Liputan6.com, Sangihe - Indonesia dikenal dengan keberagaman-nya. Banyak suku, ras, agama, kepercayaan hingga budaya dan adat kebiasaan yang tumbuh dan berkembang bersama.
Bahkan, dalam beragamapun muncul keunikan-keunikan yang sesuai dengan kearifan lokal. Salah satunya Islam, yang di Indonesia sendiri, diakui atau tidak terdiri dari beberapa kelompok dan aliran, yang masing-masing memiliki corak khas.
Salah satu bentuk keragaman agama yang berkembang berada di Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara. Kepulauan ini adalah batas terluar sisi utara Indonesia timur.
Baca Juga
Advertisement
Mengutip laman resmi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, seorang pemerhati sejarah asal Eropa yang pertama kali menulis secara rinci tentang keadaan masa lalu Sangihe adalah Daniel Brilman. Dalam bukunya berjudul 'De Zending op de Sangi en Talaud eilanden', terbitan 1928. Mengemukakan bahwa, jauh sebelum agama Islam dan Kristen masuk dan berkembang di Kepulauan Sangihe dan Talaud sudah berkembang agama asli Sangihe.
Agama ini adalah agama yang Polytheisme. Para pemeluk agama ini mengenal adanya beberapa penguasa kehidupan seperti Penguasa Langit dan penguasa Laut. Agama ini dipimpin oleh seorang Imam perempuan yang disebut Ampuang. Agama ini beranggapan bahwa untuk dapat bertemu dengan sang penguasa harus datang ditempat-tempat yang dianggap paling tinggi seperti di puncak-puncak bukit.
Agama ini bukanlah agama yang Animisme, anima atau animus dan bukan pula kafir seperti tuduhan bangsa Eropa. Sebab, masyarakat menyembah satu kekuatan yang dianggap sangat berkuasa meskipun sang penguasa itu tidak berwujud dan tidak dapat diwakilkan dengan sebatang pohon yang besar atau batu-batu besar untuk disembah.
Sampai saat ini masih ada penduduk yang masih mematuhi aturan-aturan agama ini meskipun hanya sebatas menghargai warisan kebudayaan nenek moyang.
Agama ini diperkirakan sudah ada sejak 600 sampai 700 tahun silam sebelum berdirinya kerajaan pertama Sangihe yaitu kerajaan Tampungang Lawo.Seiring dengan perkembangan saman maka agama ini akhirnya mulai terkikis oleh agama dunia masa kini yang Monotheisme.
Agama kedua yang berkembang di kepulauan Sangihe adalah Agama Islam Tua. Agama inipun sudah ada sebelum masuknya agama Islam di Kepulauan Sangihe.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Masuknya Islam Tua ke Sangihe dan Talaud
Ajaran Islam pertama kali dikembangkan di kepulauan Sangihe sejak tahun 1460 berdasarkan ajaran Islam aliran Sunni. Ajaran Islam pertama kali masuk di Sangihe berasal dari Filipina dengan latar belakang hubungan kekerabatan antara orang Sangihe dengan orang Filipina karena nenek moyang orang Sangihe berasal dari Filipina.
Disamping itu juga perdagangan, dan kedekatan wilayah telah menunjang berkembangnya ajaran Islam dari Filipina. Diperkirakan ajaran Islam pertama kali masuk di kepulauan sangihe berasal dari Pulau Mindanao.
Kedatangan ajaran Islam kedua adalah dari Kepulauan Maluku, terutama dari Kesultanan Ternate dan Tidore. Latar belakang berkembangnya ajaran Islam dari kepulauan Maluku adalah: di masa lalu pernah terjalin hubungan kerja sama antara kerajaan-kerajaan di Sangihe dengan Kesultanan Ternate dan Tidore, terutama dengan kerajaan Tabukan dan Kerajaan Kendar.
Di samping itu juga ada beberapa kerajaan di Sangihe yang pernah dijajah oleh Kesultanan Tidore. Hal yang sangat memungkinkan masuk dan berkembangnya ajaran Islam di kepulauan Sangihe adalah melalui proses perdagangan.
