Cara Bantu Atasi Trauma Jangka Panjang Anak dengan Kanker

Anak dengan kanker memiliki trauma jangka panjang akibat pengobatan dan penyembuhan yang panjang

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 17 Sep 2022, 18:00 WIB
Gejala Kanker Mata pada Anak (Sumber: Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Anak dengan kanker tidak hanya perlu didukung agar sembuh dari penyakitnya. Sokongan juga dibutuhkan biar para pejuang kanker ini dapat meraih masa depannya yang cerah.

Dijelaskan konsultan hematologi onkologi anak, Prof dr Djajadiman Gatot SpA bahwa kanker adalah penyakit yang membutuhkan perawatan khusus. Sebab, jika tidak, angka kesintasannya rendah.

Menurut Djajadiman pengidap kanker anak maupun dewasa kerap mengalami trauma. Kondisi serupa juga menimpa orangtua mereka.

"Trauma sudah dimulai sejak awal, sejak ditemukan penyakitnya. Tidak mudah menerima penjelasan dokter mengenai diagnosis, stadium, dan perencanaan pengobatan yang panjang," kata Djajadiman dalam webinar bersama Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) pada Sabtu, 17 September 2022.

Keputusasaan orangtua pengidap kanker bisanya dinyatakan dengan pertanyaan mengenai kemungkinan kesembuhan, yang menurut Djajadiman harus dijelaskan dengan hati-hati oleh dokter agar tidak menambah ketakutan pasien.

Pengobatan Lama dan Menyakitkan, Menjadi Trauma Jangka Panjang

Pengobatan kanker terdiri dari operasi, kemoterapi dan radioterapi, serta yang terbaru imunoterapi dan terapi target.

Terapi yang membuat trauma adalah kemoterapi. Kemoterapi adalah obat untuk membunuh sel-sel kanker, tapi sayangnya berdampak pada sel yang sehat.

Menurut Djajadiman kemoterapi adalah pengobatan yang tidak sederhana karena menuntut kesiapan fisik dan mental, sehingga kerap ditunda jika pasien mengalami penurunan kondisi.

Akibatnya terapi menjadi lebih lama, bisa membutuhkan waktu satu hingga dua tahun.

 

 


Efek Samping Kemoterapi

Selain itu, lanjut Djajadiman, efek samping kemoterapi sangat berat menimpa semua organ. Misalnya saja efek samping pada sistem endokrin atau produksi hormon yang memengaruhi pertumbuhan seorang anak.

"Bisa-bisa, setelah kemoterapi, pasien malah menjadi cacat karena efek samping kemoterapi, ini yang harus kita antisipasi," ujarnya.

Oleh sebab itu, perlu diupayakan agar semua efek samping pengobatan ini bisa diminimalisasi, sehingga setelah dewasa, para survivor --- pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari kanker ---bisa membangun masa depannya sama seperti orang normal tanpa kanker.

 


Bantu Temukan Kembali Hidupnya

Dalam kesempatan tersebut, motivator sekaligus Chief of Organizational Hapiness dari Insight Out, Ali Zainal Abidin mengatakan bahwa survivor kanker anak sudah melewati banyak hal sampai berhasil sembuh.

Namun, dia bilang tetap perlu diupayakan bagaimana agar mereka kembali menemukan hidup dan masa depannya.

Menurut Ali, masa depan yang cerah diawali dari keyakinan diri sendiri. 

"Oleh karena itu, pendamping atau keluarga survivor perlu menanamkan keyakinan pada survivor tentang potensi yang dimiliki untuk melanjutkan hidup dan menemukan masa depannya," katanya.

Semangat dan yakin ini juga menjadi modal bagi survivor kanker tulang (Osteosarkoma), Nimas Mita, melanjutkan hidup setelah melalui penderitaan panjang.

Nimas bercerita setelah menyelesaikan pengobatan, banyak hal yang harus dilakukan seorang survivor. Dia sendiri mengalami fase naik turun, secara fisik maupun mental, selama menjalani pengobatan yang panjang.

Nimas didiagnosis kanker tulang saat berumur 12 tahun. Saat dia masih duduk di bangku kelas 1 SMP.

Dia harus menjalani kemoterapi selama enam siklus selama 1 tahun, dan menjalani dua operasi besar, dan tiga operasi skala sedang.

"Pengobatan panjang sangat melelahkan," ujar Nimas.

 


Berbagi dengan Orang yang Dipercaya

Nimas pun terpaksa berhenti sekolah selama satu tahun dan menghabiskan sebagian tujug bulan dirawat di rumah sakit. Agar bisa bangkit dan terbebas dari rasa sedih, marah, bosan, Nimas memercayakan masalahnya pada orang tua dan dokter. 

Menurut Nimas, berbagi dengan orang yang dipercaya sangat penting, termasuk dengan sesama pasien dan survivor, dan Nimas mendapatkannya di komunitas survivor kaner anak di bawah Yayasan Onkologi Anak Indonesia, Cancer Bust Community.

Nimas pun lalu berbagi kiat kepada para pasien kanker anak, untuk mencoba melakukan hobi di sela-sela terapi, agar bisa mengalihkan perhatian dari sakitnya pengobatan dan kebosanan kehidupan rumah sakit. Misalnya menulis buku, menciptakan lagu, dan sebagainya.

Perjalanan panjang survivor tidak berhenti setelah keluar dari rumah sakit dan kembali ke sekolah, tetapi sampai mencari pekerjaan hingga menemukan pasangan hidup.

Diskriminasi dan stigma tentang seorang survivor kanker masih kuat di maayarakat, apalagi jika kanker membawa dampak pada kondisi fisik, seperti kecacatan.

"Semangat dan yakin pada diri sendiri adalah kunci mendapatkan kembali masa depan bagi survivor kanker,"  pungkas Nimas.

Nimas saat ini adalah ibu satu orang anak yang berhasil menamatkan pendidikan sebagai ahli gizi dan kini bekerja sebagai editor di platform kesehatan.

(Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya