Liputan6.com, Jakarta Trauma yang dialami semasa hidup termasuk saat masa kecil punya dampak yang besar dan panjang. Salah satunya berkaitan dengan kepuasan seksual kelak ketika seseorang dewasa.
Beberapa orang pun bertanya-tanya, bisakah seseorang yang memiliki trauma masa kecil termasuk dalam hal seksualitas tetap memiliki kepuasan seksual yang baik saat dewasa?
Advertisement
Dokter spesialis kedokteran jiwa, Gina Anindyajati mengungkapkan bahwa hal ini memang menjadi pertanyaan favorit dari begitu banyak orang. Sebagian besar orang tidak menyadari traumanya sehingga baru dapat dirasakan dan disadari ketika dewasa.
Terlebih dampak dari trauma masa kecil seringkali baru diketahui ketika Anda telah menemukan berbagai kesulitan dalam aktivitas seksual itu sendiri.
"Konsepnya adverse childhood event, salah satu yang dibahas memang neglect (penolakan di masa kecil). Namun, adverse childhood event yang bisa terjadi lagi adalah terkait dengan kekerasan. Apakah itu kekerasan verbal, kekerasan fisik, sampai dengan kekerasan seksual," ujar Gina dalam webinar Let's Talk Pleasure ditulis Jumat, (16/9/2022).
"Dari praktik saya satu dua tahun terakhir ini, cukup lumayan jumlahnya, 20 sampai 30 persen dari pasien-pasien yang datang ternyata memiliki pengalaman dilecehkan pada saat kecil," tambahnya.
Gina menjelaskan, pengalaman dilecehkan saat kecil kemudian biasanya direpresi atau ditekan. Sehingga kemudian seseorang tidak mengingat bahwa mereka pernah mengalami kejadian itu.
"Tapi kemudian ketika berpasangan, disentuh oleh pasangannya itu enggak nyaman, rasanya risih, terus kemudian jijik. Habis itu merasa kalau 'Apa ini cuma karena lagi enggak kepengen saja?', tanpa tahu sebenarnya kenapa," kata Gina.
Bisa Jadi Masalah dalam Hubungan
Lebih lanjut Gina mengungkapkan rasa tidak nyaman yang muncul saat hendak berhubungan seksual atau saat disentuh pasangan bisa menimbulkan dampak lainnya di kemudian hari.
"Kalau sudah berpasangan, hubungan seks itu bagian dari menjaga kelangsungan hubungan. Lama-lama itu (rasa tidak nyaman) bisa menyulitkan. Nah, kasus-kasus seperti ini kemudian akan datang mencari pertolongan karena enggak bisa begini terus," ujar Gina.
"Belum lagi kalau mau punya anak dan sebagainya. Pertanyaannya sama, bisa enggak ini kemudian diperbaiki supaya hubungan seksnya itu jadi lebih menyenangkan? Sebetulnya mengoreksi pengalaman itu di masa dewasa mungkin saja (bisa membantu memperbaiki)," tambahnya.
Akan tetapi menurut Gina, hal ini akan membutuhkan waktu dan usaha. Terlebih upaya tersebut menjadi upaya banyak pihak, termasuk individu dan pasangan yang berkaitan.
"Proses perbaikannya melalui psikoterapi itu akan butuh jalan yang panjang. Jadi enggak bisa berharap bahwa ini (dampak trauma masa kecil pada kepuasan seksual) akan membaik secara instan," kata Gina.
Advertisement
Pentingnya Dukungan dari Pasangan
Terlebih menurut Gina, proses penyembuhan trauma di masa kecil yang berkaitan dengan seksualitas tersebut membutuhkan dukungan dari pasangan. Sehingga keduanya bisa saling mengolah dan mengatasinya.
"Jadi pengalaman-pengalaman yang belum pernah dipelajari di masa kecil atau terjadi di masa kecil tapi dengan cara yang salah, maka harus dikoreksi di masa dewasanya," ujar Gina.
Gina mengungkapkan bahwa seringkali orang yang mengalami trauma merasa mereka harus menyelesaikan itu sendirian. Dalam hal ini, merasa tidak perlu melibatkan orang lain dalam prosesnya.
Agar nantinya ketika sembuh, yang bersangkutan bisa lebih siap untuk memulai hubungan dengan seseorang yang baru jikalau belum menikah.
"Tapi sebetulnya, kita belajar untuk bisa punya pengalaman seksual yang baik itu kan kalau kita memang sudah punya partnernya? Kalau enggak ada partnernya bagaimana kita mau belajar memiliki aktivitas yang sehat dengan pasangan? Jadi perbaikan itu akan terjadi ketika kita mencoba untuk berani berpasangan," kata Gina.
Berani untuk Memiliki Pasangan
Gina mengungkapkan berani berpasangan juga tak bisa serta-merta sembarangan. Anda perlu pilih-pilih pasangan agar dapat menemukan yang memang suportif.
"Tentunya dengan pasangan yang suportif. Kalau tidak suportif, yang sering terjadi adalah jadi memiliki pasangan yang mirip dengan orang-orang yang dulu melakukan perbuatan yang salah itu," ujar Gina.
"Jadi pengalaman yang kita harapkan jadi koreksi malah justru jadi trauma yang baru. Nah itu yang bikin repot. Inilah yang biasanya membutuhkan bantuan profesional," tambahnya.
Sehingga kesimpulannya untuk dapat menyembuhkan trauma masa kecil terkait seksualitas dibutuhkan waktu, usaha, serta pasangan yang memang suportif dan mau mendukung proses pemulihan tersebut.
Advertisement