Banyak di antara pemeluk Islam Indonesia khusunya pemeluk Islam di Sulawesi utara yang tidak mengetahui bahwa ada agama yang seperti agama Islam yang berkembang di kepulauan Sangihe tetapi bukan agama Islam. Agama ini dinamakan agama Islam Tua.
Oleh proses waktu dan tekanan pemerintah, maka agama ini mengalami beberapa perubahan nama. Pertama kali agama ini dikenal sebagai Masade, Islam Handung kemudian Penghayat dan pada akhirnya agama ini dikenal oleh sebagian orang Sangihe sebagai Agama Islam Tua.
Meskipun sampai saat ini Agama Islam tua tidak pernah diakui secara resmi sebagai agama oleh pemerintah. Pemerintah lebih mengakui Konghucu dan Taoisme. Hal ini terjadi juga terhadap Islam Kejawen dan agama asli lainnya di Indonesia.
Dalam tesis yang di tulis Oleh Pendeta Don Javarius Walandungo berjudul “ Islam Tua, Terpasung dan Merana” mengemukakan hal-hal yang sangat jelas tentang keberadaan agama Islam Tua diantaranya tentang keberadaan pemeluk agama Islam Tua yang terkucil dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Salah satu hal yang kurang pantas yang diberlakukan oleh pemerintah adalah tentang pernikahan dan status kewarganegaraan. Sekian lama mereka harus dinyatakan sah menikah kalau menikah di pengadilan, tidak sah kalau dinikahkan oleh pimpinan agama.
Advertisement
Eksklusi Terhadap Penganut Islam Tua
Pada Kartu tanda penduduk mereka harus menulis agama Islam padahal mereka bukan agama Islam. Pengecualian ini sudah dilakukan pemerintah sejak lama.
Di masa kekuasaan Winsulangi Salindeho sistem perkawinan diperjuangkan dan diakui sama dengan agama lain. Oleh pemerintah telah ditetapkan 3 orang pembantu pencatat pernikahan dalam kalangan Islam tua diantaranya bapak A. Masihor,S.Pd dan Ibu. R. Kirimang, S.Pd.
Atas pengecualian itu kemudian timbul pemahaman, mengapa justeru agama Kong Hu Chu mendapatkan hak-hak istimewah dari pemerintah sebagai Agama, sementara Agama Islam Tua sebagai Agama asli Indonesia tidak diberlakukan sama.
Keberadaan pemeluk Agama Islam tua sangat baik dan bersahaja ditengah kehidupan bermasyarakat, tidak berbeda dengan pemeluk agama Islam dan agama Kristen lainnya.
Agama Islam Tua pertama kali diajarkan dan dikembangkan secara nyata oleh seorang yang bernama Masade kira-kira lima ratus tahun yang lalu. Bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Kendar (kerajaan di Sangihe) pada masa pemerintahan Raja Syam Syach Alam.
Kerajaan ini adalah cikal bakal dari kerajaan Wulaeng ( wulaeng berarti emas). Pada masa pemerintahan Raja Syam Syach Alam (samang sialang nama julukan), kerajaan ini dikenal sebagai kerajaan yang kaya. Singgahsana raja dan semua perlengkapan Istana terbuat dari emas. Sampai satu saat sang raja melakukan kesalahan.
Konon, sebelum raja Syam Syach Alam melakukan dosa, sempat dinasehati oleh Masade, supaya jangan melaklukan kesalahan lagi. Karena raja tidak mengindahkan nasehat dari Masade,seminggu setelah dinasehati kerajaan ini ditenggelamkan kedasar laut oleh suatu bencana alam.
Masade dilahirkan sebagai yatim dan ditemukan oleh sepasang suami istri di antara semak belukar ketika masih bayi, nama aslinya adalah Mawu Masade yang berarti Karunia Tuhan. Menjelang dewasa Masade memperdalam keyakinanya di Tugis, Phillhipina. Banyak keajaiban telah dilakukan oleh Masade sejak kecil sampai dewasa.
Pada umur 66 tahun, Masade kembali ke Sangihe dan mengalihkan ajarannya kepada seorang yang bernama Penanging. Dari Penanging inilah Ajaran Islam Tua mulai tersebar luas. Semenjak wafatnya Masade dan Penaging ajaran agama Islam Tua kemudian di teruskan oleh Mahadure. Untuk lebih memperluas ajaran ini kemudian oleh Mahadure , diadakan pemuridan dan terpilihlah tiga murid yaitu Makung,Handung dan Biangkati.
Inti dari ajaran Agama Islam Tua adalah kemurnian jiwa. Diusahakan agar umat menjauhi sedapat mungkin aktivitas yang mengakibatkan dosa, dan pencerahan hanya dapat ditemukan jika berada dalam satu ritual keagamaan. Kepandaian seseorang tidak dapat menandingi kekuatan yang ditemukan dalam setiap Ibadah melalui hubungannya dengan sang pencipta.
Masjid Gunakan Lonceng
Tempat ibadah agama Islam Tua adalah masjid, sedangkan alat yang digunakan untuk memanggil umat dalam ibadah Shalat Jumat adalah Lonceng bukan Beduk. Agama ini dipimpin oleh seorang yang diberikan gelar Imam.
Kepemimpinan seorang imam sangatlah bijaksana dan harus dipatuhi. Menjadi Imam Mesjid bukan dari pemilihan tetapi atas kehendak Imam sebelumnya atau berdasarkan petunjuk langsung Tuhan yang maha esa. Jabatan Imam tidak menurun tetapi dilihat dari kearifannya dalam berjamaah dan aktivitasnya dalam ibadah.
Ibadah Shalat Jumat dimulai jam sembilan pagi disamping itu juga ada ibadah-ibadah setiap kelompok Jamaah. Ritual-ritual besar yang sering dilaksanakan diantaranya adalah: Sunatan, Puasa yang dilakukan selama sepuluh hari sebelum Idul Fitri dan yang paling meriah adalah Ritual “Diko u Solo” atau menyalakan lampu (lilin atau obor) pada sebuah wadah yang berbentuk pohon, juga perayaan Hari raya ketupat.
Selain itu dapat melakukan siarah kepusat ritual keagamaan di Pulau Enggohe. Dipulau inilah terdapat peninggalan leluhur agama Islam Tua termasuk beberapa ajaran asli dan tempat-tempat sakral.
Para jemaah ketika datang ke masjid, yang perempuan harus menggunakan jilbab dan yang laki-laki ada yang menggunakan kain sarung. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh penganut agama Islam Tua, sudah berlangsung sejak lama. Apapun yang sering dilakukan bukanlah hal yang menyesatkan seperti tuduhan banyak pihak.
Ada satu masa mereka harus duduk di dalam gereja atas undangan umat Nasrani ada satu saat pula umat Nasrani akan berkunjung ke jamaah Islam Tua karena hari raya. Di hari yang fitri nanti semua umat Islam Tua akan saling berkunjung dan bersalam-salaman agar terbuka semua pintu maaf.
Persebaran pemeluk agam Islam Tua meliputi kampung Pindang Sampakang, Kecamatan Manganitu Selatan (sekarang sudah punah) Kampung Lenganeng, sebagai pusat Agama Islam Tua, Kampung Kalekube dan Pulau Enggohe Kecamatan Tabukan Utara,dan di kota Bitung.
Sampai tahun 2007 pemeluk agama Islam Tua diperkirakan berjumlah 3.000 jiwa. Sekarang ini Agama Islam tua secara tidak langsung dipaksa bernaung dalam Organisasi Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Agama Islam tua merupakan bentuk kepercayaan asli Sangihe, yang tidak dapat ditemukan di daerah lain di Indonesia. Agama ini adalah bagian dari keragaman Agama dan kebudayaan Indonesia yang diamanatkan Pancasila dan UUD ’45. Islam Tua pantas dihidupkan bukan dipaksa mati.
(Sumber: https://sangihekab.go.id/2018/08/31/sejarah-islam-tua-lenganeng/ - )
Tim Rembulan
Advertisement