Mau Kesehatan Mental Terjaga, Pekerja Sif Malam Pantang Skip Makan Siang

Kesehatan mental para pekerja sif malam bisa terganggu karena tidak makan siang

oleh Qorry Layla Aprianti diperbarui 16 Sep 2022, 08:00 WIB
Ilustrasi para orang yang sedang makan siang (AP Photo/Mark Baker)

Liputan6.com, Jakarta - Pekerja seringkali menunda bahkan melewatkan jam makan siang. Tahukah bahwa aktivitas satu ini baik bagi kesehatan mental, terlebih untuk Anda yang bekerja sif (shift) malam?

Sebuah studi baru-baru ini dilakukan dalam upaya mengetahui pengaruh makan siang bagi para pekerja sif terhadap suasana hati dan kesehatan mental.

Studi ini didasari oleh fakta bahwa telah terjadi ketidakselarasan antara jam biologis --- yang dikenal juga dengan ritme sirkadian --- pekerja sif malam dan siklus lingkungan serta perilaku sehari-hari, karena jam kerja yang tak teratur.

Studi menunjukkan bahwa ritme sirkadian memiliki dampak bagi suasana hati dan kualitas tidur. Dari penelitian juga ditemukan bahwa pekerja sif memiliki risiko sebesar 25 s.d 40 persen mengalami depresi dan kecemasan yang lebih tinggi ketimbang pekerja biasa.

Penelitian sebelumnya juga memerlihatkan bukti kerja sif berkaitan erat dengan risiko kondisi metabolik yang lebih tinggi, seperti diabetes tipe 2, seperti dikutip dari situs Medical News Today pada Kamis, 15 September 2022. 

Tapi, yang menarik dari penelitian ini, disebutkan bahwa makan di siang hari --- sekalipun jam tidur berantakan --- dapat membantu menjaga keselarasan ritme sirkadian dan mencegah terjadinya intoleransi glukosa selama bekerja di malam hari.

Namun, satu hal yang mesti digarisbawahi, masih perlu banyak bukti berbasis penelitian mengenai intervensi ritme sirkadian dan hubungannya dengan meningkatkan kesehatan mental populasi berisiko.

 


Pendapat Ahli Tentang Pengaruh Makan Siang

 

Baru-baru ini, para peneliti melakukan uji klinis acak (RCT) untuk melihat bagaimana makan siang hari memengaruhi suasana hati di antara mereka yang bekerja di lingkungan kerja sif yang disimulasikan.

Peserta yang mengikuti penelitian ini terdiri dari 19 orang, termasuk di antaranya 12 pria dan tujuh wanita dengan rata-rata umur 26,5 tahun.

Untuk memersiapkan penelitian ini, para peserta dianjurkan memertahankan waktu tidur tetap delapan jam selama dua minggu. Juga menjalani pemeriksaan laboratorium selama 14 hari.

Setelah melakukan pengukuran dasar, para peserta kemudian menjalani protokol desikronisasi paksa atau forced desynchrony (FD) dalam cahaya redup selama empat hari dan 28 jam.

Selama fase FD, para peserta secara acak diharuskan menerima makanan baik di siang hari saja atau pada siang dan malam hari sekaligus, yang khas dilakukan pekerja malam.

Kondisi lain tetap sama di antara para peserta, termasuk asupan kalori dan makronutrien, aktivitas fisik, durasi tidur, kondisi pencahayaan, dan kerja malam.

Para peneliti menilai keadaan suasana hati seperti depresi dan kecemasan peserta setiap jam selama hari-hari FD.

 

 

 

 


Hasil Studi

Peneliti menemukan peserta yang makan hanya pada siang hari, tidak mengalami perubahan pada suasana hati.

Sedangkan mereka yang makan dua kali seperti pada siang dan malam hari sekaligus mengalami peningkatan suasana hati seperti depresi sebesar 26,2 persen dan gangguan kecemasan sebesar 16,1 persen.

"Studi ini menunjukkan bahwa mengubah waktu makan dapat memberikan efek yang jelas dan terukur pada suasana hati di bawah kondisi kerja sif," kata Profesor Ilmu Saraf Sirkadian dari University of Oxford, Stuart Peirson, PhD.

"Seperti yang dicatat oleh para peneliti, penelitian ini menggunakan jadwal kerja sif yang disimulasikan dalam kondisi laboratorium. Ini masih harus diuji apakah pekerja sif malam akan mendapat manfaat," dia menambahkan.

Penilaian ini juga memasukkan kriteria ritme glukosa dan suhu tubuh masing-masing peserta.


Dampaknya pada Kesehatan Mental Para Pekerja

Psikolog Klinis dari University of Kansas Health System, Gregory Nawalanic PhD yang tidak terlibat dalam penelitian ini kemudian menjelaskan bahwa pola tidur para pekerja yang sering terganggu, dapat berakibat pada potensi depresi dan gangguan kecemasan yang menghasilkan disregulasi sirkadian.

"Disregulasi ini dapat menghasilkan pemutusan dari dunia luar sebagai individu mungkin tidur melalui komitmen hanya untuk bangun dan mengalami peningkatan depresi atau kecemasan atau membenci diri sendiri sebagai hasilnya," katanya.

"Ini memicu lingkaran setan yang memperburuk pengalaman depresi atau kecemasan mereka dalam hal merasa putus asa atau tidak berdaya tentang situasi mereka," dia menambahkan.

 

Infografis 5 Tips Kuatkan Daya Tahan Mental agar Tubuh Lebih Sehat Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya