Liputan6.com, Jakarta - Kelelahan yang dialami tubuh dapat memengaruhi perasaan atau pikiran menjadi tidak jernih. Misalnya, ketika ada pesan atau panggilan berbunyi, Anda merasa ingin melempar ponsel ke tempat terjauh. Anda bisa jadi merasa muak dengan tempat yang sedang ditinggali, tetapi tidak dapat meninggalkannya.
Apakah kelelahan yang Anda alami itu semata kasus kelelahan biasa atau sebenarnya tanda depresi? Melansir CNA Lifestyle pada Selasa, 6 September 2022, para ahli memberi tahu bagaimana cara membedakan antara keduanya, dan bagaimana meringkan gejala keduanya.
Baca Juga
Advertisement
Konsep kelelahan atau burnout berasal dari psikologi tempat kerja, kata Angela Neal-Barnett, seorang profesor psikologi di Kent University dan penulis Soothe Your Nerves: The Black Woman’s Guide to Understanding and Overcoming Anxiety, Panic, and Fear. Biasanya, terapis mengasosiasikan kelelahan dengan pekerjaan, meskipun peneliti juga mempelajari kelelahan orangtua, ketika mengasuh merasa kelelahan kronis.
Kelelahan telah meresap dalam leksikon budaya, terutama selama pandemi. Kondisi itu memunculkan tren 'quiet quitting (berhenti diam-diam)' atau melakukan pekerjaan minimal yang viral di platform TikTok.
Salah satu kreator konten TikTok @zaidleppelin mengungkapkan dalam videonya, dia mendengar istilah “quiet quitting” ketika Anda tidak benar-benar keluar dari pekerjaanmu, tetapi alam pikiran terus membayangkan keluar dari tempat kerjaan. Anda masih melakukan tugas-tugas yang disuruh. Namun, kamu tidak lagi menderita mentalitas hustle culture, yakni menganggap kerja adalah hidupmu karena menganggap nilai diri tidak ditentukan dari tingkat produktivitas.
Definisi Kelelahan dan Depresi
Burnout bisa dialami banyak orang saat mereka merasa tidak memiliki kendali atas kehidupan sehari-hari. Mereka terjebak dalam hal-hal kecil dari tugas-tugasnya.
Orang yang kelelahan mungkin akan merasa terkuras dan sinis tentang pekerjaan mereka; mereka dapat membenci tugas dan rekan kerja mereka. Mereka mungkin merasa mudah tersinggung dan tidak efektif dalam mengerjakan tugas, seperti mereka tidak menyelesaikan apa pun.
Bagi orang-orang yang berinteraksi dengan orang lain dalam pekerjaan mereka, seperti petugas kesehatan atau orang-orang di industri ritel dan jasa, mereka mungkin mulai kehilangan empati. Mereka menganggap pasien atau pelanggan hanya sebagai nomor sekian atau tugas hafalan yang harus diselesaikan.
Ada juga sejumlah gejala fisik yang bisa datang sebagai efek stres akibat kelelahan yang tak berkesudahan, seperti insomnia, sakit kepala, dan masalah pencernaan. Hal ini tidak bisa dianggap sepele. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan kelelahan atau burnout dalam Klasifikasi Penyakit Internasional, manual diagnostiknya, yang mencirikannya sebagai “fenomena pekerjaan”, bukan kondisi medis.
Depresi adalah diagnosis klinis. Orang dengan depresi sering mengalami anhedonia, yaitu ketidakmampuan untuk menikmati aktivitas yang dulu mereka hargai.
"Anda bisa membaca buku yang dulu kamu sukai dan sekarang kamu membencinya," ujar Dr. Jessi Gold, seorang psikiater di Universitas Washington di St Louis. Dia menambahkan juga, seperti menonton acara komedi yang disukai, tetapi sekarang itu tidak membuatmu tertawa lagi.
Advertisement
Bisa Alami Keduanya Bersamaan
Dengan kelelahan, Anda mungkin tidak memiliki energi untuk hobi kamu, tetapi orang yang depresi akan beranggapan hobi itu bahkan tidak menghibur atau tidak menyenangkan sama sekali, kata Jeanette Bennett, seorang profesor yang mempelajari efek stres pada kesehatan di University of North Carolina di Charlotte.
Seperti halnya kelelahan, orang dengan depresi mungkin tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, dan mungkin kesulitan untuk fokus. Orang dengan depresi dapat mengisolasi diri dari orang lain karena mereka mungkin merasa butuh banyak energi hanya untuk mandi atau makan.
Depresi dapat menyebabkan perasaan sedih dan putus atas yang luar biasa. Dalam kasus yang parah, orang dengan depresi mungkin mulai berpikir bahwa mereka tidak berharga, atau bahwa hidup tidak layak untuk dijalani. Gejala-gejala ini cenderung berlangsung setidaknya selama dua minggu, kata Dr. Gold dan Dr. Neal-Bernett.
Pembeda utama adalah bahwa kelelahan menjadi lebih baik ketika kamu berhenti bekerja, kata Dr. Rebecca Brendel, presiden American Psychiatric Association. Ketika kamu mengambil waktu liburan, atau hari kesehatan mental, kamu merasa setidaknya sedikit terisi kembali.
Depresi tidak akan hilang jika kamu mengubah keadaan kamu. "Tidak ada efek bouncing-back (memantul kembali) itu. Dibutuhkan lebih dari itu," katanya.
Kombinasi kompleks faktor genetik dan lingkungan dapat berkontribusi pada depresi. Orang yang mengalami peristiwa traumatis atau mengalami perubahan besar dalam hidup, berisiko lebih tinggi mengalami depresi. Begitu juga orang yang memiliki anggota keluarga dengan depresi.
Kelelahan itu juga bisa menjadi faktor risiko depresi, kata Dr. Neal-Barnett. Anda juga dapat mengalami kelelahan dan depresi pada saat yang bersamaan. "Mengingat efek COVID-19, mengingat rasisme sebagai krisis kesehatan masyarakat di negara ini, penting bagi kita untuk mewaspadai kombinasi itu," ungkap Dr. Neal-Barnett.
Solusi Mengatasinya
Jika merasa kelelahan atau burnout, Anda dapat mengambil hari kesehatan mental atau "hari yang menyedihkan" atau pun cuti dari pekerjaan. Jika merasa lelah terus-menerus, Anda mungkin ingin mempertimbangkan perubahan karier – yang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, kata Dr Gold.
"Mampu mengatakan, 'Ini adalah tempat kerja yang buruk. Itu saja, aku berhenti', adalah hak istimewa di luar hak istimewa," katanya.
Ada juga cara yang lebih kecil untuk menetapkan batasan, seperti mematikan notifikasi dari email kantor atau sepikan pada jam-jam tertentu. Jika ada satu pertemuan yang selalu kamu takuti, coba hentikan lima atau 10 menit setelahnya untuk melakukan sesuatu yang dapat membantu kamu rileks, saran Dr Gold. "Mampu memiliki kontrol adalah pencegah dari kelelahan," katanya.
Kamu juga dapat mencoba menonjolkan elemen pekerjaanmu yang menurut kamu bermakna. Misalnya dengan membimbing rekan kerja yang lebih junior, kata Dr Gold, atau menawarkan untuk menyerahkan tanggung jawab yang kurang kamu sukai kepada rekan kerja demi membantu mereka dengan proyek yang lebih kamu minati.
Bennet juga menyebut olahraga dapat membantu meredakan ketegangan yang berhubungan dengan pekerjaan karena dapat mengukir bahkan beberapa menit untuk dekompresi – tanpa ponsel kamu. "Jika kamu duduk di depan komputer untuk pekerjaan, dan kemudian kamu menggunakan ponsel saat bepergian, kemudian kamu pulang dan menonton serial Netflix apa pun yang kamu sukai – semua itu adalah stimulasi," katanya.
Advertisement
Istirahatkan Otak
Otak Anda perlu istirahat agar dapat membantu menahan stres. Caranya dengan menjauh dari layar, tetapi juga memberi diri Anda keheningan untuk beberapa saat, duduk dengan pikiran kamu, tanpa gangguan. Jika Anda berjuang untuk mengatasi kelelahan, pertimbangkan untuk berbicara dengan profesional kesehatan mental.
Untuk depresi, hubungi penyedia layanan kesehatan mental, yang dapat membantu mengembangkan rencana untuk mengobati dan mengatasi gejala yang kamu alami. Mulailah dari yang kecil dan sederhana. Jika kamu mengatakan pada diri sendiri bahwa kamu akan berjalan kaki lima menit, kamu mungkin akan berjalan lebih lama dari itu, kata Dr Gold.
"Tapi sulit ketika kamu lelah dan sedih untuk membuat diri kamu melakukan sesuatu,” tambahnya.
Keluar dari rumah tidak akan meringankan semua gejala yang dialami, tetapi gerakan apa pun dapat membantu seseorang erasa sedikit lebih baik, katanya. Anda dapat menuliskan mekanisme koping yang selama ini membantu, seperti menelepon teman atau berlari cepat, dan menyimpan daftar tersebut di meja atau lemari saat kamu membutuhkannya.
Perhatikan apa yang cocok untuk Anda sendiri, kata Dr Gold. "Jika Anda tidak menyukai mindfulness (perhatian penuh), jangan paksakan,” katanya. "Lakukan hal-hal yang benar-benar membantu kamu merasa lebih baik di saat-saat ketika kamu merasa buruk."