Belum Seminggu Harga BBM Naik, Cabai dan Daging Ayam Makin Mahal

Pemerintah resmi menaikkan harga BBM bersubsidi pada 3 September 2022. Akibatnya, harga sejumlah bahan pangan mulai naik, seperti daging ayam dan cabai.

oleh Tira Santia diperbarui 06 Sep 2022, 16:00 WIB
Aktivitas jual beli di Pasar Mega, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (5/9/2022). Kenaikan harga paling tinggi terjadi pada cabai merah, harga sebelumnya Rp 50.000, naik Rp 10.000 menjadi Rp 60.000. (Liputan6.com/Magang/Aida Nuralifa)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah resmi menaikkan harga BBM bersubsidi pada 3 September 2022. Kini harga Pertalite naik menjadi Rp 10.000 per liter, Solar Rp 6.800 per liter dan Pertamax Rp 16.500 per liter.

Belum genap seminggu harga BBM yang baru ini diterapkan, harga sejumlah bangan pangan mulai merangkak naik. Sebut saja daging ayam dan cabai.

Hal ini disebutkan oleh Ketua Bidang Penguatan Usaha dan Investasi Dewan Pengurus Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (DPP IKAPPI) Ahmad Choirul Furqon.

"Dampak kenaikan harga BBM untuk awal saja sudah terlihat sekali. Baru berapa hari naik, harga daging ayam di wilayah Singaparna sudah mulai naik, harga cabai di Tasikmalaya sudah naik," kata dia, Selasa (6/9/2022).

"Jangan sampai nanti ketika harga sembako sudah mulai naik malah saling menyalahkan. Pasalnya saling menyalahkan ini sudah pernah terjadi saat kenaikan harga cabai beberapa waktu lalu," imbuh Choirul.

Dia meminta pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini tidak hanya menggunakan kebijakan populis. Melainkan harus dengan pertimbangan logis dan matang. Menurutnya kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan pemerintah untuk mengkompensasi kenaikan BBM dalam praktiknya hanya menjadi obat bius sementara bagi masyarakat.

Choirul mengatakan setelah BLT selesai diberikan kepada masyarakat yang ditargetkan, pemerintah tidak memberikan solusi yang konkret kepada masyarakat lainnya. Dia tak ingin kebijakan ini ujungnya hanya menguntungkan segelintir orang terlibat dalam mekanisme importir energi.

"Kami harap kenaikan harga BBM ini tidak hanya menguntungkan para importir migas dan menyengsarakan masyarakat, khususnya pedagang pasar," pungkasnya.

Anisyah Al Faqir


YLKI: Harga BBM Boleh Naik, Asal Jangan Harga Bahan Pangan

Pedagang cabai di Pasar Induk Banyuwangi (Hermawan Arifianto/Liputan6.com)

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan kebijakan menaikkan harga BBM bak buah simalakama.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyadari, bila itu tidak didongkrak, maka APBN bakal makin berdarah-darah dan akan mengorbankan sektor lain.

"Jika dinaikkan, potensi efek dominonya sangat besar, berpotensi memukul daya beli masyarakat konsumen yang ditandai dengan tingginya inflasi," kata Tulus kepada Liputan6.com, Selasa (6/9/2022).

Senada, pengurus harian YLKI Agus Suyatno memberi beberapa catatan kepada pemerintah terkait kenaikan harga BBM jenis Pertalite, Pertamax, dan Solar.

Di tengah kenaikan tersebut, Agus menyatakan pemerintah harus menjamin rantai pasok komoditas pangan tidak terdampak secara signifikan. Sementara jalur-jalur distribusi harus lebih sederhana dan lancar.

"Agar tidak jadi kedok menaikkan harga bahan pangan. Jangan jadikan kenaikan BBM sebagai aji mumpung menaikkan komoditas pangan dan lainnya tanpa kendali," tegas Agus kepada Liputan6.com.

Lebih lanjut, ia juga mewajibkan pemerintah pusat dan daerah agar tetap memberikan subsidi pada angkutan umum, atau insentif lainnya. Sehingga kalau pun tarif angkutan umum mengalami kenaikan paska kenaikan harga BBM, tidak terlalu tinggi.

"Tingginya kenaikan angkutan umum, justru akan kontraproduktif bagi nasib angkutan umum itu sendiri. Sebab, akan ditinggalkan konsumen dan berpindah ke sepeda motor," ungkapnya.

 


Reformasi Subsidi BBM

Petugas SPBU melayani pengisian BBM di SPBU Jakarta, Minggu (10/2). Harga Dex diturunkan dari Rp 11.750 menjadi Rp 11.700 per liter. (Liputan6.com/AnggaYuniar)

Agus menilai, kenaikan harga BBM harus diikuti upaya mereformasi pengalokasian subsidi BBM. Artinya, penerima subsidi BBM benar benar pada masyarakat yang berhak, by name by address.

"Menurut kajian Bank Dunia, 70 persen subsidi BBM tidak tepat sasaran, karena dinikmati kelompok menengah ke atas. Fenomena ini tidak boleh dibiarkan," kecam dia.

Di sisi lain, pemerintah harus punya skenario terkait harga minyak mentah dunia. Misal, dengan menyiapkan dana tabung minyak atau oil fund.

"Dengan dana ini, jika harga minyak mentah sedang turun, maka selisihnya bisa disimpan. Jika harga minyak mentah sedang naik, maka tidak serta merta harga BBM di dalam negeri harus naik," teramg dia.

"Pemerintah harus melakukan skala prioritas dalam pengalokasian dana APBN. Dengan demikian keseimbangan dana APBN tidak mengalami bleeding," pungkas Agus.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya