Liputan6.com, Jakarta Sebuah riset yang dilakukan oleh Universitas Cambridge, Inggris menemukan bahwa robot dapat menjadi medium untuk anak melakukan konseling di masa depan.
Dalam riset tersebut dikatakan, bahwa anak-anak memiliki kecenderungan untuk berbagi informasi atau bercerita dengan robot, ketimbang manusia.
Advertisement
Menurut penulis riset, Micol Spitale, meski robot berpotensi menjadi medium konseling bagi anak-anak, hal itu tidak mengubah peran psikolog.
“Kami tidak berniat mengganti tenaga psikolog maupun profesional dari bidang kesehatan mental lainnya dengan robot. Tentu saja, keahlian mereka (psikolog/psikiater) lebih jauh melampaui dari apa yang dilakukan oleh robot,” ujar Micol mengutip New York Post.
Pada riset mengenai robot sebagai medium untuk konseling ini, setiap anak yang berpartisipasi diberikan waktu selama 45 menit untuk melakukan 1-on-1 atau konseling satu per satu dengan robot Nao – robot humanoid yang tubuhnya menyerupai ukuran anak kecil.
Dalam studi tersebut, anak-anak dengan rentang usia 8 hingga 13 ini turut mengambil bagian dalam kuesioner yang diisi oleh robot untuk menilai kesehatan mereka. Sementara, orangtua, wali, dan peneliti mengamati interaksi 1-on-1 dari ruangan lain.
Selama sesi berlangsung, robot-robot tersebut melakukan 4 tugas, seperti mengajukan open question tentang kenangan paling bahagia dan tersedih yang dialami anak di pekan lalu, melakukan kuesioner tentang suasana hati dan perasaan yang menggambarkan si anak, hingga meminta para anak-anak tersebut untuk menjawab beberapa pertanyaan berdasarkan ilustrasi gambar yang diperlihatkan kepada mereka.
Hal ini ditujukan untuk menentukan skala mengenai kecemasan dan depresi yang dialami anak. Sehingga orangtua dapat melakukan tindakan preventif maupun tindak lanjutan untuk kesehatan mental anak.
Pendapat Pakar
Selama sesi berlangsung, terdapat reaksi yang ditimbulkan oleh anak-anak tersebut. Ada yang mulai berbicara dengan robot, ada pula yang menyentuhnya secara langsung.
Robot tersebut juga memiliki fungsi sensor yang terletak pada bagian tangan dan kaki untuk mendeteksi detak jantung serta gerak tubuh pada anak, seperti mata, kepala, dan lainnya.
Dari sesi tersebut, peneliti menemukan dan menyimpulkan bahwasanya anak dapat dengan mudah untuk membuka diri terhadap robot. Seperti menjawab pertanyaan yang diberikan, bercerita atau mengungkapkan informasi, hingga terdapatnya pergerakan tubuh sebagai tanda reaksi anak dari robot tersebut.
Nida Itrat Abbasi, yang juga salah satu penulis dari studi tersebut juga mengungkapkan, “Para peneliti menemukan bahwa anak-anak lebih cenderung untuk membocorkan informasi pribadi. Misal mereka bercerita kalau mendapatkan intimidasi. Mereka bercerita kepada robot dengan leluasa, layaknya bercerita kepada orang dewasa”
Ketika sesi selesai, seluruh anak-anak yang berpartisipasi kemudian membagikan pengalaman mereka. Mereka mengatakan bahwa terdapat perasaan senang ketika berbicara dan bercerita dengan robot.
Akan tetapi, dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa ketika anak berinteraksi, maka reaksi dan interaksi yang mereka keluarkan dan ceritakan tersebut berbeda-beda.Hal ini didasari oleh tingkat masalah kesehatan mental yang mereka alami.
Abbasi mengungkapkan, "Robot yang kami gunakan tersebut berukuran seperti anak-anak, maka hal ini sama sekali cenderung tidak menimbulkan rasa ancaman bagi anak-anak. Mereka mungkin menganggap robot sebagai orang kepercayaan, dan tidak akan menjadi masalah apabila mereka terbuka dan bercerita.
Advertisement
Robot Tampak Menarik di Mata Anak
Pemimpin laboratorium afektif kecerdasan dan robotika di Departemen Ilmu Komputer dan Teknologi Universitas Cambridge, Profesor Hatice Gunes, mulai mempelajari hubungan antara robot sebagai alat bantu sosial dan kesehatan mental ketika dia menjadi seorang ibu.
“Setelah saya menjadi seorang ibu, saya jauh lebih tertarik pada bagaimana anak-anak mengekspresikan diri mereka saat mereka tumbuh, dan bagaimana hal itu mungkin tumpang tindih dengan pekerjaan saya di bidang robotika,” katanya.
Dia juga menjelaskan bagaimana robot dirasa lebih menarik untuk anak-anak daripada layar, karena mereka merupakan objek yang nampak nyata secara fisik.
“Anak-anak cukup taktil, dan mereka tertarik pada teknologi. Jika mereka menggunakan alat berbasis layar, mereka ditarik dari dunia fisik,” kata Gunes.
Ia juga menambahkan, “Tetapi robot itu sempurna karena mereka berada di dunia fisik — mereka lebih interaktif, sehingga anak-anak lebih terlibat.”