Liputan6.com, Jakarta - Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Rhesty, dirinya akan akan bolak-balik ke Pengadilan Agama Kabupaten Bekasi, Jawa Barat untuk mengurus proses perceraian orang tuanya. Setelah menikah selama 32 tahun, orang tuanya bersepakat untuk berpisah.
Tanpa bekal pengalaman sebelumnya, dia rela izin kerja setengah hari dari tempatnya bekerja untuk mencari informasi persyaratan pengajuan gugatan cerai. Setelah informasi didapatkan, keesokan harinya Rhesty mulai memasukkan pendaftaran.
Advertisement
Dia memilih datang pagi untuk mengindari antrean panjang. Benar saja, sesampainya di lokasi sekitar pukul 05.30 WIB, Rhesty menjadi orang ke-10 yang datang untuk melakukan pendaftaran pada 1 Juli 2022.
"Jadi memang dari pukul 07.00-an WIB buka satpamnya antrean untuk daftar itu sudah habis. Memang satu hari itu satu proses. (datang pertama daftar) Itu bayar materai dan lain-lain," kata Rhesty kepada Liputan6.com.
Usai melakukan pendaftaran, kata Rhesty nantinya pihak penggugat akan mendapatkan jadwal sidang perdana. Sidang perdana perceraian orang tuanya pun dijadwalkan pada 22 Juli 2022. Menurut dia, jarak 21 hari yang diterima keluarganya termasuk lebih cepat. Sebab ada beberapa orang yang harus menunggu hingga satu bulan untuk penentuan jadwal.
Akhirnya tiga kali persidangan pun dilalui oleh orang tua Rhesty. Jadwal setiap persidangan dilakukan dalam jarak satu pekan. Sedangkan untuk akte cerai, kata dia dapat diterima setelah sebulan sidang terakhir.
"Putusan hakim 5 Agustus dan bisa ambil akta cerai sebulan kemudian. Bisa dihubungi pihak sana atau via SMS. Jadi nyokap terima akte cerai itu tanggal 6 September," ujar dia.
Proses Dua Bulan
Proses perceraian juga sempat dirasakan oleh, Amanda bukan nama sebenarnya. Dia mengugat suaminya sekitar dua bulan lalu di Pengadan Agama Indramayu. Gugatan yang dilayangkan ke suaminya bukanlah masalah ekonomi ataupun adanya pihak ketiga.
Amanda bersama suaminya sudah menjalani sebagai sepasang suami istri selama tiga tahun. Namun karena alasan ketidakcocokan menjadi alasan utama perceraian tersebut dilakukan.
"Permasalahannya bisa dibilang kecil bukan masalah ekonomi, wanita lain maupun masalah orang ketiga tetapi mungkin masalah ketidakcocokan atau ketidaknyamanan lagi," kata Amanda kepada Liputan6.com.
Proses pengadilan berjalan kurang lebih dua bulan, mulai dari pendaftaraan hingga proses sidang hingga mediasi.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia 2022, sebanyak 447.743 kasus perceraian terjadi pada tahun 2021. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 291.677 perkara. Data BPS tersebut hanya mencakup perceraian untuk orang Islam saja.
Sedangkan, berdasarkan data dari Badan Peradilan Agama terdapat sejumlah penyebab dari perceraian. Yakni faktor perselisihan dan pertengkaran, ekonomi, meninggalkan salah satu, KDRT, mabuk, murtad, dihukum penjara, judi, poligami, zina, kawin paksa, cacat badan, madat, dan lainnya.
Lembaga Perkawinan Tak Lagi Sakral?
Perceraian merupakan hal yang tidak diinginkan atau diantisipasi pasangan suami istri setelah menikah. Apalagi jika mengingat bahwa perkawinan itu sebenarnya adalah hal sakral.
Pernikahan atau perkawinan adalah hal yang didambakan semua insan demi mencapai kebahagiaan dengan membentuk sebuah rumah tangga. Namun, seringkali perceraian menjadi jawaban terakhir ketika tak ada lagi kecocokan ataupun keharmonisan dalam sebuah rumah tangga. Mungkinkah lembaga perkawinan tidak lagi dipandang sakral?
Alasan gugatan perceraian di masyarakat pun beragam. Psikolog dewasa, Nirmala Ika menilai berdasarkan data yang ada penyebab perceraian tertinggi disebabkan oleh perselisihan atau ketidakcocokan kemudian diikuti oleh Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) lalu masalah finansial.
Menurut dia, ketidakcocokan berdasarkan kacamata psikologi merupakan hal yang lumrah terjadi pada pasangan suami istri. Sebab keduanya tumbuh dari keluarga, budaya yang berbeda dan beranekaragam.
"Jika kita bicara pernikahan ini adalah suatu hal yang harus diupayakan atau diusahakan, tidak cuman hanya menggunakan modal cinta saja dan sama-sama ingin bahagia saja. Kita tahu semua orang menikah pasti ujungnya memang ingin sama-sama bahagia tapi kemungkinan tantangan itu muncul bukan menjelang pernikahan tapi setelah kita ijab kabul atau akad nikah sejujurnya itu tantangan sesungguhnya," kata Nirmala kepada Liputan6.com.
Sebab setelah prosesi pernikahan setiap pasangan akan menjadi dirinya sendiri dan mulailah muncul perbedaan-perbedaan yang terlihat. Mulai dari kebiasaan, nilai-nilai keluarga yang dianut, hingga masalah pengasuhan.
Karena itulah ketika permasalahan yang dihadapi tidak terselesaikan munculah perpisahan. Selain itu Nirmala menyatakan jika saat ini proses perceraian lebih mudah dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.
"Sekarang perceraian juga bukan sebuah hal yang aib atau harus ditutupi. Kemudian ditambah dengan sekarang istri dan suami punya akses kemana-mana beda dengan dulu dimana istri harus manut sama suami sehingga mereka lebih memilih perceraian dibanding untuk bertahan dihubungan yang tidak bahagia," ucapnya.
Nirmala juga memberikan sejumlah tips mengantisipasi perceraian dalam pernikahan. Dia meminta setiap suami atau istri harus paham akan dirinya sendiri sebelum mengenali pasangannya.
Mengenali diri sendiri menurut dia yaitu mengetahui atau mengenali luka, trauma, ataupun pola-pola yang ada terjadi selama tumbuh kembang. Sebab karakter dan masa lalu pasangan akan berbeda dengan yang orang lain alami.
Karena hal itu, Nirmala meminta setiap pasangan dapat terbuka dan mengkomunikasikan keadaan tersebut. "Komunikasi ini hal yang penting dalam berkeluarga. Kita jangan pakai asumsi yang ada di pikiran kita karena bisa saja apa yang kita asumsikan berbeda dengan apa yang terjadi sebenarnya," ujar dia.
Kemudian setiap pasangan perlu untuk belajar menajemen konflik. Setiap konflik terjadi kata dia, mengarahkan pada pertikaian dan diskusi yang sehat. Saat terjadi konflik kata Nirmala, setiap pasangan harus merefleksikan diri sendiri terlebih dahulu.
Di mana setiap individu mengetahui dan paham mengenai permasalahan yang dihadapi. Yaitu permasalahan dalam komunikasi atau akibat ekspektasi yang berbeda. Karena setiap individu yaitu suami dan istri memiliki latar belakang yang berbeda.
"Kemudian mau enggak mau ya kita harus mau berubah atau salah satu dari kita harus mau berubah untuk bisa mengupayakan mempertahankan pernikahan. Tapi perubahan itu harus karena usaha dan kemauan diri kita sendiri bukan karena suatu paksaan. Jadi bisa dikatakan pernikahan ini adalah suatu sistem dimana suatu perubahan akan memberikan efek ke semua seperti pasangan kita, diri kita, dan anak kita juga," paparnya.
Advertisement
Peningkatan Jumlah Perceraian di Indramayu, Jawa Barat
Selanjutnya yang perlu diperhatikan yakni mengenai finansial atau keuangan. Faktor ini merupakan salah satu penyebab pertikaian dalam sebuah rumah tangga.
Karena hal itu, psikolog lulusan Universitas Indonesia tersebut juga mengimbau para calon pasangan suami istri dapat mengikuti adanya sekolah pra nikah. Harapannya yaitu setiap pasangan dapat diberikan arahan atau pandangan mengenai sebuah pernikahan.
