Elegi Warga Desa Tokilo Usai Kerbau-Kerbau Mati karena Proyek Energi

Peternakan tradisional di sekitar Danau Poso terancam hilang karena elevasi muka air yang meninggi sejak pengembangan PLTA. Hingga tahun 2022, ratusan ekor ternak kerbau mati karena kehilangan padang merumput.

oleh Heri Susanto diperbarui 14 Sep 2022, 21:00 WIB
Kerbau-kerbau yang sedang merumput di lahan penggembalaan di Desa Tokilo yang tersisa. 200 hektare padang penggembalaan kerbau di desa itu terendam luapan Danau Poso akibat pembangunan bendungan. (Foto: Rai).

Liputan6.com, Poso - Menyaksikan ratusan kerbau merumput di padang terbuka dan berendam dalam danau di Desa Tokilo, Kecamatan Pamona Tenggara, Poso, adalah keunikan dan pesona Danau Poso yang sulit ditemui di danau-danau bersejarah lain.

Padang penggembalaan seluas 300 hektare dengan pakan alami yang melimpah membuat desa dengan 177 kepala keluarga itu bertumpu pada peternakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sejak turun-temurun hingga menjadi budaya di desa itu.

Lalu, akhir tahun 2019 elevasi muka air Danau Poso tiba-tiba meninggi dan merendam 200 hektare padang penggembalaan di desa itu, menyisakan 100 hektare saja untuk ternak. Sebanyak 94 kerbau mati hanya dalam waktu 3 bulan sejak Januari tahun 2020, belum termasuk sapi yang juga bernasib sama.

Pasang-surut memang karakter Danau Poso, tapi bagi warga Tokilo, yang terjadi saat itu jelas bukan sebab alam.

"Tidak pernah terjadi sebelumnya ada ternak mati dengan jumlah segitu dalam waktu singkat. Selama 2 tahun luapan air tidak surut-surut. Aneh," Kepala Desa Tokilo, Hertian Tangku’a menceritakan, Senin (12/9/2022).

Bencana di Desa Tokilo itu sendiri diduga imbas pembendungan air Danau Poso, megaproyek kelistrikan yang diuji coba tahun 2019. Tanpa pemberitahuan ke warga desa. Juga tanpa peduli, saat warga mulai menghitung ternak-ternak yang mati karena kehilangan pakan alami.

Simak video pilihan berikut ini:


Kompensasi Merugikan hingga Ancaman Budaya yang Hilang

Seorang warga Desa Tokilo, Poso melihat padang penggembalaan kerbau yang terendam. 200 hektare padang penggembalaan kerbau di desa itu terendam luapan Danau Poso akibat pembangunan bendungan. (Foto: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Protes warga Tokilo ke perusahaan tersebut dijawab dengan negosiasi besaran kompensasi. Nilai Rp17 juta untuk kerbau dewasa dan Rp12 juta untuk anakan yang sesuai harga pasar, ditawar perusahaan menjadi masing-masing Rp7 juta dan Rp2,5 juta. Merugikan. Namun, warga tidak punya pilihan karena dibayangi kerugian yang bisa terus bertambah karena kerbau-kerbau mati.

"Ganti rugi baru diberikan tahun 2021. Terpaksa warga terima karena kerugian bisa tambah banyak," kata Benhur Bondoke (51), warga Desa Tokilo.

Sulit bagi warga untuk tidak menerima kompensasi itu. Dengan padang penggembalaan yang tersisa hanya 100 hektare, tidak mampu menampung kerbau yang mencapai ratusan. Idealnya hanya bisa untuk merumput 200-an ekor saja.

Pemerintah desa setempat bahkan mencatat sejak bencana itu, dari 700 ekor kerbau kini tersisa 476 ekor saja, karena mati dan terpaksa dijual. Pemerintah desa setempat juga mencatat ada 30 kerbau lagi yang mati selama 2022 yang belum mendapat kompensasi dari perusahaan penyuplai listrik untuk Kota Palu dan Makassar tersebut.

Model peternakan kandang dan pembuatan pagar pembatas kerbau sedang diajukan warga ke perusahaan sebagai kompensasi jangka panjang sebagai solusi untuk mempertahankan peternakan di desa itu. Kendatipun mengancam budaya peternakan tradisional yang jadi budaya dan keunikan di desa itu sejak dulu.

"Kami masih menunggu jawaban dari perusahaan. Kalau tidak dikandangkan atau diberi batas, kerbau-kerbau kami akan mencari makan ke kebun-kebun warga di luar desa kami, dan itu bisa menjadi konflik," Kades Tokilo, Hertian Tangku’a memungkasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya