Liputan6.com, Jakarta - CEO FedEx Raj Subramaniam mengatakan bahwa dia yakin resesi akan segera terjadi pada ekonomi global.
"Saya kira demikian. Tapi Anda tahu, angka-angka ini tidak menunjukkan dengan baik," kata Subramaniam menanggapi pertanyaan Jim Cramer tentang apakah ekonomi akan mengalami resesi di seluruh dunia, dikutip dari CNBC International, Jumat (16/9/2022).
Advertisement
Ungkapan pesimis itu muncul setelah FedEx meleset dari target pendapatan dan laba pada kuartal pertama tahun ini.
Selain itu, saham FedEx juga turun 15 persen dalam perdagangan yang diperpanjang pada hari Kamis kemarin.
Perusahaan logistik tersebut juga menarik target kinerja keuangan setahun penuhnya. "Saya sangat kecewa dengan hasil yang baru saja kami umumkan di sini, dan Anda tahu, tajuk utamanya adalah situasi makro yang kami hadapi," ujar Subramaniam kepada Jim Cramer dari CNBC.
Dia melanjutkan, melemahnya volume pengiriman global mendorong hasil mengecewakan bagi FedEx.
Jumlah permintaan yang awalnya diprediksi akan meningkat setelah pabrik di China dibuka kembali, justru malah menurun. "Minggu demi minggu, itu turun," ungkap Subramaniam.
Bahkan,perusahaan telah mengalami penurunan mingguan sejak bulan Juni 2022, tidak lama setelah Investor Day.
"Kami melihat penurunan volume di setiap segmen di seluruh dunia, dan anda tahu, kami baru saja memulai kuartal kedua. Angka mingguan tidak terlihat begitu baik, jadi kami hanya berasumsi pada titik ini bahwa kondisi ekonomi tidak terlalu baik," terang Subramaniam.
"Kami adalah cerminan dari bisnis orang lain, terutama ekonomi bernilai tinggi di dunia," tambahnya.
Bank Dunia Peringatkan Ancaman Resesi Global Kian Dekat
Bank Dunia memperingatkan bahwa ancaman resesi global tumbuh karena bank sentral fokus untuk menurunkan tingkat inflasi yang melonjak.
Badan tersebut menghimbau negara-negara di dunia membantu meningkatkan pasokan untuk mengurangi kendala di balik kenaikan harga.
"Pertumbuhan global melambat tajam, dengan kemungkinan perlambatan lebih lanjut karena lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi," kata Presiden Bank Dunia David Malpass dalam pernyataannya, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (16/9/2022).
"Kekhawatiran mendalam saya adalah bahwa tren ini akan bertahan, dengan konsekuensi jangka panjang yang menghancurkan orang-orang di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang," ungkapnya.
Dia mendesak pembuat kebijakan untuk "mengalihkan fokus mereka dari mengurangi konsumsi ke meningkatkan produksi."
Bank Dunia pada awal Juni 2022 memangkas perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9 persen, lebih dari satu poin penuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang diterbitkan pada bulan Januari.
Seperti diketahui, inflasi di berbagai negara elah meningkat pada laju tercepat yang terlihat dalam beberapa dekade, karena kendala pasokan di tengah permintaan yang tinggi ketika sejumlah negara mulai pulih dari pandemi. Masalah ini diperburuk oleh oerang Rusia-Ukraina dan lockdown Covid-19 di China.
Advertisement
Bank Dunia : Banyak Negara Akan Sulit Hindari Resesi
Bank-bank sentral di negara maju telah merespons inflasi dengan keras, salah satunya menaikkan biaya pinjaman untuk mendinginkan permintaan dan meredam inflasi yang membara.
Namun dalam sebuah makalah terbarunya, para ekonom Bank Dunia memperingatkan bahwa tindakan tersebut mungkin tidak cukup untuk mengendalikan harga yang tinggi, yang mengarah pada kebutuhan untuk lebih banyak kenaikan suku bunga, yang pada gilirannya akan mengerem pertumbuhan.
Laporan Bank Dunia menyebut, banyak negara tidak akan dapat menghindari resesi, tetapi perlambatan di seluruh dunia dan pengetatan kebijakan moneter "dapat menimbulkan tekanan keuangan yang signifikan dan memicu resesi global pada 2023".
Dalam skenario itu, pertumbuhan PDB global akan melambat menjadi 0,5 persen pada 2023 - kontraksi 0,4 persen dalam pertumbuhan per kapita, memenuhi definisi teknis dari resesi global.