Liputan6.com, Teheran - Dalam pembicaraan yang berlarut-larut dengan negara-negara adidaya untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir tahun 2015 yang carut marut, Iran, pada Selasa (6/9), bersikeras untuk menyelesaikan “empat topik” dalam perundingan itu.
Empat poin yang disampaikan oleh juru bicara pemerintah Iran itu terkait dengan jaminan yang akan Amerika Serikat dalam kesepakatan baru, keringanan sanksi, dan pemantauan PBB terhadap fasilitas-fasilitas nuklir Iran, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (8/9/2022).
Advertisement
Juru bicara Ali Bahadori-Jahromi dalam konferensi pers mengatakan “seperti yang dikatakan Presiden Iran Ebrahim Raisi, kami telah mengupayakan dan akan terus mengupayakan empat topik (tersebut )dalam negosiasi.”
Pada poin pertama, ujarnya, “jaminan Amerika harus meyakinkan” terutama mengacu pada permintaan Iran bahwa pemerintah Amerika Serikat di masa depan tidak lagi membatalkan perjanjian itu sebagaimana yang dilakukan mantan presiden Donald Trump pada tahun 2018.
“Verifikasi obyektif dan praktis harus disiapkan dalam kesepakatan itu,” tambahnya, untuk memastikan agar sanksi ekonomi tidak saja dicabut di atas kertas, dan bahwa perusahaan-perusahaan internasional dapat kembali ke Iran dan beroperasi secara bebas.
Bahadori-Jahromi juga mengatakan “penghapusan sanksi harus bermakna dan berkelanjutan” karena Iran yang kaya minyak benar-benar berharap dapat menuai manfaat ekonomi dari keringanan sanksi itu.
Perjanjian nuklir yang asli menjanjikan pencabutan sanksi dan bantuan pada Iran sebagai imbalan atas jaminan untuk tidak mengupayakan pembuatan senjata nuklir.
Trump Menarik Diri dari Kesepakatan Nuklir
Trump menarik AS keluar dari perjanjian itu pada tahun 2018 dan menerapkan kembali sanksi ekonomi yang berat terhadap Iran. Hal tersebut mendorong Iran membatalkan komitmennya dalam perjanjian itu.
Sejak April 2021 lalu, Iran – dengan bantuan mediasi Uni Eropa – telah kembali terlibat dalam perundingan untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir itu. Perundingan langsung dilakukan bersama Inggris, China, Prancis, Jerman dan Rusia; sementara perundingan tidak langsung dilakukan dengan Amerika Serikat.
Uni Eropa pada 8 Agustus lalu mengajukan apa yang disebut sebagai teks akhir untuk menghidupkan kembali perjanjian itu.
Iran dan Amerika telah mengeluarkan tanggapan atas proposal tersebut.
Amerika Serikat, pada Kamis (1/9) lalu, melabeli tanggapan terbaru Iran itu sebagai hal yang “tidak konstruktif,” dan menambahkan bahwa Washington akan mengeluarkan jawabannya sendiri melalui Uni Eropa.
Bahadori-Jahromi mengatakan “perundingan tentang kesepakatan itu terus berlanjut, tetapi pihak lain harus menghentikan tuntutan yang berlebihan.”
Advertisement
Menlu Iran: Kesepakatan Nuklir Akan Tercapai Jika AS Realistis
Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian pada hari Senin mendesak Amerika Serikat untuk menjadi "realistis" untuk membantu mencapai kesepakatan dalam pembicaraan Wina yang bertujuan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).
Diplomat Iran mengatakan dalam sebuah tweet bahwa "tuntutan berlebihan" dari Amerika Serikat dapat menyebabkan jeda dalam negosiasi Wina karena Iran "tidak akan pernah menyerah" pada tuntutan tersebut.
Amir-Abdollahian juga menunjukkan bahwa "kesepakatan dapat dicapai jika Amerika Serikat realistis."
Sebelumnya pada hari itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan bahwa Amerika Serikat harus bertanggung jawab atas penundaan pembicaraan di Wina.
Iran menandatangani JCPOA dengan kekuatan dunia pada Juli 2015. Namun, mantan Presiden AS Donald Trump menarik Amerika Serikat keluar dari perjanjian pada Mei 2018 dan menerapkan kembali sanksi sepihak terhadap Teheran, mendorong republik Islam itu untuk mengurangi beberapa komitmen nuklirnya di bawah kesepakatan sebagai pembalasan.
Upaya Kembali Capai Kesepakatan
Sejak April 2021, delapan putaran pembicaraan telah diadakan di Wina antara Iran dan pihak-pihak JCPOA yang tersisa, yaitu China, Rusia, Inggris, Prancis, dan Jerman, untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu.
Selama beberapa minggu terakhir, laporan dari Wina menunjukkan bahwa para perunding "dekat" dengan kesepakatan dengan beberapa masalah utama yang tersisa yang membutuhkan "keputusan politik" dari para pihak.
Advertisement