan tersebut sangat menguntungkan kaum muslimin karena membuat kekuatan mereka semakin lemah dan bahkan Sebagian mereka merasa enggan untuk berperang dengan Rasulullah Saw.
Keberuntungan yang berpihak pada kaum Muslimin tidak berakhir sampai di situ, yakni dalam waktu bersamaan datanglah pertolongan Allah Swt berupa badai pasir yang memporak porandakan kemah-kemah mereka, menakut-nakuti tunggangan mereka serta memecahkan periuk-periuk mereka dan memadamkan api mereka.
Akhirnya dalam kondisi yang tidak menguntungkan lagi, mereka memutuskan untuk menghentikan pengepungan dan kembali ke negerinya masing-masing dengan penuh kekalahan.Kejadian itu menjadi bukti kebenaran firman Allah dalam Surat Al Ahzab: 9.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ، إِذْ جاءَتْكُمْ جُنُودٌ، فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيْحاً وَجُنُوداً لَمْ تَرَوْهَا، وَكَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْراً
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika bala tentara datang kepadamu, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan bala tentara yang tidak dapat terlihat olehmu. Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.”.
Tim Rembulan