Liputan6.com, Banyumas - Beberapa waktu terakhir, bahasan murtad mengemuka. Ini terjadi setelah seorang selebgram tampil di sebuah podcast untuk mengklarifikasi berbagai hal tentang perubahan agamanya.
Tentu saja, sosoknya memicu kontroversi karena secara terbuka menyatakan telah keluar Islam dan kini memeluk agama lain. Tentu banyak yang menyayangkan keputusan itu, terutama keluarga dan orang-orang yang pernah mengenalnya.
Namun, tulisan ini bukan untuk membahas kontroversi pindah agama tersebut, melainkan bagaimana idealnya sikap muslim terhadap orang yang telah murtad.
Baca Juga
Advertisement
Populer di kalangan muslim, murtad dihukum mati. Ini merujuk pada anjuran pada awal perkembangan Islam 14 abad silam. Namun, apakah hukuman itu masih relevan diterapkan?
Mengutip Muhammadiyah.or.id, dalam tata hukum Indonesia, persoalan pindah agama tidak dipandang sebagai perbuatan kriminal yang harus diperkarakan di meja pengadilan.
Menurut Anggota Majelis Tarjih, Sopa, Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia tidak pernah merekomendasikan untuk menerapkan hukuman mati bagi orang yang murtad.
Menurut dia, sikap muslim terhadap orang murtad sama dengan ketentuan umum tentang hubungan muslim dengan nonmuslim.
Dalam Fatwa Tarjih, bergaul atau berhubungan baik dengan nonmuslim dalam ruang lingkup kemasyarakatan boleh dilakukan. Termasuk menyantap makanan suguhan ketika bertamu di rumah nonmuslim, sepanjang bukan termasuk makanan yang diharamkan atau mengandung sesuatu yang haram.
Karena itu Fatwa Tarjih menegaskan bahwa menerima tamu atau bertamu ke rumah nonmuslim harus bersikap baik, dan dengan penuh penghormatan. Dan ini adalah bagian dari hubungan kemasyarakatan umum.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Pembatasan dan Larangan
Fatwa Tarjih juga membatasi pergaulan dengan nonmuslim. Boleh menerima sesuatu dari nonmuslim jika diberikan secara murni dan tidak mengikat serta barang yang diberikan adalah barang yang halal.
Karenanya, umat Islam dibolehkan menerima sesuatu, misalnya, berupa karpet atau sajadah untuk keperluan salat dari pemeluk agama lain.
Akan tetapi dalam Fatwa Tarjih ditegaskan bahwa umat Islam tidak dibenarkan untuk menyumbang sesuatu yang digunakan untuk sembahyang agama orang lain karena hal tersebut merupakan perbuatan menolong kepada kejelekan dan dosa.
Selain itu, Fatwa Tarjih dengan tegas menyatakan bahwa mengikuti prosesi ibadah nonmuslim hukumnya haram. Termasuk tidak dianjurkan mengucapkan selamat untuk hari-hari besar peribadatan non-muslim seperti Natal. Sebab kerukunan beragama hanya bisa terjadi di luar bidang akidah dan ibadah.
Umat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan nonmuslim dalam persoalan muamalah-duniawiyah. Karenanya, seorang muslim tidak diperbolehkan mengikuti prosesi Natal, namun bila dalam rangka membantu persiapan perayaan natal seperti penyiapan tempat, tenaga, dan keamanan dibolehkan.
Dengan melihat sekilas kesimpulan Fatwa Tarjih di atas, Muhammadiyah telah memposisikan diri sebagai gerakan moderat. Dengan kata lain, ketika Muhammadiyah dalam masalah akidah dan ibadah lebih merujuk kepada paham Salafi yang sangat puritan.
Akan tetapi pada saat yang sama Muhammadiyah senantiasa berusaha melibatkan kemampuan rasional-intelektual untuk mengkaji masalah-masalah ijtihadiyah yang terus berkembang.
Advertisement
Murtad dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, soal murtad itu bukan perkara sederhana. Ayat yang membicarakan soal murtad terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 217. Menurut Ibn Jarir al-Thabari, ayat ini hendak menegaskan bahwa seseorang yang murtad lalu meninggal dunia tanpa sempat bertaubat maka seluruh amal ibadah yang pernah dilakukannya tidak akan diterima Allah Swt (al-Thabari, Jami’ al-Bayan fî Ta’wil al-Qur’an, jilid II, hal. 367). Karenanya, akibat yang diterima dari orang yang murtad di akhirat kelak adalah kekal di dalam neraka.
Selain itu, ayat lain yang membicarakan soal murtad adalah QS Muhammad ayat 25. Menurut al-Thabari, orang yang murtad tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang memproklamirkan diri telah keluar dari Islam, tetapi juga para Ahli Kitab yang mengingkari kerisalahan Nabi Muhammad Saw (al-Thabari, Jami’ al-Bayan fî Ta’wil al-Qur’an, jilid XI, hal. 322). Sebagian mufasir juga mengartikan murtad dalam ayat itu bagi orang-orang munafik yang tidak bersungguh-sungguh dalam berislam atau mengaku Islam tapi hatinya kafir (al-Qurtubi, al-Jami` li Ahkam alQur’an, jilid VIII, hal. 531).
Ayat lain yang bersinggungan dengan perpindahan dari Islam ke agama lain dibicarakan dalam QS. An-Nisa ayat 137. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa orang-orang yang beriman lalu kafir, kemudian beriman lagi, kemudian kafir lagi, lalu bertambah kekafirannya selamanya hingga meninggal dalam kekafiran, maka Allah tidak akan mengampuni mereka setelah mereka mati, dan tidak pula menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus, yaitu jalan menuju surga.
