Liputan6.com, Jakarta - Setidaknya ada enam poin yang disepakati untuk mengatasi masalah polusi suara di wilayah Canggu, Bali. Sebelumnya, sebuah petisi berjudul "Basmi Polusi Suara di Canggu" telah beredar di laman Change.org.
Berdasarkan keterangan pers Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Sabtu (17/9/2022), poin pertama kesepakatan itu adalah suara maksimal 70 desibel untuk area outdoor. Lalu, batasan waktu operasional hingga pukul 01.00 WITA.
Advertisement
Ketiga, pelaku usaha, masyarakat, dan aparat berkomitmen melakukan pengawasan di lapangan. Lalu, adanya konsistensi masyarakat, pengusaha, dan aparat dalam melakukan pengawasan secara bersama-sama. Selanjutnya, tetap mengingatkan pengusaha dan masyarakat sekitar agar jangan sampai melampaui batas-batas yang disepakati.
Terakhir, akan terus dilakukan upaya-upaya sosialisasi, serta penegakan aturan. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, pun mengapresiasi tercapainya kesepakatan di antara pemangku kepentingan pariwisata dan ekonomi kreatif di kawasan Canggu.
Ia juga mendorong kesepakatan itu terus diperkuat guna menghadirkan layanan pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan dengan tetap memerhatikan kearifan lokal. Selain, kesepakatan itu diharapkan dapat membawa Canggu ke arah lebih baik.
"Hari ini kita Alhamdulillah bisa bersilaturahmi dengan seluruh pemangku kepentingan dan tadi sudah dilaporkan kesepakatan yang sebelumnya telah tercapai akan terus dimonitor di level teknis oleh Pak Kadis (Kadispar Provinsi Bali)," kata Menparekraf.
Sandiaga Uno mengatakan, kesepakatan yang telah dicapai akan terus diperkuat, termasuk untuk nantinya ditingkatkan dalam bentuk regulasi, sehingga dapat jadi payung hukum. Kalau sudah demikian, jika ada yang melanggar peraturan, penindakan bisa dilakukan.
Pendekatan Adat dan Budaya
Menparekraf mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaruh perhatian akan masalah polusi suara di Canggu. Terlebih, Bali dalam waktu dekat akan jadi tuan rumah Presidensi G20.
"Kita ingin ini diselesaikan dengan kearifan lokal dan kita harapkan ini bukan yang pertama. Kita akan monitor sampai G20. Kita harapkan bisa tercapai solusi dan yang dikedepankan adalah pendekatan adat dan budaya," ujar Sandi.
Ia menyambung, keluhan polusi suara ini harus jadi momentum dalam upaya menghadirkan penataan pariwisata yang lebih baik di Pulau Dewata. Ini secara khusus terkait bagaimana nantinya Pemprov Bali dapat menetapkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) untuk melakukan penataan dari segi peruntukan kegiatan usaha.
"Kenapa tidak kita melakukan transformasi? Bukan hanya Recover Together, Recover Stronger, tapi juga Recover Better. Karena juga ada permasalahan lain seperti sampah, air, dan isu-isu keberlanjutan lingkungan," kata Menparekraf.
Gagasan ini pun disambut baik Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati.
Advertisement
Evaluasi Menyeluruh
Pria yang akrab disapa Cok Ace ini mengatakan bahwa problem polusi suara di Canggu harus jadi momentum untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh. "Ini perhatian luar biasa dari pemerintah pusat, dan jadi momentum yang sangat penting untuk mengevaluasi hal-hal yang memang kita perlu perbaiki karena pariwisata itu dinamis, terus berkembang," katanya.
Ia menyambung, "Tentu dalam perkembangan ini juga ada norma-norma. Ada peraturan yang harus kita sepakati." Cok Ace juga mendorong agar poin-poin yang telah disepakati kedua belah pihak ditindaklanjuti dengan mendetailkan hal-hal teknis.
"Seperti kesepakatan 70 desibel itu dihitung dari mana. Apakah di depan speaker, 10 meter, apa 50 meter, apa 100 meter, ini yang belum (disepakati), sehingga sangat relatif. Kami mohon ini dilengkapi dalam kesepakatan tersebut," kata Cok Ace.
Ia mengatakan, kesepakatan ini nantinya akan jadi cikal bakal penyempurnaan regulasi karena saat ini peraturan yang ada baru mengatur tentang batas tingkat kebisingan untuk area indoor. "Karena waktu (peraturan) dibuat tahun 2012, belum ada yang namanya beach club, dan itu harus terus adaptasi," tuturnya.
Petisi Polusi Suara
Petisi polusi suara di Canggu, Bali, sebelumnya ditujukan di antaranya pada Presiden Joko Widodo alias Jokowi, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno. Surat terbuka itu disampaikan menyusul keluhan atas suara musik keras yang mengganggu penduduk dan tamu hotel di kawasan Canggu.
Pembuat petisi, P. Dian, menyebut bahwa suara musik menggelegar dari bar-bar terbuka di Batu Bolong dan Berawa sampai membuat kaca-kaca jendela dan pintu bergetar. Gangguan suara itu berlangsung hampir setiap malam, bahkan terkadang sampai pukul 4 pagi. Padahal, lokasinya bersebelahan dengan pura-pura suci di Bali, seperti Pura Kahyangan Jagat.
Dian menyebut, sebenarnya ada aturan jam operasional bar yang berlaku. Para pelanggar bisa terkena penalti hingga pencabutan izin operasional. Namun, peringatan yang disampaikan Satpol PP setempat rupanya tidak diindahkan. "Setelah pandemi malah semakin parah," ia mengatakan.
Dian berharap pemerintah setempat segera menertibkan oknum-oknum berkedok usaha restoran padahal diskotik yang buka hingga pagi hari. Tindakan tegas sangat mendesak karena, selain polusi suara, para pengunjung bar yang tepat bersebelahan dengan pura itu juga kerap berbuat onar.
"Dari mabuk-mabukan, seks, kencing di area pura, dan lain sebagainya yang mungkin lebih buruk lagi. Tidak jarang jam 3 pagi terjadi perkelahian dan juga kebut-kebutan pengendara sepeda motor yang sudah mabuk, yang berakhir dengan kecelakaan fatal. Selain itu, beberapa bar-bar yang berdiri di daerah pantai ini juga menimbulkan masalah lingkungan karena terlalu dekat dengan laut," sambung Dian.
Advertisement