Kepercayaan Publik ke Lembaga Penegak Hukum Melorot, CSIS: Perlu Reformasi Sektor Hukum

Tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei menunjukkan penurunan tajam.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Sep 2022, 16:49 WIB
Gedung KPK (Liputan6/Fachrur Rozie)

Liputan6.com, Jakarta - Tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei menunjukkan penurunan tajam. Misalnya saja kepercayaan publik terhadap lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Data Lembaga Survei Indonesia pada 2015 lalu menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan KPK masih berada di kisaran 80,8 persen. Sementara, data terakhir lembaga survei Indikator Politik pada Agustus 2022 memperlihatkan tingkat kepercayaan publik pada KPK merosot tajam ke kisaran 58,9 persen.

Menurut Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, memang terjadi tren penurunan kepercayaan publik pada lembaga-lembaga penegak hukum itu. Misalnya saja pada KPK, Kepolisian dan Pengadilan. Sementara Kejaksaan menjadi pengecualian karena justru terjadi peningkatan.

“Tren yang terjadi saat ini adalah tren penurunan kepercayaan publik pada lembaga penegak hukum, mulai dari KPK, kepolisian hingga pengadilan. Misalnya saja KPK sebagai core penegakan hukum bidang korupsi justru dipandang tidak bekerja maksimal, sehingga tingkat kepercayaan publik yang awalnya tinggin saat ini menurun jauh,” kata Arya Fernandes.

Ketika tingkat kepercayaan publik pada KPK makin menurun, sambung Arya, dukungan publik sudah menghilang, susah untuk mengembalikannya. Menurutnya, selain dukungan publik, dukungan elemen masyarakat sipil (civil society) juga menurun.

“KPK hari ini sudah kehilangan dua dukungan itu, yakni dukungan publik dan civil society,” ujarnya.

Arya juga menyoroti kepercayaan publik kepada lembaga Polri, yang juga mengalami penuruna setelah sempat naik. Perbaikan kinerja, inovasi, citra dan pengawasan internal dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan publik itu.

“Perbaikan kinerja, inovasi dan juga image serta sistem pengawasan internal lembaga menjadi sangat penting untuk menjaga public trust, karena semuanya berkaitan dengan persepsi. Misalnya saja Polri yang sudah sempat membaik, mendadak ada kasus Sambo akhirnya turun lagi kan,” tutur Arya.


Harus Ada Indikator

Menurut Arya, sudah seharusnya ada indikator jelas dan rigid yang bisa dipakai untuk mengukur tingkat public trust pada lembaga-lembaga penegak hukum yang ada.

“Taruh contohnya KPK dalam hal inovasi, dalam 2 tahun kepemimpinan terakhir apa inovasi pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan oleh KPK?,” ujarnya.

Menurutnya, kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga penegak hukum yang terus melorot menjadi PR bersama. Polri melorot, KPK yang jadi core pemberantasan korupsi juga melorot.

“Perlu reformasi total di sektor hukum untuk menghapus tren public distrust itu,” kata Arya.

Terkait relasi antara penegakan hukum dengan politik, terutama jelang pemilu 2024, Arya menyebutnya sebagai persoalan yang sudah jadi rahasia umum publik. Politisasi kasus hukum menjadi dasar prasangka “rekayasa” atau “pesanan” terhadap lembaga hukum.

Arya mencontohkan kasus e-KTP yang diduga melibatkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Formula E yang diduga terkait dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Meski demikian, menurutnya hal itu tidak akan terlalu mempengaruhi persepi elit parpol yang mengusung atau mendukung pencalonan mereka.

“Jika kasus seperti Anies dengan Formula E dan Ganjar dengan eKTP kembali diusut KPK, belum tentu akan mempengaruhi persepsi elite parpol yang mendukung mereka. Karena selain memang belum pasti soal status hukum, juga dari sisi politik, pilihan terhadap kandidat capres memang terbatas,” pungkas Arya Fernandes.

Infografis Jaksa Agung dan Wacana Kajian Hukuman Mati Koruptor. (Liputan6.com/Trieyasni)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya