Jejak Inggris di Indonesia, Resolusi Jihad dan Pertempuran Surabaya

Jejak sejarah Inggris atau Britania Raya di Indonesia tak selalu mulus. Bahkan, pasukan persemakmuran terlibat pertempuran sengit melawan tentara rakyat dan milisi Indonesia yang berpuncak pada pertempuran Surabaya 10 November 1945

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Sep 2022, 03:30 WIB
Cover Komik Pertempuran 10 November 1945, Kemetrian Sosial (Kemesos.go.id).

Liputan6.com, Jakarta - Jejak sejarah Inggris dan negara persemakmurannya di Indonesia tak selalu mulus. Konfrontasi senjata yang menyebabkan hilangnya puluhan ribu nyawa terjadi pada 10 November 1945, dalam pertempuran Surabaya.

Kala itu, penguasa Inggris raya adalah Raja George VI, ayah Ratu Elizabeth II. Baru pada 1952, Ratu Elizabeth II di

Memang, secara langsung Indonesia tak berlawanan dengan Inggris. Kala itu persemakmuran Inggir menjadi bagian sekutu yang terlibat perang dengan kekaisaran Jepang.

Begitu Jepang menyatakan kalah, pasukan sekutu mendatangi tiap negara yang pernah diduduki Jepang untuk melucuti senjata dan mengembalikan mereka ke negaranya. Pun di Indonesia.

Pasukan Inggris yang tergabung dalam (Allied Forces Netherlands East Indies) mendarat di Jakarta dan Surabaya pada 25 Oktober 1945. Hanya saja, kedatangan sekutu di Indonesia diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dengan tujuan mengembalikan Indonesia kepemerintahan sipil Hindia Belanda.

Kedatangan sekutu dan NICA ini menuai gejolak rakyat Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia begitu massif menolak kedatangan AFNEI dan pemerintahan NICA.

Sebelum itu, suasana sudah memanas sejak pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat mulai 1 September bendera merah putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, tanpa izin, bendera Indonesia di Hotel Yamato diturunkan dan diganti bendera Belanda pada 18 September yang meledakkan amarah rakyat Surabaya.

Keesokan harinya, massa berkumpul dan menutut penurunan bendera. Namun dalam negosiasi, Belanda menolak sehingga terjadi insiden berdarah yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa di kedua belah pihak.

Mendengar suara tembakan, sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono dan Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera merah putih.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Kronologi Lahirnya Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'ari

KH Hasyim Asy’ari (sumber: wikipedia)

Situasi makin memanas dan tampak jelas Belanda hendak kembali menguasai Indonesia. Bentrok-bentrok skala kecil terus terjadi di Surabaya. Belanda ingin kembali ke Indonesia setelah Jepang menyerah.

Satu ketika, salah satu tokoh berpengaruh Surabaya, Bung Tomo diutus oleh Presiden Soekarno untuk meminta fatwa Hadratus Syekh Kh Hasyim Asy'ari, Suriah Akbar Nahdlatul Ulama (NU). Soekarno meminta nasehat dan pertimbangan hukum menghadapi ancaman Belanda.

Menanggapi hal itulah KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang kemudian diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa Madura.

Selanjutnya, fatwa itu dikenal sebagai resolusi jihad. Berikut isi teks asli fatwa tersebut.

BISMILLAHIRRACMANIR ROCHIM

Resolusi:

Rapat besar Wakil-Wakil Daerah (Konsul 2) Perhimpunan NAHDLATOEL OELAMA seluruh Djawa- Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di SURABAJA.

Mendengar:

Bahwa di tiap-tiap Daerah di seluruh Djawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam dan Alim Oelama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.

Menimbang:

a. bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewadjiban bagi tiap 2 orang Islam.

b. Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah sebagian besar terdiri dari Ummat Islam.

Mengingat:

a. bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang yang datang dan berada disini telah banyak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang mengganggu ketenteraman umum.

b. bahwa semua jang dilakukan oleh mereka itu dengan maksud melanggar kedaulatan Negara Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah disini maka dibeberapa tempat telah terdjadi pertempuran jang mengorbankan beberapa banyak djiwa manusia.

c. bahwa pertempuran 2 itu sebagian besar telah dilakukan oleh Ummat Islam jang merasa wadjib menurut hukum Agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.

d. bahwa didalam menghadapi sekalian kedjadian 2 itu perlu mendapat perintah dan tuntunan jang njata dari Pemerintah Republik Indonesia jang sesuai dengan kedjadian-kedjadian tersebut.

Memutuskan

1. memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan jang njata serta sebadan terhadap usaha-usaha jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki-tangannya.

2. supaja memerintahkan melandjutkan perdjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Surabaja, 22 – 10 -1945 HB. NAHDLATOEL OELAMA

(Sumber: https://www.nu.or.id/warta/inilah-isi-resolusi-jihad-XRd0C )

 


Kematian Jenderal Mallaby

Seorang tentara Inggris memeriksa bangkai mobil Brigjen Mallaby yang tewas pada 30 Oktober 1945 di Surabaya. (Istimewa)

Keluarnya resolusi jihad dari KH Hasyim Asy'ari membuat pemuda makin mantap melakukan perlawanan. Para kiai juga mengerahkan santrinya untuk turut berjuang bersama tentara rakyat dan pemuda.

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.

Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.

Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya. Terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.

Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi pada tanggal 10 November 1945.

Ultimatum yang disebarkan melalui pamflet udara oleh tentara Inggris membuat rakyat Surabaya sangat marah. Nyaris seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok bersenjata.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan/milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.

Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.


Pertempuran Surabaya, Kemenangan Strategis Indonesia

Sejumlah anggota perhimpunan sepeda kuno Surabaya, membawakan drama pertempuran Surabaya, saat Pawai Budaya 2011 di Surabaya. (Antara)

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia.

Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain dalam menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu. Beberapa datang dari latar belakang agama seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah serta kiai-kiai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan.

Perlu diketahui, kala itu rakyat Indonesia masih bersifat patron klien. Masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kiai/ulama.

Perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu.

Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia gugur dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara.

Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

Secara teknis, sekutu yang dikomandoi jenderal Inggris memenangi pertempuran Surabaya. Namun, secara historis-strategis, Indonesia memengkan pertempuran ini.

Di lain sisi, mata Inggris dan masyarakat dunia juga melihat bahwa Republik Indonesia telah berdiri dan berdaulat. Belakangan, Inggris mendukung delegasi Indonesia dalam sidang PBB. Terlebih setelah suksesi kepemimpinan Inggris, dari Raja George VI ke Ratu Elizabeth II.

Tim Rembulan

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya