Liputan6.com, Manado - Tinutuan atau bubur Manado merupakan makanan khas Manado yang umumnya disantap saat pagi hari atau sarapan. Meski berasal dari Manado, sajian ini juga bisa ditemui di berbagai daerah lain di luar Manado.
Dalam bahasa Manado, tinutuan berarti campur aduk. Hal tersebut terlihat dari tampilan bubur yang diolah dengan cara mencampurkan aneka sayuran ke dalamnya sehingga bubur ini dikenal memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi.
Tak seperti bubur pada umumnya yang berbahan dasar beras, tinutuan merupakan sajian campuran berbagai macam sayur yang diolah menjadi bubur. Meski tetap menyertakan beras sebagai bahan, tetapi sajian ini juga menambahkan berbagai macam sayuran di dalamnya.
Tinutuan merupakan campuran berbagai macam sayuran, seperti labu kuning (sambiki), bayam, kangkung, daun gedi, jagung, kemangi, singkong, dan beras. Biasa disajikan untuk sarapan pagi, tinutuan dapat disajikan dengan sajian pendamping lain, seperti ikan asin, tahu goreng, perkedel nike, sambal roa, cakalang fufu, perkedel jagung, dan sebagainya.
Baca Juga
Advertisement
Tinutuan juga bisa disajikan atau dicampur dengan mi, atau biasa disebut dengan 'midal'. Akhiran 'dal' berasal dari kata 'pedaal'. Pedaal merupakan nama lain tinutuan khusus di wilayah Minahasa Selatan yang merupakan wilayah sub-etnis Tountemboan di Minahasa.
Sementara itu, ada juga yang menyajikan tinutuan bersama dengan sup kacang merah, atau yang biasa disebut brenebon. Tinutuan yang dicampur brenebon, umumnya ditambah dengan bahan lain, seperti tetelan sapi.
Tak hanya dijadikan sebagai nama sajian khas Manado, kata tinutuan juga dipakai sebagai moto Kota Manado. Hal tersebut berlaku sejak kepemimpinan Wali Kota dan Wakil Wali Kota, Jimmy Rimba Rogi dan Abdi Wijaya Buchari, pada periode 2005-2010. Tinutuan menggantikan moto Kota Manado sebelumnya, yakni 'Berhikmat'.
Pada 2004 atau pertengahan 2005, Pemerintah Kota Manado melalui dinas pariwisata setempat menjadikan Kawasan Wakeke, Kecamagan Wenang, Kota Manado, sebagai lokasi wisata makanan khas tinutuan.
Penulis: Resla Aknaita Chak