Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Reforminer Institue, Komaidi Notonegoro menyebut penolakan terhadap kenaikan harga BBM sama halnya dengan membela orang kaya.
Hal itu disampaikan Komaidi dalam agenda diskusi publik yang digelar oleh Penggerak Milenial Indonesia (PMI), di Fifo Resto and Cafe, Situ Gintung, Ciputat, Tangerang Selatan, pada Selasa (14/9/2022).
Advertisement
Alasan Komaidi menyebut penolakan kenaikan harga BBM sama halnya dengan membela orang kaya lantaran pengguna bahan bakar jenis pertalite didominasi oleh orang mampu.
“Terkait penolakan kenaikan harga BBM, itu sama halnya dengan upaya membela orang-orang kaya, sebab pengguna bahan bakar jenis pertalite umumnya didominasi oleh orang mampu,” papar dia.
Komaidi menyampaikan terkait data pengguna bahan bakar bersubsidi 70 persen penggunanya adalah pemilik roda empat.
Sementara roda 2 hanya 30 persen penggunanya. Dan secara keseluruhan penggunanya didominasi oleh orang-orang kaya.
“Secara akumulatif, pengguna pertalite didominasi oleh orang-orang kaya. Kalkulasinya, pengguna bahan bakar bersubsidi itu 70 persen penggunanya adalah pemilik roda empat. Sementara roda 2 hanya 30 persen,” tambah dia.
Sementara itu, di sisi lain Komaidi turut memaparkan bahwa, penduduk miskin Indonesia pada tahun 2022 mencapai angka 26,11 juta jiwa.
Dan rata-rata dari mereka tidak mempunyai kendaraan bermotor, sebab hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan primer.
“Penduduk Indonesia itu, garis kemiskinanannya pada tahun 2022 mencapai angka 26,11 juta jiwa. Tapi mereka tidak punya kendaraan bermotor, sehingga alokasi BBM bersubsidi, umumnya tidak kepada mereka. Artinya, subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah untuk mensubsidi orang mampu di Indonesia, bukan orang miskin,” pungkasnya.
Ekonom Nilai Kenaikan Harga BBM sebagai Langkah Pemerintah Atasi Persoalan Bersama
Ekonom Muhammad Said menyebut bahwa penyikapan atas penyesuaian harga BBM, meski tidak lepas dari pro-kontra, haruslah berpijak pada sikap rasional.
Ini dia ungkapkan saat hadir pada acara yang digelar Penggerak Milenial Indonesia (PMI) dalam kajian diskusi bertajuk “Meneropong Efektivitas Kenaikan BBM dari Berbagai Sudut Pandang,” Selasa (13/9/2022).
“Pro-kontra soal penyesuaian BBM adalah lumrah, tapi jangan senantiasa memandang kebijakan negara dengan negatif, sebab akan mendorong kita untuk menanggapi hal itu tidak lagi rasional melainkan secara emosional,” ujar Said.
Said menilai penyesuaian harga BBM di Indonesia tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
“Jika dikomparasikan dengan negara lain, BBM di Indonesia menjadi negara dengan harga BBM termurah di dunia. Bandingkan dengan Arab Saudi yang menjadi pusat kilang minyak tapi harganya tetap tinggi,” tambahnya.
Bagi Said, penentuan kebijakan menaikkan harga BBM tidaklah sembarangan. Sebelum menetapkan, pemerintah terlebih dahulu mendasarkan pada pada data konkret yang ada di lapangan.
“Jadi apa-apa yang diputuskan pemerintah tidaklah mudah dan asal-asalan. Ada proses mengkaji terlebih dahulu. Dan semua itu bertolak pada data dan kebutuhan yang ada di lapangan,” jelasnya.
Atas dasar itu, Said menyarankan agar apa yang diputuskan pemerintah senantiasa disikapi positif. Dalam artian, dipahami sebagai langkah untuk menangani masalah bersama.
“Negara memfasilitasi setiap kebutuhan rakyat, termasuk di dalamnya BBM, yang tujuannya untuk mendorong kebutuhan-kebutuhan mereka,” pungkasnya.
Advertisement