Liputan6.com, Vladivostok - Presiden Rusia Vladimir Putin memuji hubungan "positif" dengan Myanmar pada Rabu (7/9) saat ia bertemu dengan kepala junta Min Aung Hlaing di kota Vladivostok, timur Rusia.
"Myanmar adalah mitra lama dan dapat kami andalkan di Asia Tenggara. Hubungan kami berkembang secara positif," kata Putin dalam pertemuan di sela-sela Forum Ekonomi.
Advertisement
Kunjungan Min Aung Hlaing dilakukan saat kedua pemerintah menghadapi isolasi diplomatik dari berbagai negara barat.
Ketika hubungan Moskow dengan Barat terurai di Ukraina, Kremlin berusaha untuk memutar polugrinya ke Timur Tengah, Asia, dan Afrika.
"Saya sangat bangga dengan Anda, karena ketika Anda berkuasa di negara ini, Rusia, bisa dikatakan, menjadi No 1 di dunia," kata Min Aung Hlaing kepada Putin, seperti dikutip dari pernyataan Kremlin yang menerjemahkan pernyataannya ke dalam bahasa Rusia.
"Kami menyebut Anda bukan hanya pemimpin Rusia tetapi juga pemimpin dunia karena bisa mengendalikan dan mengatur stabilitas di seluruh dunia," katanya.
Kedua pemimpin itu digambarkan sangat "bersahabat dan terbuka" membahas kerja sama serta bertukar pandangan tentang hubungan dan situasi internasional, kata junta Myanmar dalam sebuah pernyataan.
Sejak kudeta yang menggulingkan pemerintah sipil Aung San Suu Kyi pada Februari tahun lalu, Myanmar menghadapi sanksi Barat dan penurunan hubungan diplomatik.
Myanmar berada dalam kekacauan dan ekonominya lumpuh saat rezim militer berjuang untuk melakukan perlawanan.
Rusia dan sekutunya China dituduh mempersenjatai junta Myanmar dengan senjata yang digunakan untuk menyerang warga sipil sejak kudeta.
Lebih dari 2.200 orang tewas dalam tindakan keras itu, menurut pemantau lokal.
Selama perjalanan ke Naypyidaw pada awal Agustus, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mendukung upaya junta untuk "menstabilkan" negara dan mengadakan pemilihan nasional tahun depan.
Rusia Akan Pasok Senjata dan Pesawat Militer ke Myanmar
Rusia akan memasok perangkat militer termasuk pesawat kepada Junta Militer Myanmar. Informasi ini diperoleh dari Alexander Mikheev, kepala pedagang senjata negara Rusia Rosoboronexport.
Aktivis HAM menuduh Moskow melegitimasi junta Myanmar, yang merebut kekuasaan dalam kudeta 1 Februari dengan melanjutkan kunjungan bilateral dan kesepakatan senjata, demikian dikutip dari Channel News Asia.
Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengatakan kepada pemimpin junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing selama kunjungannya ke ibukota Rusia bulan lalu bahwa Moskow berkomitmen untuk memperkuat hubungan militer.
Berbicara di sela-sela pertunjukan MAKS Air Show Rusia, yang dihadiri Presiden Vladimir Putin, Mikheev mengatakan Myanmar adalah salah satu pelanggan utama Rosoboronexport di Asia Tenggara.
Mikheev tidak memberikan rincian lebih lanjut apa lagi yang ada dalam kesepakatan kedua negara.
Hubungan pertahanan antara kedua negara telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Moskow memberikan pelatihan tentara dan beasiswa kepada ribuan tentara Myanmar, serta menjual senjata ke militer yang masuk daftar hitam oleh beberapa negara Barat.
Advertisement
Rusia Dukung Rencana ASEAN Atasi Krisis di Myanmar
Sementara itu, Rusia menyampaikan dukungannya atas upaya diplomatik Asia Tenggara untuk mengakhiri krisis di Myanmar.
Negara itu pun juga menyampaikan pesan serupa kepada para pemimpin militer Myanmar.
Dikutip dari laman Channel News Asia, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov dalam kunjungannya ke Jakarta menyampaikan bahwa konsensus lima poin yang disepakati oleh blok Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) harus menjadi dasar di mana situasi di Myanmar dapat diselesaikan.
"Dalam kontak kami dengan para pemimpin Myanmar, para pemimpin militer, kami mempromosikan posisi ASEAN yang menurut pandangan kami harus dipertimbangkan sebagai dasar untuk menyelesaikan krisis ini dan mengembalikan situasi ke keadaan normal," kata Lavrov.
Lavrov juga akan mengadakan pembicaraan virtual dengan rekan-rekan ASEAN-nya selama kunjungan ke Jakarta, kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.
Sama-sama Dijatuhi Sanksi
Komentar Lavrov muncul di tengah keterlibatan yang semakin dalam antara Rusia dan militer Myanmar, ketika negara kekuatan dunia tersebut menjatuhkan sanksi kepada bisnis dan pemimpin Myanmar serta menyerukan larangan global atas penjualan senjata ke negara tersebut.
Diketahui bahwa Myanmar, sedang berada dalam krisis sejak terjadi kudeta militer yang menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi - memicu kemarahan nasional yang dengan cepat berubah menjadi protes dan pemogokan yang ditekan secara keras oleh pasukan keamanan.
Pertempuran antara tentara dan kelompok milisi di beberapa daerah di Myanmar juga telah membuat puluhan ribu orang mengungsi.
Advertisement