PBB: 22 Juta Orang Jadi Korban Pernikahan Paksa pada 2021

PBB memastikan bahwa perbudakan masih ada di dunia.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 13 Sep 2022, 14:57 WIB
PBB mengutip data International Labour Organization (ILO), International Organization for Migration, dan Walk Free terkait angka perbudakan modern. (foto: merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - PBB menyorot data terbaru bahwa sekitar 50 juta orang hidup dalam perbudakan modern pada 2021. Angka itu termasuk 22 juta orang yang hidup dalam pernikahan paksa.

Data itu berdasarkan laporan Global Estimates of Modern Slavery yang dirilis International Labour Organization (ILO), International Organization for Migration (IOM), dan grup HAM yang melawan perbudakan modern: Walk Free.

Dirjen ILO, Guy Ryder, mengaku kaget terhadap situasi yang terjadi.

"Tidak ada yang bisa menjustifikasi pelanggaran HAM fundamental yang persisten ini," ujarnya seperti dikutip UN News, Selasa (13/9/2022).

Angka di 2021 menunjukkan kenaikan 10 juta orang dari tahun 2016. Mayoritas korban perbudakan modern adalah wanita dan anak-anak.

Perbudakan modern disebut terjadi di hampir seluruh dunia, serta berbagai etnis, budaya, dan agama. Setengah dari kerja paksa dan seperempat kasus pernikahan paksa juga terjadi di negara-negara berpendapatan menengah hingga tinggi.

Sektor Pemerintah dan Swasta

86 persen kasus kerja paksa terjadi di sektor swasta. Sebanyak 23 persen terjadi dalam bentuk eksploitasi seksual dan mayoritas korbannya adalah perempuan.

Sementara, kerja paksa yang diterapkan negara mencapai 14 persen. Sebanyak 3,3 juta korban adalah anak-anak, dan mereka juga dieksploitasi secara seksual.

Ryder berkata butuh adanya kebijakan nasional yang fundamental untuk melawan perbudakan modern ini. Namun, pihak swasta diminta ikut turun tangan.

"Serikat dagang, organisasi pemberi kerja, rakyat sipil, dan masyarakat bisa semua punya peran kritis untuk dimainkan," ujar pejabat ILO itu.


Pernikahan Paksa Anak Gadis

Ilustrasi/copyrightshutterstock/Onchira Wongsiri

Pada 2021, orang yang hidup dalam pernikahan paksa diestimasi mencapai 22 juta. Angka itu naik 6,6 juta dari estimasi 2016.

Angka sebenarnya dari pernikahan paksa diprediksi lebih tinggi dari estimasi, sebab ada bentuk pernikahan paksa yang tidak masuk spesifikasi laporan. Pernikahan paksa di konteks ini mengacu pada anak di bawah umur yang tak bisa memberikan consent secara legal.

Pihak PBB menjelaskan bahwa pernikahan anak sangatlah tergantung konteks, karena terkait attitude dan praktik patriarkal.

Pada laporan Global Estimates of Modern Slavery, ada 85 persen pernikahan paksa yang diakibatkan tekanan keluarga.

Berdasarkan ukuran populasi wilayah, sebanyak 6 persen pernikahan paksa terjadi di Asia dan Paifik.

Negara-negara Arab menjadi sorotan karena tingginya pernikahan paksa, yakni 4,8 dari 1.000 orang di kawasan harus menjalani pernikahan paksa.

Solusi yang diajukan laporan ini untuk kerja paksa dan pernikahan paksa adalah memperkuat proteksi sosial dan hukum, serta meningkatkan usia legal pernikahan menjadi 18 tahun.

Langkah-langkah lainnya adalah mempromosikan rekrutmen yang adil dan etnis, serta memberikan dukungan yang lebih kuat bagi wanita, anak perempuan, dan individu-individu rentan.


Agenda Dewan HAM PBB Dibayangi Penahanan Massal Terhadap Uyghur di China

Massa Aliansi Mahasiswa Islam (AMI) mengenakan topeng saat menggelar aksi di depan Kedutaan Besar China, Jakarta, Jumat (14/1/2022). Massa meminta pemerintah Indonesia untuk berbicara menentang genosida yang terjadi pada muslim Uighur di Xinjiang. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Beralih ke isu Uighur, aktivis HAM menuntut agar China bertanggung jawab atas dugaan pelecehan sistematis dan meluas terhadap lebih dari satu juta orang Uyghur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang.

Seruan-seruan ini semakin mendesak sejak publikasi laporan PBB pada 31 Agustus yang telah lama ditunggu-tunggu dan menuduh China melakukan penyiksaan atau perlakuan buruk serta pelanggaran lain yang dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Michelle Bachelet menyampaikan laporan itu hanya beberapa menit sebelum mengundurkan diri sebagai komisaris tinggi PBB untuk HAM.

Dalam sambutannya, ia meminta Dewan Hak Asasi Manusia untuk terus mengikuti perkembangan situasi di Xinjiang, Demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (13/9/2022).

Dalam briefing pekan lalu, Presiden Dewan HAM PBB, Federico Villegas secara diplomatis menghindari pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan diadakannya sidang khusus mengenai China. Ia mengatakan dewan tidak mengamanatkan laporan itu.

“Saya adalah ketua dewan yang terdiri dari 47 anggota, dan dewan digerakkan oleh negara. Setiap anggota dari 47 negara ini punya hak prerogatif, untuk meminta dewan melakukan apa pun yang mereka anggap perlu. Jadi, terserah kepada negara untuk memutuskan bagaimana menindaklanjuti laporan itu atau laporan lain yang menjadi perhatian dewan dalam format yang berbeda,” kata Villegas.


China dan HAM

Massa menggelar demonstrasi solidaritas untuk muslim Uighur di depan Kedubes China, Jakarta, Jumat (3/6/2022). Mereka menuntut pemerintah China melalui kedutaan besarnya di Indonesia untuk segera menghentikan penyiksaan, penyanderaan, dan pelarangan umat muslim Uighur dalam melaksanakan aktivitas ibadah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Duta Besar China untuk PBB di Jenewa, Chen Xu, mengatakan China akan dengan tegas menentang segala upaya untuk menggunakan hak asasi manusia sebagai alat politik untuk mencampuri urusan dalam negerinya. Ia mengatakan hampir 100 negara telah menyatakan dukungan terhadap apa yang disebutnya sikap adil China.

Ia menambahkan negara berkembang akan menolak semua inisiatif anti-China oleh negara-negara Barat pada sidang mendatang Dewan Hak Asasi Manusia.

“Saya harus mengatakan segala jenis tindakan anti-China sekali lagi pasti akan gagal. Jadi, singkatnya, kami sangat menentang apa yang disebut laporan penilaian itu. Dan kami akan sangat menentang setiap langkah untuk mengarahkan laporan penilaian ini, meluncurkan segala jenis mosi atau tindakan bersama terhadap kami," tukasnya.

Chen mengatakan, China siap menjalin hubungan kerja dengan komisaris tinggi hak asasi manusia yang baru diangkat, Volker Turk.

Namun, ia mengatakan Turk harus secara ketat mematuhi mandatnya, dan melakukan bisnis dengan cara yang “tidak memihak”, tidak dipolitisasi agar hubungan itu bisa berjalan baik.

Infografis 5 Tips Tetap Sehat di Masa Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Niman)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya