Liputan6.com, Phnom Penh - Kerajaan Kamboja kini sedang menjadi sorotan internasional karena masalah perdagangan manusia, serta peran jaringan kejahatan digital dari China yang mempekerjakan orang-orang tersebut.
Dilaporkan VOA Indonesia, Rabu (7/9/2022), pada akhir Agustus pemerintah Kamboja mengakui perlu melakukan pendekatan yang agresif terkait maraknya laporan mengenai perdagangan manusia yang beroperasi di negaranya. Tindak kejahatan yang menyebabkan sejumlah pekerja dari seluruh penjuru Asia menjadi korban itu bekerja di bawah jaringan kejahatan dunia maya China.
Baca Juga
Advertisement
Menteri Dalam Negeri Sar Kheng mengatakan pada 22 Agustus bahwa pihaknya telah mengerahkan aparat untuk memeriksa hotel, kasino, dan tempat-tempat lain di seluruh negeri untuk mencari calon korban perdagangan manusia. Dalam aksi tersebut, bahkan, beberapa tersangka penyelundup berhasil ditangkap.
Komentar Sar Kheng tersebut mengemuka tak lama setelah Taiwan mengeluhkan lebih dari 300 warga negaranya ditahan di Kamboja setelah dibujuk untuk bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang teknologi dengan iming-iming gaji tinggi. Namun, kenyataannya mereka hanya bekerja sebagai operator untuk menghubungi calon-calon korban yang telah dibidik China.
Kekhawatiran Taiwan itu merupakan bentuk protes resmi terbaru yang sebelumnya telah dilayangkan oleh sejumlah pemerintah negara lain yang mengungkapkan nasib warganya yang terjebak dalam praktik penipuan yang dikelola China yang berbasis di Kamboja.
Indonesia meminta diadakannya pertemuan khusus dengan Kamboja di sela-sela KTT ASEAN pada awal Agustus untuk membicarakan mengenai warganya yang menjadi korban perdagangan manusia di Kamboja. Indonesia kemudian mengumumkan pada pekan lalu bahwa mereka telah memulangkan 241 warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perusahaan online bodong. Pemerintah Indonesia juga telah berhasil menggagalkan 214 calon korban pekerja migran lainnya untuk pergi ke Kamboja.
Filipina Juga Angkat Bicara
Sejak awal Agustus, Filipina mendesak pihak berwenang Kamboja untuk menyelamatkan empat warga negaranya yang ditahan di kompleks kasino di Provinsi Koh Kong. Lebih dari 40 warga negara Vietnam melarikan diri dari sebuah kasino di Provinsi Kandal. Mereka berenang menyeberangi Sungai Binh Di ke Vietnam. Pejabat Hong Kong mengatakan 10 warganya kini masih terjebak di Kamboja.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Kamboja Chum Sounry mengatakan dalam enam bulan terakhir, pihaknya telah menerima permintaan intervensi dalam kasus kerja paksa dari setidaknya dari sembilan kedutaan, termasuk Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, Mongolia, Nepal, Pakistan, Filipina, dan Thailand.
Dan Kementerian Dalam Negeri mengatakan sekitar 900 warga asing telah diselamatkan dari jaringan perdagangan manusia sepanjang tahun ini.
Kamboja telah lama memiliki masalah internal dengan warganya sendiri. Warga Kamboja acap kali diperdagangkan dalam kondisi seperti budak ke negara-negara terdekat seperti Thailand dan Indonesia. Namun, membasmi jaringan perdagangan negara asing yang beroperasi di dalam negaranya adalah fenomena baru. Para pakar mengatakan kepada VOA Khmer bahwa kemampuan Phnom Penh untuk merobek jaringan kriminal tersebut dapat memiliki konsekuensi yang luas bagi perekonomian dan kedudukan regionalnya.
Jason Tower, Direktur Burma untuk Institut Perdamaian Amerika Serikat, mengatakan jaringan kriminal China telah memperluas jejak mereka di kantong-kantong yang relatif tanpa hukum di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir, termasuk merangsek masuk ke dalam wilayah Kamboja, Myanmar utara dan Laos.
Advertisement
Perjudian Online
Tindakan keras terhadap perjudian online di China, katanya, mendorong banyak aktor jahat keluar dari China dan hijrah ke wilayah Asia Tenggara yang relatif tidak diatur. Dan kemudian COVID-19 tiba-tiba menghentikan aliran tenaga kerja, turis, dan penjudi dari China, memaksa kejahatan yang sebelumnya telah terorganisir secara efektif untuk mencari sumber pendapatan lain.
Di Kamboja, pemerintah Hun Sen juga melarang operasi perjudian online pada 2019. Kebijakan tersebut memaksa beberapa investor China di sektor ini untuk membuat rencana bisnis alternatif.
Kedutaan besar China di seluruh wilayah Asia mulai melaporkan adanya peningkatan penculikan warga negara China di awal pandemi, kata Tower. Aksi penculikan tersebut disusul dengan maraknya sejumlah laporan mengenai perdagangan manusia, pelecehan dan perbudakan dari negara-negara di seluruh wilayah Asia.
“Seiring pandemi berlangsung, semakin banyak bukti bahwa ini benar-benar krisis regional yang terungkap,” kata Tower, “bahwa ini adalah pekerjaan… kelompok kriminal transnasional yang memperdagangkan orang lintas batas, menahan mereka di zona ini sebagai budak seperti kondisi kerja dan memaksa mereka untuk melakukan penipuan atau membayar dalam jumlah besar uang untuk mengamankan kebebasan mereka.
Kasus Pelecehan
Sejumlah media, termasuk Al Jazeera, telah merinci pelecehan mengerikan yang dilakukan oleh para penculik China di Kamboja, mulai dari pemukulan brutal hingga meneror korban dengan taser dan tongkat listrik. Selain itu juga terdapat praktik kekerasan seksual terhadap perempuan korban perdagangan. Korban sering disekap di kompleks hunian yang dijaga ketat dengan kawat berduri atau jeruji untuk mencegah orang datang dan pergi.
Dan korban yang diperdagangkan tersebut seringkali cukup berpendidikan, karena penipuan yang dipaksakan kepada mereka umumnya membutuhkan keterampilan bahasa yang baik, seringkali bahasa Mandarin. Mereka juga dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengikuti skrip yang digunakan untuk menipu korban.
Penipuan yang dilakukan berkisar dari modus lotere yang disebut “pig butchering”, di mana calon korban dirayu untuk memiliki hubungan romantis sehingga pada akhirnya dapat berbagi informasi bank secara detail; mencari investor dalam skema penipuan; menjual keanggotaan klub seks palsu dan menyamar sebagai pejabat pemerintah untuk meminta biaya atau denda yang belum dibayar.
Pejabat partai yang berkuasa di Kamboja umumnya menyangkal jaringan perdagangan manusia yang beroperasi di negaranya sebagai masalah yang telah meluas, meski bukti konkretmenunjukkan sebaliknya. Bahkan mereka menuduh para korban membuat laporan palsu sebagai akal-akalan untuk melanggar kewajiban kontrak mereka.
Meskipun tidak jelas seberapa besar dampak pidato Sar Kheng pada minggu lalu, tetapi hal itu diyakini akan mengacaukan operasi ilegal. Pidato tersebut setidaknya menjadi pertanda bahwa Kamboja menanggapi kekhawatiran yang meningkat dari negara-negara tetangganya. Dan hal ini berarti Phnom Penh tidak mengekor Myanmar, di mana masalah perdagangan manusia yang lebih buruk terjadi dan bahkan melibatkan pihak junta. Myanmar hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda untuk mengatasi masalah tersebut, kata Tower.
“Tampaknya setelah muncul sedikit tekanan internasional, Anda mulai sekarang melihat pihak berwenang Kamboja keluar, setidaknya dengan mengatakan 'ya, lihat, kami melakukan beberapa hal. Kami mengambil beberapa langkah untuk mengatasi ini,'” katanya.
Advertisement
Peringkat Internasional
Kamboja telah menghadapi dampak global dari kegagalannyadalam menghadapi tren baru dalam perdagangan manusia.
Peringkat Kamboja merosot ke Tingkat 3 dalam laporan Perdagangan Manusia Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) terbaru. Turunnya peringkat Kamboja itu berarti pemerintah dinilai tidak memenuhi standar minimum dalam berupaya memerangi perdagangan manusia dan “tidak melakukan upaya yang signifikan untuk melakukannya.”
“Pihak berwenang tidak menyelidiki atau meminta pertanggungjawaban pidana pejabat mana pun yang terlibat dalam sebagian besar laporan keterlibatan yang kredibel, khususnya dengan pemilik bisnis yang tidak bermoral yang menjadikan ribuan pria, perempuan, dan anak-anak di seluruh negeri sebagai korban perdagangan manusia di tempat hiburan, tempat pembakaran batu bata, dan operasi penipuan online,” kata laporan itu.
Menurut laporan Al Jazeera, dalam kasus jaringan penipuan online China, para aktor di balik perdagangan manusia itu memiliki kedekatan dengan petinggi pemerintah Kamboja, seperti partai yang berkuasa. Beberapa taipan Kamboja yang memiliki koneksi dengan fasilitas penampungan operasi ilegal tersebut bahkan merupakan keponakan dan penasihat Perdana Menteri Hun Sen.
Dan meskipun beberapa investor China yang berada di balik praktik tersebut telah dihukum karena melakukan kejahatan keuangan di negaranya, mereka disambut dengan tangan terbuka untuk melakukan bisnis di Kamboja.
Chou Bun Eng, seorang pejabat senior Kementerian Dalam Negeri yang mengepalai Komite Nasional Penanggulangan Perdagangan Orang Kamboja, tidak menanggapi permintaan komentar terkait masalah ini. Dia sebelumnya mengatakan kepada VOA Khmer bahwa meskipun orang-orang yang diselamatkan di Kamboja adalah “korban penipuan online… kami tidak dapat mengatakan semua kasus terkait dengan perdagangan manusia.”
Dia mengatakan kepada South China Morning Post bahwa "Kamboja adalah negara korban" sindikat asal China.
“Mereka adalah orang asing yang menggunakan wilayah kami untuk melakukan kejahatan terhadap orang asing lainnya. Kami tidak memiliki kapasitas untuk menanggapi setiap laporan kejahatan, tetapi kami menyelamatkan korban ketika kami bisa,” katanya seperti dikutip dari surat kabar Hong Kong.
Am Sam Ath, Wakil Direktur Licadho, sebuah kelompok hak asasi lokal, mengatakan konsekuensi bagi Kamboja jika gagal mengendalikan jaringan perdagangan manusia bisa sangat parah.
“Jika Kamboja tidak memiliki komitmen dan kemauan yang tinggi (untuk menindak penipu), itu akan mempengaruhi citra Kamboja, investasi, dan sektor pariwisata karena (kekhawatiran akan) keamanan dan keselamatan,” katanya kepada VOA Khmer.
Dia menambahkan Kamboja harus memperkuat dan bekerja sama dengan negara-negara tetangga untuk mengekang aliran tenaga kerja ke dalam perdagangan manusia di Kamboja.
Komentar PBB
Vitit Muntarbhorn, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Kamboja, berbicara pekan lalu tentang tren penipuan dunia maya dan perdagangan manusia yang mengkhawatirkan. Hal itu diutarakan Muntarbhorn dalam kunjungan pertamanya ke Kamboja.
Dia juga menekankan kerja sama dengan negara-negara asal para korban, serta pelatihan bagi pejabat Kamboja untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengidentifikasi korban dan mengembangkan metode kreatif untuk mengumpulkan informasi tentang jaringan penipuan.
“Kami membutuhkan sesuatu yang lebih khusus dan dengan kapasitas dan sumber daya tertentu,” kata Vitit Muntarbhorn.
Pech Pisey, Direktur Eksekutif Transparency International Kamboja, mengatakan partai yang berkuasa juga dapat membayar harga politik yang mahal di negaranya, jika jaringan perdagangan manusia terus berlanjut tanpa hambatan.
“Orang-orang tidak ingin melihat Kamboja digunakan oleh penjahat internasional untuk menjalankan kegiatan kriminal yang kejam, termasuk perdagangan manusia, pencucian uang, dan perdagangan senjata,” katanya.
“Hal ini terkait dengan sebuah sistem sehingga perlu solusi yang sistematis,” kata Pech Pisey. “Para penjahat internasional seperti itu sangat ahli dan sangat pintar.”
Tower dari Institut Perdamaian AS mengatakan kegagalan dalam menghadapi para penyelundup saat ini dapat memungkinkan situasi berkembang lebih jauh, baik di Kamboja maupun di seluruh kawasan. “Negara-negara asal” dapat mulai memperingatkan warganya agar tidak melakukan perjalanan atau relokasi ke negara-negara dengan risiko perdagangan manusia yang tinggi. Peringatan itu dibutuhkan mengingat akan adanya biaya politik dan keamanan yang tinggi karena warganya akhirnya terjebak atau diperbudak di luar negeri.
“Karena pada akhirnya setiap orang memiliki kepentingan untuk dapat melindungi warga negara mereka,” kata Tower, “dan itu merupakan sebuah aib yang cukup besar bagi negara mana pun yang melihat sejumlah besar warga negaranya diperdagangkan atau mengalami keadaan seperti ini di tanah asing,” tukas Tower.
Advertisement