Berdasarkan tiga ayat di atas, tidak terdapat sanksi yang tegas bagi orang murtad, sebagaimana dalam kasus pencurian, menuduh orang berzina (qadzaf), berzina, dan membunuh. Dapat dikatakan bahwa di dalam Al Quran perbuatan murtad seperti halnya meninggalkan salat, meminum khamr, membuka aurat, dan lain-lain yang tidak ada sanksi hukum duniawinya. Perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut akan dihukum dengan balasan yang amat pedih di akhirat kelak.
Sementara itu, hadis yang sering dirujuk untuk hukuman orang yang murtad adalah man baddala dinahu fa-‘qtuluh (sesiapa saja yang pindah agama, maka bunuhlah). Sebagian ulama menganggap hadis ini mengisi kekosongan hukum yang tidak terdapat di dalam Al Quran. Sebab hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua berfungsi menjelaskan, mengelaborasi, dan memerinci sejumlah ketentuan umum di dalam Kitab Suci.
Karenanya, banyak ulama klasik terutama kalangan ahli fikih berpendapat bahwa hukuman bagi perbuatan murtad adalah maut. Para ahli hukum juga sepakat bahwa hanya penguasa yang dapat menjalankan hukuman ini dan tidak boleh main hakim sendiri.
Sebagian ulama terutama cendekiawan kontemporer menilai bahwa hadis Nabi SAW dan pandangan para ulama klasik tentang sanksi bagi orang yang murtad itu harus dipandang secara kontekstual sehingga tidak bisa menjadi patokan umum yang berlaku untuk semua dimensi ruang dan waktu.
Karenanya, menarik sekali untuk mengamati apa makna “murtad” dalam sejarah Islam sehingga terkesan sebagai tindakan kriminal yang sampai harus berujung maut bagi pelakunya.
Memahami Makna Murtad
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Sopa dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (24/11) menjelaskan tentang arti kata murtad dari sisi bahasa. Kata “murtad” berasal dari kata “radda” yang memiliki arti mengembalikan, memalingkan, menutup, menolak, bantahan, mencegah. Kata ini juga berasal dari kata “irtadd” yang berarti kembali, mundur, membalik. Istilah murtad berasal dari gabungan kata “irtadda ‘an dinihi” yang berarti menolak atau mengembalikan dari agamanya.
Menurut Jonathan Brown, pada masa Nabi Muhammad dan komunitas Muslim awal, kata “ridda” beserta turunannya dipahami bukan sebagai pilihan pribadi untuk berpindah agama tetapi sebagai tindakan publik pemisahan politik dari komunitas Muslim (Yaqeeninstitute.org, 2017). Dengan kata lain, hukuman mati bagi orang yang murtad terjadi karena mereka melakukan pengkhianatan terhadap komunitas Muslim seperti bergabung dengan barisan musuh-musuh Islam.
Sebab hadis “sesiapa saja yang pindah agama, maka bunuhlah”, kata Jonathan Brown sambil mengutip kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal, diungkapkan dalam konteks sekelompok Muslim yang telah menolak Islam, kemudian mulai berorasi dan bahkan menuliskan ide-ide “sesat” (orang-orang murtad ini digambarkan sebagai zanadiqa). Karenanya, kata Arab yang digunakan untuk menggambarkan apa yang telah mereka lakukan yaitu “irtadd” dipahami pada periode awal Islam sebagai pemberontakan terhadap komunitas Muslim.
Setelah Nabi Saw wafat, dua tahun perang terhadap murtadin yang terkenal terjadi selama kekhalifahan Abu Bakar. Terdapat tujuh kelompok orang murtad pada zaman Abu Bakar, yaitu Fazarah atau pengikut ‘Uyaynah ibn Hashin, sebagian bani Tamim atau pengikut Sajjah binti al-Mundhir, dan lain-lain. Pada masa itu, mereka ini adalah orang-orang yang mengaku nabi, melakukan pemberontakan, dan membangkang dari kewajiban zakat. Abu Bakar memerangi mereka lantaran kemurtadan hanya dihukum jika dianggap sebagai ancaman bagi ketertiban umum.
Dengan kata laun, kemurtadan itu dipahami sebagai ancaman terhadap tatanan politik yang menyeluruh dan bukan sebagai kejahatan dalam dirinya sendiri, hal ini jelas dari bagaimana para ahli fikih klasik menggambarkannya. Pilihan para ahli tentang di mana menempatkan topik kemurtadan dalam buku-buku hukum lebih jauh mengungkapkan bahwa yang menjadi perhatian mereka adalah sifat umum kemurtadan dan bagaimana mereka melihatnya mempengaruhi tatanan politik.
Sebuah buku teks dasar di Mazhab Syafi’i yaitu kitab Muhadhdhab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i karya Abu Ishaq al-Syirazi mencantumkan persoalan murtad ini tidak di bawah hukuman pidana (Hudud) tetapi di bawah bab tentang berurusan dengan pemberontakan (al-Bughat). Para ahli hukum terkenal dari mazhab Hanafi termasuk al-Sarakhsi, Ibn Humam, dan Ibn al-Saʿat membahas kemurtadan dalam bab tentang politik antarnegara (kitab al-siyar), dan tidak di samping hukuman pidana.
Meski para ahli hukum ini mengafirmasi hukuman mati bagi orang murtad, namun mereka telah memahami bahwa menghukum kemurtadan dengan kematian memiliki tujuan untuk mencegah kejahatan perang dan menjaga keharmonisan kehidupan sosial, bukan sebagai hukuman atas tindakan kekafiran, karena hukuman terbesar untuk itu adalah di sisi Allah. (sumber: muhammadiyah.or.id)
Tim Rembulan
Advertisement