Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bakal memperberat tuntutan yang dilayangkan terhadap terdakwa kasus korupsi. Keputusan ini bakal diambil buntut dari banyaknya narapidana (napi) kasus korupsi alias koruptor yang menerima program pembebasan bersyarat (PB).
"Mungkin ke depan kalau misalnya ada terdakwa korupsi yang tidak kooperatif dan lain-lain misalnya, dalam tuntutan mungkin akan kita tambahkan, kalau itu pejabat publik, yaitu tadi mencabut hak dipilih dan mencabut supaya terdakwa tidak mendapatkan haknya selaku terpidana. Itu bisa dicabut," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Rabu (7/9/2022).
Baca Juga
Advertisement
Menurut Alex, yang memiliki kewenangan dalam memberikan hak pembebasan bersyarat memang bukan KPK. Namun tim jaksa KPK bisa menuntut agar hakim mencabut hak para koruptor sebagai narapidana.
"Prinsipnya pembebasan bersyarat dan remisi itu hak (narapidana). Bisa enggak hak itu dicabut? Bisa. Siapa yang mencabut? Hakim. Atas apa? Atas tuntutan dari JPU (jaksa penuntut umum)," kata Alex.
Alex mengatakan, regulasi dalam pembebasan bersyarat kali ini berbeda dengan sebelumnya. Jika sebelumnya KPK dilibatkan sebelum memberikan bebas bersyarat kepada koruptor, namun kini tidak lantaran putusan Mahkamah Agung (MA).
"Dulu kalau tahanan itu perkaranya dari KPK, itu dari rutan minta rekomendasi KPK. Sekarang dibatalkan itu PP itu oleh Mahkamah Agung (MA)," ucap Alex.
Diketahui, pada Selasa 6 September 2022 kemarin, beberapa koruptor mendapatkan program pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM).
Ratu Atut hingga Zumi Zola
Mereka di antaranya yakni mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan jaksa Kejagung Pinangki Sirna Malasari, mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, mantan Menteri Agama (Menag), Suryadharma Ali, dan mantan Gubernur Jambi Zumi Zola.
Atut dan Pinangki bebas dari Lapas Kelas IIA Tangerang. Sementara Patrialis, Suryadharma Ali, dan Zumi Zola bebas dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Ratu Atut sendiri dinilai hakim terbukti bersalah melakukan suap terhadap Hakim MK Akil Mochtar. Suap yang diberikan Atut senilai Rp1 miliar untuk memenangkan gugatan salah satu pasangan calon bupati dalam Pilkada Lebak, Banten.
Dalam perkara itu, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Atut dengan hukuman 4 tahun penjara denda Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan. Namun pada tingkat kasasi hukuman Atut diperberat menjadi 7 tahun.
Atut pun mengajukan upaya hukum peninjauan kembali atau PK. Namun upaya itu ditolak Mahkamah Agung (MA).
Selain itu, Atut juga tersangkut perkara korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes) Provinsi Banten dengan kerugian negara Rp79,7 miliar. Atut dihukum pidana penjara 5 tahun 6 bulan denda sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan penjara.
Advertisement
Pinangki Dapat Banyak 'Diskon' Hukuman
Sementara Pinangki diketahui divonis 10 tahun pidana penjara atas perkara suap, tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pemufakatan jahat terkait skandal kasus Djoko Tjandra. Dalam putusan banding, PT DKI menyunat hukuman Pinangki menjadi 4 tahun penjara.
Sedangkan Patrialis Akbar diketahui merupakan terpidana kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi. Pengadilan Tipikor Jakarta saat itu menjatuhkan hukuman 8 tahun pidana penjara terhadap Patrialis Akbar pada 4 September 2017. Namun, hukumannya disunat menjadi 7 tahun oleh MA lewat peninjauan kembali (PK) pada Agustus 2018.
Sementara itu, Suryadharma Ali divonis Pengadilan Tipikor Jakarta hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Suryadharma Ali dinyatakan terbukti korupsi dalam perkara penyelenggaraan ibadah haji hingga merugikan keuangan negara mencapai Rp27 miliar dan Real Saudi 17 juta dan menyalahgunakan dana operasional menteri (DOM) untuk kepentingan pribadi dan keluarga mencapai Rp1,8 miliar.
Suryadharma Ali tak terima dengan vonis yang kemudian mengajukan banding. Namun Pengadilan Tinggi (PT) DKl Jakarta menolak banding yang diajukan Suryadharma Ali. PT DKI malah memperberat hukuman penjara kepada Suryadharma Ali yang juga mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi 10 tahun penjara.
Suryadharma Ali pun sempat mengajukan PK namun kandas.
Vonis Zumi Zola
Sedangka Zumi Zola divonis 6 tahun penjara denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor. Hak politik Zumi juga dicabut selama 5 tahun, terhitung sejak selesai menjalani pidana pokoknya.
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Zumi Zola terbukti menerima gratifikasi sekitar Rp44 miliar dan satu unit mobil Alphard. Selain itu, hakim menyatakan Zumi Zola terbukti menyuap 53 anggota DPRD Jambi sebesar Rp16,34 miliar untuk memuluskan ketok palu Rancangan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Raperda APBD) Jambi tahun anggaran 2017-2018.
Advertisement