"Dengan adanya sekolah pra nikah ini ada yang menggaet, ada yang memberikan arahan mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi walaupun ada, itu harusnya bergantung dari kesadaran diri kita sendiri karena balik lagi perubahan itu datang dari diri kita sendiri tanpa adanya pasangan baik dari pasangan kita nantinya," jelas Nirmala.
Setiap pasangan tentu memiliki gambaran pernikahan yang diidamkan. Setelah menikah perceraian merupakan hal yang perlu diwaspadai setiap suami istri. Namun, saat ini angka perceraian di Indonesia mengalami sejumlah peningkatan. Salah satunya yaitu di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Berdasarkan data dari BPS pada 2021, Kabupaten Indramayu merupakan wilayah dengan jumlah perceraian tertinggi di Indonesia. Sedangkan pada tahun 2022 jumlah kasus perceraian yang ditangani diperkirakan sebanyak 700-800 kasus per bulan.
"Dan untuk satu tahun itu kisaran 8.000 hingga 9.000 perkara. Kalau untuk gugatan perceraiannya permasalahan keluarga yang menjadi alasan perceraiannya," kata Kepala Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, Muhammad Kasim kepada Liputan6.com.
Untuk Agustus 2022, perkara perceraian yang ditangani sebanyak 857 kasus. Sedangkan selama tahun 2022 dari Januari sampai pertengahan September sudah mencapai 7.000 perkara.
Kata dia, alasan kuat dari sejumlah perkara perceraian didasarkan pada masalah ekonomi. Misalnya tidak diberikan nafkah oleh suami untuk keluarga.
Kasim mengatakan usia pasangan yang melakukan perceraian masih kategori muda. "Untuk rata-rata usia perceraian di usia 20-25 tahun dan terbilang usia pernikahan muda," ucapnya.
Kasim menegaskan tidak ada pembatasan orang dalam pengajuan perkara per harinya. Kecuali saat masih awal pandemi Covid-19. Yaitu untuk pembatasan agar tidak terjadi kerumunan.
Sementara itu dia mengimbau agar masyarakat dapat mempersiapkan diri ketika berencana untuk melaksanakan pernikahan. Sebab saat berumah tangga dipastikan ada banyak masalah yang harus dihadapi.
"Sehingga harus dikomunikasikan antara pasangan karena sejak awal pernikahan kan sudah bisa menerima baik-buruknya sama-sama dan sebaiknya dipikir-pikir kembali sebelum melakukan perceraian. Libatkan keluarga besar sehingga masih dapat mempertahankan rumah tangganya secara utuh," jelas dia.
Gangguan Kesehatan Mental Penyebab Tingginya Angka Perceraian
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyatakan angka perceraian mengalami peningkatan signifikan sejak 2015. Saat itu angka perceraian berkisar pada angka 30-50ribu perkara. Namun pada tahun 2017-2018 angka perceraian itu bisa mencapai 400rb perkara.
"Dan di tahun 2021 itu sekitar 580 ribu, sedangkan pernikahan kan terbilang praktis tidak ada lonjakan sekitar 1,9-2 juta per tahun," kata Hasto kepada Liputan6.com.
Menurut dia, peningkatan atau kenaikan angka perceraian tersebut berhubungan dengan mental emotional disorder atau gangguan kesehatan mental yang mempengaruhi keadaan emosi seseorang. Hasto menyatakan berdasarkan data ada kenaikan mental emotional disorder pada remaja.
Yaitu 6,1 persen pada 2013 dan naik menjadi 9,8 persen pada 2018. Kemudian, data dari riset Kesehatan Dasar mengenai Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) juga alami peningkatan. Pada tahun 2013 angkanya 1,7 per 1000 orang per rata-rata nasional, tetapi angkanya pada tahun 2018 naik menjadi 7,1 per 1000 orang.
"Artinya peningkatan ini kan hampir tiga kali lipat. Ini sangat relate dengan toxic people, toxic relationship dan toxic friendship. Jadi jika dia membentuk keluarga sangat mungkin terjadinya pertikaian kronis karena suami atau istrinya bisa tidak mengenakan atau suami dan istrinya memiliki sikap toxic. Ini yang menurut saya dari data perlu dibuktikan, tapi saya kira sangat berkorelasi," paparnya.
Hasto juga menilai pernikahan di usia muda juga memiliki kontribusi dalam penyebab perceraian. Sebab usia muda belum dapat mengatur emosinya dan menimbulkan percecokan dalam suatu rumah tangga.
Karena hal itu dipentingkannya edukasi mengenai parenting yang baik. Dalam sebuah keluarga yang bercerai itu akan berdampak pada anak dan meningkatnya mental emotional disorder di kalangan remaja.
"Jika kalangan broken home meningkat tentu bisa menjadi lingkaran setan yang kalau tidak kita putus akan semakin banyak anak broken home. Dan makin banyak anak remaja yang tidak terurus, tidak dapat kasih sayang dan makin banyak yang toxic juga, oleh karena itu perlu ada upaya lebih disitu (parenting yang baik)," ujar dia.
Selanjutnya dibutuhkannya yaiti adanya bimbingan pra nikah. Saat ini kata Hasto, setiap kantor Kementrian Agama sudah mengupayakan adanya kelas pra nikah. "Kalau dari BKKBN, kita ada di desa atau kampung yang bisa mengumpulkan anak-anak remaja untuk diberikan informasi dan juga memberikan bimbingan kepada orang tua mereka juga. Kemudian setelah melakukan proses pernikahan, maka perlu juga melakukan pembelajaran atau pembinaan menjadi orang tua yang hebat," ucapnya.
Advertisement
Edukasi Parenting Dibutuhkan Untuk Antisipasi Perceraian
Selain itu, pihaknya juga terus melakukan sosialisasi mengenai pemahaman remaja terkait masalah reproduksi khususnya risiko melakukan sex pada usia dini.
"Itu penting sekali, karena salah satu alasan mereka sering kawin di usia muda itu karena hamil diluar nikah, nah ini yang menjadi akar permasalahannya," Hasto menandaskan.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati mengaku prihatin dengan adanya kenaikan kasus perceraian di Indonesia setiap tahunnya. Menurut dia, hal tersebut dampak dari rentannya ketahanan keluarga.
Kurniasih menyatakan banyak hal yang dirugikan dari setiap proses perceraian. Karena dapat memengaruhi kualitas keluarga. Sebuah keluarga, lanjut dia, harus fokus dalam sebuah kebijakan.
"Sebab kalau tidak akan muncul persoalannya yang melebar kemana-mana. Anak-anak bisa jadi korban, kekerasan dalam rumah tangga, kualitas kesehatan anggota keluarga akan terganggu termasuk memperbesar terjadinya stunting jika ternyata dalam keluarga terjadi perceraian dalam kondisi mengandung atau memiliki anak balita," kata Kurniasih kepada Liputan6.com.
Karena hal itu, dia meminta adanya penguatan keluarga harus sudah dilakukan kepada anak muda sebagai bentuk persiapan sebelum pernikahan. Misalnya dalam memberikan pandangan dan arahan mengenai sejumlah faktor penyebab perceraian.
Mulai dari masalah ekonomi, pertengkaran, kesiapan mental termasuk media sosial harus diselesaikan sebelum pelaksanaan pernikahan.
"Tidak ada salahnya anak-anak muda belajar soal parenting sebelum menikah sebagai bagian dari persiapan mengarungi pernikahan. Dukungan ekonomi bisa juga dijalankan dengan memperluas lapangan dan kesempatan kerja atau dukungan bagi wirausaha baru," ucapnya.
Selain itu kata dia, antisipasi peningkatan data kehamilan pelajar di luar nikah yang bisa berujung pada pernikahan gagal di masa depan juga perlu diperhatikan. Kasus pernikahan dini akibat kehamilan di luar nikah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perceraian.
"Hulunya sampai hilir harus diatur dan diuraikan. Semua faktor yang menjadi penyebab kasus perceraian di Indonesia harus dipelajari dan masing-masing harus dicarikan alternatif solusi dengan kebijakan-kebijakan yang harus segera direalisasikan. Kita sudah darurat kasus perceraian," Kurniasih menandaskan.