Liputan6.com, Jakarta - Ekonom senior Faisal Basri menilai penyesuaian harga minyak merupakan fenomena global. Sehingga, dia mengatakan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi harus bisa dipahami dengan baik.
Faisal menyebut kenaikan harga BBM sudah terjadi hampir di semua negara, termasuk produsen besar seperti Arab Saudi.
"Harga di Indonesia lebih murah dibandingkan produsen utama minyak, Arab Saudi," kata Faisal dikutip dalam keterangan tertulis, Rabu (7/9/2022).
Setelah kenaikan, Faisal meminta langkah pemerintah selanjutnya adalah memitigasi dampak potensi meningkatnya inflasi serta mengurangi tekanan pada masyarakat yang rentan secara ekonomi.
Baca Juga
Advertisement
"Gunakan semua instrumen untuk meringankan beban rakyat," ungkap Faisal.
Lebih lanjut, Faisal menjelaskan salah satu tujuan dari kebijakan subsidi adalah redistribusi, agar distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Dengan menetapkan harga lebih murah, barang yang disubsidi menjadi dapat dijangkau oleh masyarakat yang miskin sekalipun.
"Subsidi BBM tampak tidak sejalan dengan tujuan tersebut karena ternyata orang miskin sedikit menggunakan BBM dari pada orang kaya. Sementara itu, subsidi BBM membutuhkan anggaran sangat besar," ujar Faisal.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan subsidi BBM selama ini justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi.
"Mestinya uang negara itu harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu," tegas Jokowi.
Tidak Sesuai Prinsip Keadilan
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Berly Martawardaya, menilai pemanfaatan BBM bersubsidi selama ini tidak sesuai prinsip keadilan. Kebijakan pemerintah mensubsidi harga BBM untuk membantu masyarakat tidak mampu, namun fakta di lapangan tidak demikian.
"Konsumsi BBM didominasi oleh masyarakat mampu, dimana 80% pertalite dan 95% solar dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu sehinga tidak sesuai dengan prinsip distribusi dan keadilan," kata Berly.
Enam+03:49VIDEO: Gelombang Demonstrasi Tolak Kenaikan Harga BBM, Respons dan Dampaknya? Berly menyampaikan hal itu merespons keputusan pemerintah menyesuaikan harga BBM. Menurut dia, ada beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah harus membuat penyesuaian harga BBM.
Pemulihan ekonomi setelah Covid-19 reda dan invasi Rusia ke Ukraina mendorong kenaikan harga minyak dunia sehingga melebihi USD100 per barel sejak Mei 2022. Kompensasi yang dianggarkan di APBN 2022 sebesar Rp18,5 triliun tidak cukup untuk menjaga harga solar dan pertalite. Melalui Perpres 98/2022, alokasinya pun ditambah menjadi Rp252,4 triliun. Namun ternyata masih tidak mencukupi sehingga diperkirakan perlu tambahan anggaran untuk subsidi BBM sebesar Rp195,6 T sampai akhir tahun 2022.
"
Advertisement
Opsi Paling Sedikit Dampak Negatif
Anggaran kompensasi BBM sebesar Rp448,1 triliun mendekati 15% dari APBN 2022 alias melebihi semua katagori belanja lain kecuali pendidikan. Padahal dari tiga fungsi APBN yaitu stabilisasi, distribusi dan alokasi, maka tidak tepat bila fungsi stabilitasi, dalam konteks ini harga solar dan pertalite ketika harga minyak global meroket, mengalahkan dua fungsi lainnya," ujar Berly.
Berly yang sehari-hari juga aktif sebagai dosen FEB Universitas Indonesia menyatakan bahwa ekonomi adalah ilmu memilih dari banyak opsi yang tidak sempurna dan ada dampak negatifnya. Tantangan bagi pemerintah dan policy maker adalah mencari dan mengambil opsi yang paling sedikit dampak negatif (least worse).
"Dengan pertumbuhan kuartal II-2022 menembus 5,4% dan terjadi deflasi 0,2% di bulan Agustus, saat ini opsi kebijakan yang least worse adalah realokasi subsidi BBM dengan meningkatkan alokasi perlindungan sosial dan kebijakan mitigasi dampak," katanya.