Bjorka, Hacker dan Hukum Mengumbar Aib dalam Perspektif Islam

Bjorka mulai membuka data pribadi dan membuka aib betapa lemahnya keamanan siber di Indonesia. Diduga, Bjorka juga akan membuka data-data lain, yang bisa mengungkap aib seseorang atau sebuah lembaga

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Sep 2022, 04:30 WIB
Banner Infografis Buntut Aksi Hacker Bjorka & Prioritas RUU Perlindungan Data Pribadi. (Foto: Tangkapan Layar Akun Twitter @bjorkanism, Kolase: Liputan6.com/Trieyasni)

Liputan6.com, Banyumas - Akhir-akhir ini, sosok Bjorka tengah menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Dia membuka data-data pribadi sejumlah publik figur, yang sebagiannya adalah politikus atau pejabat publik.

Konon, Bjorka adalah hacker jagoan. Namun, sejumlah pengamat juga menggarisbawahi pencurian data itu belum tentu dilakukan oleh sosok tersebut. Bisa jadi, data-data itu diperoleh dari aktivitas di deep web.

Sejauh pengamatan, Bjorka tak membocorkan aib seseorang atau sebuah lembaga tertentu. Namun, lebih dari itu, Bjorka dianggap membuka aib Indonesia secara keseluruhan, yakni betapa lemahnya keamanan siber di Indonesia.

Tapi aksi Bjorka ini telah membuat sejumlah tokoh publik resah. Beberapa di antaranya, bahkan sampai harus mematikan gawainya dan berganti nomor ponsel karena datanya tersebar dan merasa terganggu dengan banyaknya pesan-pesan yang masuk dari nomor tak dikenal.

Meski begitu, tentu ada sebagian kalangan yang khawatir aibnya terbongkar karena intipan Bjorka. Nah, pertanyaannya, bagaimana hukum membuka aib orang lain dalam perspektif Islam?

Sebelum itu, mari kita melihat pengertian aib. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata aib itu memiliki arti malu, cela, noda, salah ataupun keliru.

Mengutip laman NU, menurut al-Fairuz Abadzi dalam Al-Qamus al-Muhith, secara bahasa, aib (العيب) bermakna cacat atau kekurangan. Bentuk jamaknya adalah uyub. Adapun sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa Arab disebut ma’ib.

Sementara itu dalam kitab ­ad-Dur al-Mukhtar, Al-Hasfaki menyampaikan bahwa sebagian ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian:

مَا يَخْلُو عَنْهُ أَصْل الْفِطْرَةِ السَّلِيمَةِ مِمَّا يُعَدُّ بِهِ نَاقِصًا

“Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaannya dan hal itu dianggap sebagai bentuk kekurangan”

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Larangan Membuka Aib, Bergunjing atau Ghibah

BSSN menyatakan memberikan dukungan teknis dan meminta seluruh PSE memastikan keamanan Sistem Elektronik di lingkungan masing-masing. (Copyright foto:Pexels.com/Pixabay)

Allah SWT memberikan peringatan dalam Al-Qur’an:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan dan aib orang lain dan janganlah kamu menggunjing (ghibah) sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh karena itu, jauhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hujurat: Ayat 12)

Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa ayat ini (QS al-Hujurat: 12) turun berkenaan dengan peristiwa salah seorang sahabat Rasul saw yang bernama Salman al-Farisi yang bila selesai makan, suka terus tidur dan mendengkur.

Pada waktu itu ada orang yang menggunjing perbuatannya. Maka turunlah QS al-Hujurat ayat 12 yang melarang seseorang mengumpat dan menceritakan aib orang lain. Selaras dengan larangan Allah swt tersebut, Rasulullah saw juga melarang mengumbar aib orang lain. Sebagaimana sabdanya:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا

“Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara” (HR al-Bukhari).

Secara psikologis, jika kita mendengar suatu informasi dari orang lain lalu menjadikan hati kita merasa tidak enak, maka hal ini dapat disebut aib. Aib dapat berupa peristiwa, keadaan, atau suatu penjelasan. Seringkali aib sendiri maupun orang lain diumbar secara sadar/tidak sadar kita sebarkan ke orang lain, bahkan diviralkan ke media massa atau media sosial.

Aib merupakan sesuatu yang digambarkan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Aib adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang jika diketahui oleh orang lain akan membuat rasa malu yang membawa kepada efek psikologi yang negatif.

Korban akan merasa terzalimi, disudutkan, dan bahkan dilemahkan jatidirinya. Aib terbagi menjadi dua, yaitu aib khalqiyah yang bersifat kodrati dan Aib khuluqiyah yang berkenaan dengan perilaku. Aib khalqiyah merupakan aib karena terdapat cacat di salah satu organ tubuh atau penyakit yang membuatnya malu jika diketahui oleh orang lain, sedangkan yang kedua yaitu aib khuluqiyah yang bersifat fi’li (perilaku) merupakan aib dari perbuatan maksiat, baik yang dilakukan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.

 


Kondisi yang Membuat Ghibah Diperbolehkan

Infografis Buntut Aksi Hacker Bjorka & Prioritas RUU Perlindungan Data Pribadi. (Liputan6.com/Trieyasni)

Pada dasarnya, membuka aib atau ghibah dilarang agama. Namun begitu, dalam Islam ada sejumlah kondisi yang membuat membuka aib atau ghibah diperbolehkan.

Mengutip muhammadiyah.or.id pada Rabu (14/9/2022), menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi dalam tulisannya di Suara Muhammadiyah pada Senin (9/05/2016) ada beberapa bentuk ghibah yang diperbolehkan, antara lain:

1) Kesaksian seseorang di hadapan hakim (persidangan) dengan membeberkan kesalahan pihak yang bersengketa, dalam rangka menjelaskan mana pihak yang benar dan pihak yang bersalah;

2) Melaporkan suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak yang berwajib (kepolisian) atau pihak tertentu dalam rangka mencegah kemunkaran;

3) Menyebutkan kelemahan yang dimiliki oleh seorang rawi dalam rangka menentukan kualitas suatu Hadis, dan lain sebagainya.

Tim Rembulan

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya