Liputan6.com, Jakarta - Sekitar 400 anak muda Indonesia mendorong pemerintah menerapkan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Hal ini dilakukan guna menekan konsumsi minuman berpemanis yang mengancam kesehatan.
Suara dan pendapat anak-anak muda sangat penting karena industri MBDK menarget mereka sebagai konsumen tetap.
Advertisement
"Belum ada regulasi terkait iklan, promosi, dan sponsor MBDK. Ini membuat pemasaran MBDK selalu dikemas sangat menarik bagi anak-anak muda," kata Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda, dalam Forum for Young Indonesians (FYI) bertajuk Dunia Tipu-tipu Minuman Berpemanis Dalam Kemasan, Sabtu (17/9/2022).
"Akibatnya, jumlah konsumen terus meningkat dan menciptakan kesan MBDK adalah produk yang normal dan baik-baik saja," dia menambahkan.
Perwakilan komunitas Simpul Remaja yang beroperasi di Maluku, Provinsi Maluku, Desi Rahmawaty yang hadir dalam acara tersebut menyampaikan bahwa pemahaman soal MBDK penting diketahui setiap anak.
"Anak-anak muda Indonesia, seperti di daerah tempat tinggal saya (Maluku) masih belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai persoalan MBDK. Bahkan, banyak yang belum mengetahui berapa idealnya jumlah konsumsi gula setiap harinya," katanya.
"Karena itu, menurut saya, edukasi kesehatan kepada anak muda bisa dimulai dengan edukasi konsumsi gula harian," Desi menambahkan.
Senada dengan pernyataan Desi, CISDI menemukan satu studi yang menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia terpapar promosi iklan minuman tidak sehat di televisi, mayoritas MBDK, setiap empat menit sekali.
Temuan lain menyebut satu dari 10 anak Indonesia (14,7 persen) mengkonsumsi satu jenis MBDK, minuman berkarbonasi (soft drinks) sebanyak satu hingga enam kali per minggunya.
Bikin Prevalensi Diabetes Tak Kunjung Turun
Sementara, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menunjukkan prevalensi diabetes melitus pada kelompok umur 15-24 tahun tidak kunjung berkurang, tetap di angka 0,1 persen pada 2013 dan 2018.
"Konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan adalah salah satu faktor risiko yang meningkatkan prevalensi obesitas dan penyakit tidak menular di Indonesia, termasuk terhadap anak-anak muda," kata Olivia.
Dalam FYI tahun ini, CISDI mengajak anak muda mendorong pemerintah membuat kebijakan yang melindungi kesehatan masyarakat.
Salah satunya melalui penandatanganan petisi daring yang mendesak pemerintah memberlakukan cukai produk MBDK sebesar 20 persen. Hingga Sabtu (17/9) lebih dari seribu orang telah menandatangani petisi ini.
Selain petisi, CISDI juga mendorong adanya representasi multi-stakeholder dan anak muda dalam proses regulasi cukai MBDK dengan mendatangkan 30 anak muda dari 16 organisasi untuk menghadiri FYI dan mengikuti pelatihan advokasi kebijakan.
Advertisement
Meningkatkan Kesadaran Bahaya MBDK
Desi menambahkan, pihaknya akan melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesadaran bahaya konsumsi MBDK di wilayah tinggalnya sebagai bentuk tindak lanjut pelatihan tersebut.
"Namun, sinergitas dengan pemerintah daerah bersama lembaga masyarakat lain juga sangat dibutuhkan agar persoalan MBDK juga semakin disadari publik luas," ujarnya.
Dukungan publik terhadap upaya pengenaan cukai sebenarnya sangat kuat. Survei daring CISDI terhadap 2.605 responden menemukan setidaknya 78 persen responden merasa minuman berpemanis memenuhi kriteria barang kena cukai.
Riset yang sama menunjukan 80 persen responden atau setara 8 dari 10 orang sepenuhnya mendukung rencana pemerintah untuk mengenakan cukai pada setiap produk MBDK.
Sementara, 85 persen responden mengaku akan mengurangi konsumsi MBDK jika pengenaan cukai mencapai 20 persen.
"Kehadiran data ini seharusnya memberikan dukungan bagi pemerintah untuk segera menerapkan cukai," ujar Olivia.
42,6 Persen Balita Terpapar MBDK
Dalam acara yang sama, dokter spesialis anak Kurniawan Satria Denta mengatakan bahwa 42,6 persen balita di Indonesia sudah terpapar Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).
"42,6 persen balita di Indonesia sudah terpapar Minuman Berpemanis Dalam Kemasan dan ini bahaya sekali," katanya.
"Semakin dini seseorang terpapar minuman berpemanis, semakin tinggi kemungkinan risikonya menghadapi kondisi obesitas," Kurniawan menambahkan.
Selain risiko obesitas atau kelebihan berat badan, risiko penyakit lain juga bisa timbul pada orang yang gemar mengonsumsi MBDK. Penyakit-penyakit tersebut termasuk diabetes, penyakit jantung, ginjal, pembuluh darah, kanker, stroke, gangguan cemas, gangguan perilaku, dan demensia atau pikun.
"Masih suka agak-agak lemot? Coba dikurangi gulanya," ujar Kurniawan dalam acara yang diselenggarakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI).
Bahkan, lanjutnya, bagi sebagian orang, konsumsi gula berlebih dapat membuat mereka resisten terhadap insulin. Akibatnya, jika terkena COVID-19 maka gejalanya lebih parah.
"Jadi yang namanya penyakit tidak menular sebenarnya tidak berdiri sendiri. Berbeda dengan penyakit menular," katanya.
"Keduanya berkesinambungan. Ketika kita memiliki penyakit yang tidak menular, kita lebih rentan menghadapi penyakit menular yang lebih berat," dia menambahkan.
Advertisement