Liputan6.com, Jakarta - Pertandingan malam itu penting sekali bagi Prancis. Hasil imbang menghadapi Bulgaria sudah cukup mengantar Prancis ke Piala Dunia 1994. Sebaliknya Bulgaria butuh kemenangan. Harapan Prancis semakin besar karena laga Grup F kualifikasi Piala Dunia 1994 zona Eropa ini berlangsung di rumah sendiri, di Parc des Princes, Paris.
Di atas kertas, tak ada yang perlu dikhawatirkan bagi Prancis untuk mengalahkan Belgia pada 17 November 1993. Sejumlah parameter teknis maupun non-teknis sangat mengunggulkan tim yang ketika itu diasuh Gerard Houllier.
Advertisement
Apalagi Prancis punya pemain seperti Jean-Pierre Papin, Eric Cantona, Marcel Desailly, Didier Deschamps, Laurent Blanc, dan David Ginola.
Laga berlangsung sengit. Prancis memimpin melalui Cantona di menit ke-32 lewat sepakan voli jarak dekat menyambut operan matang Papin. Namun, lima menit kemudian, Emil Kostadinov menyamakan kedudukan bagi Bulgaria memaksimalkan situasi sepak pojok.
Memasuki babak kedua, Prancis bermain santai seolah sudah memastikan lolos ke Piala Dunia 1994. Seorang komentator asal Bulgaria bahkan diketahui menyerukan kalimat bernada pesimistis. “Yak. Semuanya segera berakhir. Bulgaria tak akan berpartisipasi di Piala Dunia 1994,” katanya.
Lewat separuh babak kedua Prancis memasukkan David Ginola. Penyerang sayap itu menggantikan Papin. Bencana pun tiba.
Umpan Silang
Houllier meminta para pemain menguasai bola sambil menunggu wasit membunyikan peluit akhir. Namun Ginola mengindahkan instruksi Houllier ketika Prancis mendapat tendangan bebas di area kanan pertahanan Bulgaria.
Entah terlalu pede atau sekadar ingin menciptakan peluang, Ginola malah melepaskan umpan silang ke depan. “Mengapa ia tidak tahan saja bola itu?” kata komentator pertandingan.
Bola melambung dan jatuh di kaki bek kiri Bulgaria, Emil Kremenliev yang segera mengirim bola ke Lubo Penev. Membawa bola dengan cepat dari sisi kanan, Penev mengirim umpan area pertahanan Prancis.
Kostadinov menerima bola itu. Dua kali menyentuh bola, lalu sentuhan ketiga dijadikannya tendangan keras yang tak mampu dicegah kiper Prancis Bernard Lama. Bulgaria pun menang dan melaju ke Piala Dunia 1994 mengangkangi Prancis.
Kesalahan Ginola membuat marah para penonton. Mereka mengamuk di stadion dan jalanan. Kemarahan terhadap Ginola terus berlanjut. Ia dijuluki “Pembunuh Sepak Bola Prancis’ oleh publik. Kariernya baru seumur jagung di pentas internasional tamat secara perlahan.
Terakhir kali ia dipanggil adalah terjadi pada kualifikasi Euro 1996 versus Azerbaijan, 9 Juni 1995.
Advertisement
Pembunuh
Satu hari setelah pertandingan, Houllier berbicara kepada media dan menuding Ginola sebagai biang kegagalan Les Bleus. Sosok yang sempat melatih Liverpool itu mengaku tidak mengerti apa yang ada di kepala Ginola.
“Ginola adalah pembunuh tim. Dia menghujamkan peluru tepat ke jantung sepak bola Prancis!” cetus Houllier.
Dalam kesempatan lain, Houllier menyerang Ginola dengan menyebutnya ”melakukan kejahatan terhadap semangat tim” karena menyebabkan kehilangan bola yang berujung gol Kostadinov.
”Tanpa dia (Ginola), kami sudah lolos,” tambahnya.
Kegeraman Houllier tak pernah padam terhadap Ginola. Dalam Secrets de Coachs atau ‘Rahasia Pelatih’ yang diluncurkan pada tahun 2011, Houllier kembali menyerang Ginola yang dijadikan kambing hitam atas kegagalan Perancis melaju ke putaran final Piala Dunia 1994.
Dalam buku itu, Houllier juga mengaku mendengar saran asisten pelatih Aime Jacquet yang memintanya tidak mencoret Ginola dari skuad. Jacquet lima tahun kemudian membawa Prancis meraih Piala Dunia 1998.
”Saya membuat kesalahan tidak mengeluarkan dia (Ginola). Aime mencegah saya melakukan itu,” tulis Houllier.
Menghantui
Ginola sendiri bukannya berdiam diri atas berbagai tuduhan dan kecaman akibat gagalnya Prancis ke Piala Dunia 1994 itu.
Di paruh 2000, Ginola melakukan pembelaan diri melalui autobiografinya. Tudingan Houllier yang telah menjadikan dirinya sebagai musuh utama masyarakat Prancis, mengganggu keluarganya dan kesehatan kakeknya.
”Houllier mengatakan hal-hal yang akan menghantuiku sepanjang hidup,” tulis Ginola seperti dilansir BBC Sport.
Tragedi melawan Bulgaria benar-benar membuat karier Ginola di timnas tamat. Meski sempat dipanggil Jacquet, dia tidak pernah lagi mendapatkan simpati suporter. Bahkan, ketika Ginola meninggalkan Prancis untuk bermain di Inggris, kompatriotnya tidak pernah memberi maaf.
"Kejadian memalukan tersebut benar-benar mengakhiri karier. Saya seperti orang lemah yang dihancurkan," ucap pemilik 17 caps dan 3 gol selama membela Les Bleus pada 1990-1995 itu.
Ginola sempat berpikir untuk gantung sepatu, meski ia lalu memutuskan mulai menata kembali hidup dan kariernya. Setelah terbuang dari Paris Saint-Germain, dia memulai semuanya lagi dari nol di Liga Inggris.
Dia bermain untuk Newcastle United pada 1995 dengan transfer 2,5 juta pounds. Pada era tersebut, Newcastle adalah klub penantang serius Manchester United dalam perebutan trofi. Ginola membantu The Magpies finish runner-up pada 1995/1996 dan 1996/1997.
Setelah Kevin Keegan meninggalkan Newcastle pada musim dingin 1997, Ginola pindah ke Tottenham Hotspur enam bulan kemudian. Di London Utara, dia melewati tiga musim yang indah. Ginola membatu Spurs menjuarai Piala Liga 1998/1999. Saat itu, dia bertandem dengan Les Ferdinand.
Setelahnya dia membela Aston Villa pada 2000-2002 dan membantu tim menjuarai Piala Intertoto 2001. Ia mengakhiri kariernya sebagai pemain Everton pada 2002.
"Saya bahagia saat memilih bermain di Inggris. Fans di sana menyambut saya dengan tangan terbuka. Itu membantu saya melupakan kejadian bersama Prancis," ucap Ginola.
Advertisement