Liputan6.com, Jakarta Kekerasan dan eksploitasi anak bisa terjadi di mana saja termasuk di tempat wisata. Hal ini juga mendapat perhatian kita mengingat negara ini memiliki keragaman adat, budaya, tradisi, hingga keindahan alam memiliki daya tarik wisata yang tinggi.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengingatkan, meski beragam manfaat datang dari pariwisata, di balik itu ada upaya perlindungan anak yang harus dikencangkan.
Advertisement
“Di tengah dampak positif dari sektor pariwisata ada beberapa dampak negatif yang perlu kita waspadai, salah satunya kerentanan anak untuk mendapatkan kekerasan maupun eksploitasi.”
“Maka, upaya perlindungan khusus anak dalam sektor pariwisata menjadi penting,” kata Bintang dalam Pembukaan Forum Nasional Perlindungan Anak Ke-V dengan tema “Mewujudkan Desa dan Destinasi Wisata Ramah Anak serta Bebas Eskploitasi” di Medan, pekan lalu seperti dikutip dari keterangan pers yang diterima Liputan6.com.
Perlunya kewaspadaan tersebut didukung oleh hasil penelitian End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) dengan KemenPPPA.
Penelitian yang dirilis pada 2019 menyatakan bahwa daerah tujuan wisata rentan terhadap fenomena pekerja anak dan eksploitasi terhadap anak, di antaranya eksploitasi seksual.
“Anak yang bekerja memiliki kerentanan lebih besar untuk menjadi korban bentuk-bentuk perlakuan salah dan kekerasan,” ujar Bintang.
Panduan Wisata Ramah Anak
Mengingat anak-anak rentan mendapat perlakukan salah di tempat wisata, KemenPPPA melakukan berbagai upaya untuk merespons hal tersebut.
“Upaya yang kami lakukan dimulai dari akar rumput, salah satunya dengan menginisiasi penyusunan Panduan Wisata Pedesaan Ramah Anak Bebas Eksploitasi pada tahun 2019,” katanya.
Pihak Bintang bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Kementerian Dalam Negeri juga telah menginisiasi Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).
Bintang berharap, hadirnya model DRPPA ini dapat menjadi contoh pembangunan yang berbasis pemenuhan hak perempuan dan anak secara nyata dan terintegrasi di tingkat akar rumput.
“Pada tahun ini, Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga telah disahkan. Pada korban anak, UU ini mengisi kekosongan hukum yang ada dan menjadi pelengkap Undang-Undang tentang Perlindungan Anak,” jelasnya.
Ia kembali mengingatkan bahwa memberikan perlindungan yang optimal bagi anak-anak di manapun mereka berada adalah tugas bersama.
Advertisement
Dibutuhkan Sinergitas
Bintang menambahkan, dibutuhkan sinergi lintas sektor dan pemangku kepentingan. Baik pemerintah pusat hingga desa, akademisi dan profesional, media massa, dunia usaha hingga masyarakat.
Kolaborasi dan sinergi juga ditekankan oleh Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Pusat, Arist Merdeka Sirait. Menurutnya, ada banyak persoalan anak di Sumatera Utara yang memerlukan komitmen bersama baik dalam penegakan hukum maupun perlindungan.
“Banyak anak yang hidup dalam situasi buruk. Masih bisa kita lihat bahwa anak terpaksa bekerja di jalanan, dan ada juga anak-anak berada di tempat hiburan yang dieksploitasi oleh kepentingan-kepentingan orang sekitar anak.”
“Kalau ini dibiarkan maka hancurlah masa depan anak-anak kita. Maka dibutuhkan komitmen bersama memutus mata rantai kekerasan terhadap anak,” tegas Arist.
Medan menjadi salah satu kawasan dengan daya tarik wisata yang tinggi. Anak-anak yang tinggal di dekat area wisata rentan dipekerjakan dan dieksploitasi.
Majunya sektor wisata juga dapat berpengaruh pada pendidikan anak. Mereka yang seharusnya sekolah malah lebih fokus berdagang untuk membantu perekonomian keluarga.
Berpengaruh pada Minat Belajar
Pengaruh wisata pada pendidikan anak terlihat di Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Hal ini sempat dibahas oleh peserta Pekan Pemuda Inovasi dan Riset Nasional (PIRN XX). Dalam program yang diusung Badan Inovasi dan Riset Nasional (BRIN), para peserta yang terdiri dari guru, siswa, dan mahasiswa meneliti potensi dan masalah yang ada di Lombok tepatnya di Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno.
Salah satu kelompok siswa dari bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) mengambil judul "Dampak Sektor Pariwisata Terhadap Menurunnya Minat Belajar Anak-anak Gili Trawangan: Terjebak Dilema COVID-19."
Penelitian pun dilakukan di Gili Trawangan. Saat melakukan wawancara dan observasi, peneliti menemukan bahwa sebagian anak di sana memang memiliki minat belajar yang rendah.
“Ada yang bilang setelah SMP tidak mau melanjutkan sekolah, malah mau nikah,” ujar salah satu peneliti, Adrian Pratama Nasution saat presentasi yang dipantau Health Liputan6.com di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (15/7/2022).
Saat wawancara, anak-anak di sana tidak menggunakan bahasa Indonesia, mereka cenderung menggunakan bahasa Sasak.
“Untungnya salah satu anggota kami bisa bahasa Sasak.”
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wisata tidak mendukung minat belajar anak-anak di Gili Trawangan sehingga minat belajar mereka rendah.
Menurut kelompok ini, pariwisata adalah sektor paling penting di Gili Trawangan. Pariwisata menjanjikan pendapatan yang cepat sebelum masa pandemi COVID-19.
Namun, sektor wisata yang menjanjikan ternyata berpengaruh pada pola asuh anak-anak. Mereka cenderung mengambil peran sebagai pelaku ekonomi.
Dengan kata lain, perkembangan pariwisata membuat anak-anak ikut terjun menjadi pedagang kecil guna meningkatkan taraf hidup keluarganya. Hal ini berpengaruh pada minat belajar anak-anak di sana.
Advertisement