Liputan6.com, Jakarta - Badan Informasi Geospasial (BIG) mengindikasikan ada sekitar 43 juta hektar lahan di Indonesia yang tumpang tindih. Ini berkaitan dengan pemanfaatan ruang, batas daerah, hingga kawasan hutan.
Kepala BIG Muhammad Aris Marfai mengungkapkan data tersebut. Dengan demikian diperlukan solusi guna mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya dengan melakukan sinkronisasi secara keseluruhan peta geospasial di seluruh daerah.
Advertisement
"Ada 43 juta hektare tumpang tindih. Ini mencakup beberapa kategori. Misalnya provinsi dengan kawasan hutan, tata ruang kabupaten kota dengan hutan atau batas provinsi dengan kabupaten kota,"kata dia dalam Konferensi Pers Kebijakan Satu Peta, di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (13/9/2022).
Mengacu data yang ditampilkannya, total seluas 43 juta hektare ini setara dengan 22,8 persen dengan status ketidaksesuaian tatakan terhadap total luas nasional. Rinciannya, 2,2 persen tidak sesuai antara rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dengan kawasan hutan.
Kemudian, 6,5 persen ketidaksesuaian RTRW Kota/kabupaten dengan kawasan hutan. 1,7 persen ketidaksesuaian antara RTRW Provinsi dan RTRWK dengan Kawasan Hutan.
Lalu, 11,6 persen ketidaksesuaian antata RTRWP dengan RTRWK. Dan 0,9 persen ketidaksesuaian antara RTRW terhadap pelepasan Kawasan Hutan.
Sebagai contoh kasus, kata Aris, adanya ketidaksesuaian penerbitan Hak Guna Usaha Sawit di dalam Kawasan Hutan dalam hal Keberlanjutan. Ini tersebar di 9 kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Tengah. HGU diterbitkan mulai 2000 sebelum penunjukkan fungsi kawasan hutan menurut SK 529/Menhut-II/2012.
Contoh lainnya adanya ketidaksesuaian antara RTRWP dengan RTRWK di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Terdapat ketidaksesuaian antata peruntukan RTRWP (kawasan hutan) dengan RTRWK (kawasan perkebunan). Kondisinya, RTRWK ditetapkan lebih dulu dari RTRWP.
Kebijakan Satu Peta Jadi Solusi
Lebih lanjut, Aris mengatakan kalau Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy bisa menjadi acuan dalam menghadirkan solusi tumpang tindih. Misalnya, berdasar pada Perpres 23/2021 dengan 158 informasi geospasial tematik (IGT) yang dikompilasi.
Setelah dikompilasi keseluruhan, akan memberikan info lebih komorehensif terkait penggunaan lahan. Sehingga harapannya mampu mengakselerasi penyelesaian masalah ketidaksesuaian pemanfaatan tata ruang ataupun wilayah.
"Harpannya bisa mendukung untuk berikan informasi dan menyelesaikan dari informasi tumpang tindih meski tak seluruhnya masuk tumpang tindih. Meski ada beberapa hal tumpang tindih yang bisa diselesaikan sekarang sebelum 158 rampung. Tahapan soal tumpang tindih ini diatur dan adanya dukungan data jadi penting," terang dia.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo menyebut pemutakhiran data satu peta ini bisa berdampak baik. Misalnya, menyangkut soal kedudukan pemanfaatan tata ruang antar daerah.
"Harusnya dengan selesainya peta batas daerah, meski masih ada yang belum selelsai, pemda selesikan batas daerahnya, dengan bisa selesai akan mempermudah kita dalam hal perhitungan DAK karena tergantung luas daerah," tuturnya.
Advertisement
BIG Selesaikan Masalah Tumpang Tindih Lahan
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, pemerintah telah menyelesaikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Informasi Geospasial dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Milik Negara (KPBUMN) dalam Penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar.
Aturan ini guna mendorong Program Pemulihan Ekonomi Nasional dengan tetap berkomitmen menjalankan transformasi ekonomi diantaranya melalui kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Badan Informasi Geospasial sebagai pembina data geospasial diharapkan terus berkomitmen menyediakan data geospasial dasar yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses di berbagai penggunaan," ujar Airlangga Hartarto, dalam keterangan tertulis, Selasa (19/10/2021).
Prioritas
Tidak hanya itu, salah satu program prioritas hasil manifestasi dari Nawa Cita juga bertujuan untuk menciptakan satu peta yang terunifikasi, akurat, dan mampu mendukung perencanaan pembangunan, hak tanah, kebijakan nasional berbasis spasial, dan sebagainya.
Untuk kebijakan 'Satu Peta' telah coba diimplementasikan sehingga meliputi berbagai program antara lain sebagai berikut.
• Online Single Submission
• Penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dalam rangka reforma agraria
• Optimalisasi konektivitas infrastruktur dan pemerataan ekonomi
• Perbaikan kualitas tata ruang
• Penetapan lahan sawah dilindungi
• Pengembangan food estate
• Konsolidasi data perkebunan kelapa sawit nasional
• Perbaikan tata kelola penerbitan izin dan hak atas tanah.
Advertisement