Saat China dan Lembaga Riset Tak Sepaham Soal Lockdown Covid-19 Bikin Pusat Belanja Kosong

Sebuah laporan dari perusahaan riset real estat China terkait lonjakan tingkat kekosongan di mal Shanghai menjadi sorotan, setelah dibantah oleh otoritas kota itu.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 14 Sep 2022, 10:29 WIB
Suasana sekitar Shanghai Oriental Pearl Tower di Shanghai, China, Kamis (12/3/2020). Shanghai Oriental Pearl Tower, Shanghai Jinmao Tower, dan Shanghai Tower kembali dibuka setelah sebelumnya ditutup karena virus corona COVID-19. (Xinhua/Ding Ting)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah laporan dari perusahaan riset real estat China, China Real Estate Information Corp (CRIC) menjadi sorotan, yang menunjukkan tingkat kekosongan di mal-mal atau pusat perbelanjaan di Kota Shanghai melonjak ke tingkat yang mengkhawatirkan karena kebijakan nol-Covid-19.

Dilansir dari CNN Business, Rabu (14/9/2022) laporan itu menyebut, sebanyak 34 persen toko di mal distrik keuangan Lujiazui Shanghai tutup.

Selain itu, disebutkan juga bahwa rata-rata 9 persen toko di 20 mal utama Shanghai sudah ditutup sejak dampak lockdown Covid-19 memburuk pada kuartal II 2022. Namun, pihak berwenang Shanghai membantah hasil riset itu.

Shanghai Observer, sebuah situs web yang dijalankan oleh surat kabar resmi pemerintah, mengatakan metodologi yang digunakan oleh CRIC bertentangan dengan praktik industri.

Menurut statistik yang dikaitkan dengan perusahaan layanan real estat komersial global, yakni CBRE Group, rata-rata tingkat kekosongan di mal-mal di Shanghai hanya 6,7 persen-8,2 persen selama tiga tahun terakhir.

Shanghai Observer juga menegur beberapa media yang memberitakan laporan CRIC tersebut karena dianggap 'melebih-lebihkan kebenaran' dan 'mengambil angka di luar konteks'.

Seperti diketahui, Shanghai berada di bawah lockdown ketat selama dua bulan awal tahun ini, dan terus menghadapi pembatasan di beberapa wilayahnya yang melihat kemunculan kasus baru Covid-19. 

Dalam beberapa pekan terakhir, pemerintah China telah secara signifikan memperketat pembatasan Covid-19 untuk menahan penyebaran varian Omicron yang sangat menular.

Tetapi pembatasan tersebut menghambat aktivitas ekonomi, dan sejumlah analis memperkirakan pertumbuhan ekonomi China hanya akan berada di angkan 3 persen tahun ini.

 

 


Sejumlah Laporan Dampak Ekonomi dari Covid-19 di China Dihapus, Ada Apa?

Warga mengenakan masker berjalan di jalan perbelanjaan di Shanghai, China, Senin (23/8/2021). Untuk pertama kalinya sejak Juli lalu, Otoritas Kesehatan China pada Senin (23/8) melaporkan nol kasus corona Covid-19 penularan lokal. (AP/Andy Wong)

Namun, laporan CRIC bukan satu-satunya penelitian ekonomi terkait covid-19 yang menjadi sorotan baru-baru ini di China.

 

Laporan bank investasi China, Huatai Securities, tentang dampak pembatasan covid-19 dihapus setelah sempat diterbitkan pekan lalu dan menimbulkan spekulasi bahwa laporan mungkin telah disensor otoritas.

Selain itu, ada juga perusahaan riset ekonomi yang berbasis di Beijing, Anbound Consulting menerbitkan laporan di Weibo dan WeChat yang berjudul 'Sudah waktunya bagi China untuk mengubah kebijakan Covid-nya.'

Kemudian berselang sehari, laporan tersebut dihapus dari kedua platform media sosial itu.

 

 


Kebijakan Covid-19 Masih Ketat, Ekonom Pangkas Proyeksi Ekonomi China

Seorang pekerja yang mengenakan pakaian pelindung menyemprotkan disinfektan ketika seorang wanita menunggu tenggorokannya diusap untuk tes COVID-19 di fasilitas pengujian virus corona di Beijing, China, Jumat (12/8/2022). REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Beberapa kota di China yang sedang dilanda wabah Covid-19 menerapkan peraturan pembatasan sosial baru. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Kemerosotan di pasar properti dan sektor manufaktur, yang secara gabungan menyumbang setengah dari produk domestik bruto China, memperberat upaya pemulihan negara itu dari gangguan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan Covid-19 yang ketat.

