Liputan6.com, Jakarta - Banyak alasan yang melatari seseorang memutuskan menjadi vegan. Itu juga berlaku bagi Cantika Abigail, anggota grup vokal GAC yang kini sedang sibuk jadi penyiar radio.
"Ceritanya mulai 2018 atau 2017 gitu. Waktu itu GAC lagi manggung di luar kota. Pas di hotel, kita lagi nonton chanel yang nayangin soal foie gras, makanan dari hati angsa yang dijual mahal banget. Setelah itu, hee..enggak kuat lihat itu," tutur Cantika saat peluncuran GreenKind di Jakarta, Kamis, 8 September 2022.
Advertisement
Cantika saat itu memutuskan menjadi seorang vegetarian. Setelah 1,5 tahun berjalan, ia baru mantap menjalani gaya hidup vegan. Keputusan diambil setelah banyak membaca buku terkait penyakit autoimun berwujud psoriasis yang diidapnya. "Katanya, tidak disarankan konsumsi dairy dan daging merah," ujarnya.
Tahun pertama menjadi vegan adalah saat terberatnya. Ia selalu merasa was-was saat akan mengonsumsi produk, apalagi banyak yang hendak dikonsumsinya tidak berlabel. "Yang ada label aja, harus cross check dulu untuk mastiin, karena ada ingredient yang aku tahu enggak vegan, tapi ada di dalamnya," ucapnya.
Kesulitan lain yang dihadapinya tentu saja mencari makanan alternatif. Karena pengetahuannya terbatas, ia awalnya hanya makan salad setiap hari. Belum lagi ia harus meyakinkan keluarganya, terutama orangtua.
"Makin ke sini, aku enggak mau jadi vegan yang ngerepotin orang lain. Untung mereka terbuka juga," ujarnya.
Maka itu, ia mencari tahu makanan apa saja yang bisa dikonsumsi. Serba sayuran adalah menu termudah. Itu juga berlaku saat ia diajak makan bersama di restoran. "Banyak yang tanya pas udah vegan, masih makan nasi? Aku bingung emang kenapa ya? Nasi kan tumbuhan juga," celotehnya.
Sempat Boros
Cantika mengungkapkan, gaya hidup vegan sempat membuatnya lebih boros. Itu karena kebanyakan produk vegan yang diketahuinya merupakan produk impor. Ia tak menyadari ada produk lokal yang juga vegan-friendly dengan harga lebih hemat dan mengenyangkan.
"Makanan Indonesia itu sebenarnya banyak yang vegan-friendly. Tapi karena vegan, seolah kita enggak boleh makan nasi. Padahal, kan banyak ya, tahu, tempe, sayuran bisa banget. Lebih murah dibanding beli daging," tuturnya.
Cucu aktris senior Rina Hasyim itu mengaku kini juga terbantu dengan berbagai opsi daging nabati. Hal itu bisa memuaskan kerinduannya pada daging setelah jadi vegan, terlebih olahannya memiliki rasa dan tektur mirip dengan daging asli.
"Aku bukan yang terlalu makan daging merah, lebih ke ayam atau ikan. Terus, kalau ada yang tanya kok vegan tapi masih kangen daging? Aku ngelepas bukan karena enggak suka daging, tapi lebih karena alasan kesehatan," ujarnya.
Setelah berjalan beberapa waktu, ia mulai merasakan efek postif terhadap psoriasis yang dideritanya. Penyakit itu sudah jarang kambuh. "Kalau kambuh pasti biasanya lagi stres atau kurang istirahat," ucapnya.
Advertisement
Setok di Rumah
Tak ingin menikmatinya sendiri, Cantika kerap mengajak orangtuanya untuk menikmati daging nabati. Tak disangka, mereka suka dengan makanan vegan tersebut.
Cantika juga kerap menyetok makanan vegan beku untuk di rumah. Hal itu sangat membantunya saat kelaparan tapi ingin praktis dan tetap enak. Di samping, ia juga menyetok snack sehat yang lagi-lagi buatan lokal.
"Aku juga beli teh-tehan. Ada banyak banget jenisnya. Itu jadi kerjaan aku setiap bangun pagi. Pagi dan tidur karena very relaxing," ujarnya.
Salah satu tempat belanja yang kerap dikunjunginya adalah GreenKind, gerai organik yang satu grup dengan Burgreens. Helga Angelina, co-founder GreenKind itu menerangkan setiap produk yang dijual, sedapat mungkin diproduksi lokal. Meski demikian, kualitasnya tak kalah dari produk impor.
"Banyak yang surprise produk lokal kok bisa sekeren ini. Dari packaging kaya bule snack, tapi ini affordable. Kualitasnya sama atau bahkan lebih tinggi dari produk impor," ujar Helga.
Terkurasi
Helga menyebut GreenKind yang baru ada di empat titik, salah satunya di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta itu kini menyediakan sekitar 1.000 item produk dari sekitar tujuh kategori, seperti kudapan sehat, clean beauty; sustainable living; plant-based produk; suplemen; dan produk ibu dan anak. Seluruh produk dikurasi ketat agar benar-benar aman buat kalangan vegan.
Toko tersebut dibuka berangkat dari keluhan sejumlah orang yang kesulitan mendapatkan barang-barang organik atau alami. Kalau pun ada, harganya tidak murah.
"Berdasarkan riset, orang Indonesia punya kepedulian lingkungan tinggi. 70 persen urban people siap menggunakan produk sustainable. 40 persen siap untuk menggunakan produk organik atau alami. Sudah ingin, tapi supermarket konvensional masih susah nyarinya," kata Helga.
Di toko itu juga tersedia makanan beku dengan beragam varian, termasuk daging nabati. Hampir 80 persen produk dalam negeri, hanya suplemen yang mayoritas produk impor. Daging nabati juga diproduksi sendiri di dalam negeri. Menurut Helga, Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah, seperti minyak kelapa dan nangka, yang menjadi salah satu bahan baku daging nabati.
"Banyak sekali yang push movement ini. Kami merasa makin banyak. Bahkan, survei random yang kami lakukan menemukan 80 persen konsumen Burgreens itu non-vegan atau non-vegetarian. Itu buat kita seneng banget," kata Helga. Konsumen juga bisa menitipkan sampah yang sudah terpilah di tersebut agar proses pemilahan di rumah tak sia-sia.
Advertisement