Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menargetkan pertumbuhan kredit menjadi 8-10 persen secara tahunan, dari 6-8 persen.
Direktur BCA Haryanto T. Budiman menuturkan, pada awal tahun BCA konservatif, tetapi saat ini menargetkan pertumbuhan kredit 8-10 persen.
Advertisement
"Awal tahun kita konservatif, kami targetkan 8-10 persen pertumbuhan kredit,” kata Haryanto dalam Press Conference BCA Expo 2022, ICE BSD, Hall 9, Tangerang, Jumat (9/9/2022).
Haryanto juga berharap, terjadi peningkatan kredit secara signifikan serta melampaui target.
"Kita tetap optimis, Expo untuk membantu pertumbuhan kredit di semester II. Semester I, kita sangat membantu, kita ingin juga akan membantu hingga akhir tahun. Mudah-mudahan ada peningkatan yang signifikan dan melebihi yang ditargetkan sebelumnya, ini kesempatan yang sangat baik,” ujar dia.
Hingga Juni 2022, BCA telah menyalurkan total kredit BCA naik 13,8 persen secara tahunan menjadi Rp675,36 triliun. Tren kredit konsumer juga terus membaik, dengan total kredit portofolio kredit konsumer naik 7,6 persen secara tahunan menjadi Rp160,51 triliun.
Kemudian untuk KPR BCA hingga Juni 2022, tumbuh 8,5 persen secara tahunan menjadi Rp101,6 triliun. Sedangkan KKB BCA hingga Juni 2022, bertumbuh 4,8 persen secara tahunan menjadi Rp43,2 triliun.
Bakal Revisi RBB
Sebelumnya, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau disebut BCA mengungkapkan akan merevisi rencana bisnis bank (RBB) dengan mengubah target pertumbuhan kredit pada 2022.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja mengatakan, BCA akan revisi target pertumbuhan kredit dari 8 persen menjadi 10 persen pada 2022.
"Kalau tadinya sekitar 8 persen sekarang mulai berkisar ke arah 10 persen, supaya kita memang lebih optimis,” kata Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja dalam konferensi pers, Rabu (27/7/2022).
Dia menambahkan, rencana untuk meningkatkan kredit itu potensinya memang cukup besar dan pihaknya berharap ini akan terus membantu pemulihan ekonomi Indonesia khususnya yang terkena pandemi COVID-19.
"Meskipun sekarang yang kita hadapi adalah kenaikan-kenaikan harga-harga bahan baku dari hampir semua perusahaan itu meningkat, sehingga kalau mereka tidak bisa menjual atau daya beli masyarakat belum bisa mengabsorb itu maka perusahaan ini untuk sementara mengalami profitabilitinya akan berkurang,” ujar dia.
Advertisement
Tantangan Baru
Jahja menilai dampak COVID-19 sudah mengalami pemulihan. Namun, karena masalah ekonomi global, terdapat tantangan baru yang harus dihadapi.
"Kita tahu harga minyak meningkat, harga minyak goreng sempat menjadi topik yang menarik karena kenaikan-kenaikan harga di luar negri luar biasa, kemudian kita lihat juga misalnya untuk bahan-bahan baku lain, karena apa transportasi dan namanya impor pasti menggunakan logistik-logistik company dengan kapal dan itu meningkat biaya kontainer semua meningkat,” ungkapnya.
Jahja menambahkan, saat ini eksportir menikmati masa keemasan seiring dolar AS yang menguat.
"Menyebabkan fokus terhadap perusahaan-perusahaan, kita tentu setiap perusahaan berbeda mungkin untuk eksportir mungkin ini masa keemasan mereka menikmati dolarnya lebih banyak rupiah yang didapat kemudian industri seperti CPO, pertambangan batu baru dan nikel tembaga alumina itu menikmati kenaikan komoditas buat mereka mendapatkan income lebih besar,” ujar dia.
Dibanding Lonjakan Suku Bunga, Bos BCA Lebih Cemas Kenaikan GWM
Sebelumnya, tren kenaikan suku bunga acuan global terus berlanjut. The Fed selaku bank sentral Amerika Serikat (AS) juga ditakutkan akan kembali memperketat kebijakan moneter sebagai upaya mengendalikan inflasi.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja pun mewaspadai kebijakan serupa turut dilakukan Bank Indonesia (BI), meskipun pihak bersangkutan masih menahan suku bunga acuan di level 3,50 persen.
Meskipun keputusan itu terlihat dovish, Jahja lebih mewaspadai kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) yang akan terus terjadi hingga September 2022 mendatang.
"BI belom naikkan bunga acuan, jadi belom terlalu terasa. Tapi sampai dengan September BI akan ketatkan uang beredar, mungkin setelah September lebih terasa," kata Jahja kepada Liputan6.com, Rabu (8/6/2022).
Seperti diketahui, BI per 1 Juni 2022 mulai menaikan GWM rupiah untuk bank umum konvensional dari 5 persen menjadi 6 persen. GWM akan terus dinaikan menjadi 7,5 persen mulai 1 Juli 2022, dan 9,0 persen pada 1 September 2022.
Kebijakan tersebut dinilai sebagai upaya bank sentral memaksimalkan sejumlah instrumen moneternya untuk meredam laju inflasi, tanpa perlu menaikan tingkat suku bunga acuan.
Pun bila BI-7 Day Reverse Repo Rate kelak naik, Jahja beserta jajaran direksi BCA tak ingin terburu-buru menaikan suku bunga deposito rupiahnya.
"Likuiditas kita banyak, jadi belom perlu langsung ikut naikkan bunga deposito," pungkas dia.
Advertisement