Juga pada Kamis (1/9/2022), survei sektor swasta menunjukkan aktivitas pabrik di China berkontraksi untuk pertama kalinya dalam tiga bulan pada Agustus 2022 di tengah melemahnya permintaan, sementara kekurangan listrik dan kasus baru Covid-19 mengganggu produksi.

Masalah-masalah ini membuat para ekonom di China memangkas perkiraan PDB negara tersebut.

"Mempertimbangkan dampak penjatahan listrik yang tidak terduga, bersama dengan kenaikan kasus Covid-19, penurunan properti, dan konsumsi yang lamban, saya telah menurunkan pertumbuhan PDB pada kuartal ketiga menjadi 3,5 -4 persen dari 5 persen," kata Nie Wen, ekonom di Hwabao Trust yang berbasis di Shanghai.

"Kabinet telah menyatakan keprihatinan serius yang relatif besar atas keadaan ekonomi saat ini," ujarnya, dikutip dari US News, Jumat (2/9/2022). 

"Ekonomi berada pada risiko penurunan dua kali lipat karena kelemahan properti yang masih ada, kekurangan listrik di tengah gelombang panas dan wabah Covid-19 lokal," ungkap Xiangrong Yu, kepala ekonom China di Citi, dalam sebuah laporan.

Hampir 70 kota di China melaporkan penurunan harga rumah baru pada bulan Agustus 2022. Ini juga merupakan penurunan terbesar sejak mulainya pandemi Covid-19, menurut China Index Academy, salah satu perusahaan riset real estat independen terbesar negara itu.

Sementara itu, China mengatakan akan mengungkapkan rincian terkait langkah-langkah kebijakan ekonomi baru pada awal September 2022, menurut laporan media pemerintah yang mengutip pejabat pemerintahan, setelah pertemuan yang dipimpin oleh Perdana Menteri China Li Keqiang.


Survei: Kebijakan Ketat Covid-19 Bikin Perusahaan AS Tunda Investasi ke China

Seorang pekerja yang mengenakan pakaian pelindung menyeka tenggorokan seorang wanita untuk tes COVID-19 di fasilitas pengujian virus corona di Beijing, China, Jumat (12/8/2022). Beberapa kota di China yang dilanda COVID-19 dari timur ke barat negara itu memberlakukan pembatasan dan lockdown baru untuk menahan gejolak yang sekali lagi mengancam akan mengganggu ekonomi lokal. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Sejumlah perusahaan asal Amerika Serikat (AS) membatalkan atau menunda investasi ke China. Hal ini karena kebijakan terkait Covid-19 yang ketat di negara itu.

Hal itu diungkapkan oleh organisasi perdagangan antara Amerika Serikat dan China, U.S.-China Business Council (USCBC), dalam laporan survei tahunan terhadap 117 perusahaan anggota organisasi tersebut. 

Dilansir dari US News, Kamis (1/9/2022) lebih dari setengah dari perusahaan anggota USCBC sedang menunda investasi di China, karena pembatasan ketat untuk meredam penularan Covid-19 manghambat aktivitas ekonomi di sana, menurut laporan itu.

"Kemungkinan besar bahwa perusahaan akan kembali dipaksa untuk menghentikan sebagian operasi karena lockdown dan dampak pada permintaan konsumen telah merusak kepercayaan di lingkungan bisnis," kata USCBC dalam laporannya.

Seperti diketahui, ekonomi China hampir tidak terhindar dari kontraksi pada kuartal II 2022 karena lockdown Covid-19 yang meluas dan sektor properti yang merosot merusak kepercayaan konsumen dan bisnis.

Aktivitas ekonomi masih belum pulih 100 persen karena banyak kota di China, termasuk pusat manufaktur dan tempat-tempat wisata populer, memberlakukan lockdown pada Juli 2022 setelah wabah baru varian Omicron ditemukan.

"Sebagian besar perusahaan yang disurvei mengatakan efek negatif dari kebijakan Covid-19 di Beijing dapat dipulihkan, tetapi 44 persen mengatakan akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memulihkan kepercayaan bisnis," ungkap USCBC.

Selain Covid-19, perusahaan AS yang disurvei USBC juga menyoroti kekhawatiran dari dampak ketegangan AS-China, dan hambatan akses pasar yang signifikan di China membuat tingkat pesimisme meningkat, meskipun ada jaminan perlakuan yang sama terhadap perusahaan asing.

Hal ini mempengaruhi keputusan perusahaan tentang rantai pasokan dan investasi di masa mendatang, kata USCBC.

Infografis 5 Tips Tetap Sehat di Masa Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Niman)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya