Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia buka suara terkait izin darurat penggunaan (Emergency Use Authorization/EUA) Cidofovir untuk obat cacar monyet (monkeypox). Hal ini merespons atas kedatangan Cidofovir di Indonesia baru-baru ini.
Menurut Kepala BPOM RI Penny K. Lukito, pengajuan registrasi Cidofovir sampai Sabtu (17/9/2022) kemarin, belum masuk ke BPOM. Artinya, BPOM belum menerima soal pendaftaran Cidofovir yang ditujukan sebagai pengobatan monkeypox untuk diproses izin edarnya.
Advertisement
Seperti diketahui, obat Cidofovir untuk pengobatan cacar monyet didatangkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Obat tersebut merupakan donasi dari Singapura.
"Hingga saat ini (17/9/2022), belum juga ada pengajuan registrasi yang masuk untuk obat Cidofovir ini," ungkap Penny saat dikonfirmasi Health Liputan6.com melalui pesan singkat, ditulis Rabu (21/9/2022).
Meski registrasi Cidofovir belum masuk ke BPOM, Penny menjelaskan, penggunaan obat itu sudah termasuk untuk kondisi darurat monkeypox. Mekanisme penggunaan dapat melalui Special Access Scheme (SAS).
SAS dapat diterapkan pada produk pangan dan obat-obatan negara Indonesia yang baik, termasuk penanganan wabah cacar monyet. Pada jalur akses ini, jumlah produk tersebut terbatas dan penggunaan yang dikendalikan oleh program dari Kemenkes.
"Untuk obat yang belum memiliki izin edar, namun dibutuhkan oleh rumah sakit atau dokter untuk penggunaan pada pasien dalam jumlah terbatas, dapat dilakukan melalui mekanisme SAS," jelas Penny.
Tanggung Jawab Kemenkes
Penggunaan obat melalui mekanisme Special Access Scheme (SAS), dijelaskan Penny K. Lukito, menjadi tanggung jawab dari yang mengajukan SAS. Walau begitu, peran BPOM dalam hal ini adalah merekomendasikan agar monitoring penggunaan obat dilakukan dengan ketat.
"BPOM selalu merekomendasikan untuk tetap dapat dilakukan monitoring yang ketat untuk keamanan dan keberhasilan terapinya dalam bentuk registrasi," lanjutnya.
Di sisi lain, Cidofovir yang berasal dari donasi Singapura dan masuk melalui mekanisme SAS, penggunaan obat tersebut dapat menjadi tanggung jawab Kemenkes.
"Dalam keterbatasan suplai dunia saat ini, dimungkinkan Kementerian Kesehatan mendapatkan obat Cidofovir dalam jumlah terbatas yang merupakan donasi dan masuk melalui mekanisme SAS di Kemenkes," tutup Penny.
"Oleh karena itu, penggunaan obat ini menjadi tanggung jawab Kemenkes."
Advertisement
Distribusi Cidofovir di Jakarta
Indonesia sudah menerima obat Cidofovir untuk cacar monyet dari Singapura. Obat ini termasuk obat antivirus yang juga bisa digunakan untuk pengobatan orthopoxvirus termasuk infeksi cacar monyet.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia Lucia Rizka Andalusia menyampaikan, obat Cidofovir saat ini disimpan di Gudang Farmasi Pusat Kemenkes, Jakarta. Namun, jumlah obat yang datang tidak disebutkan secara rinci.
Dikarenakan kasus cacar monyet di Indonesia tidak banyak, yang mana sampai saat ini baru terkonfirmasi satu kasus positif monkeypox, distribusi Cidofovir juga masih berpusat di Jakarta. Terlebih, Jakarta adalah provinsi terbanyak dengan laporan pemeriksaan sampel terkait kasus monkeypox.
Adanya kedatangan Cidofovir, obat Tecovirimat yang bisa digunakan untuk cacar monyet, sementara ini tidak digunakan dalam waktu dekat. Padahal, sebelumnya Indonesia disebutkan dalam proses pemesanan Tecovirimat ke Amerika Serikat (AS).
"Untuk obat Tecovirimat, kita enggak pakai. Kita sudah ada obat Cidofovir, sudah datang yang dari Singapura itu," ujar Rizka kepada Health Liputan6.com usai konferensi pers 'COMSTECH-OIC Fellowship Program dan Peresmian Laboratorium Jejaring OIC Center of Excellence (CoE) on Vaccines and Biotechnology Products di Gedung Kementerian Kesehatan RI, Jakarta pada Kamis, 15 September 2022.
"Sementara kasusnya (monkeypox) di kita (Indonesia) enggak banyak, ya fokusnya sentra di Jakarta, sudah disimpan di Gudang Farmasi Pusat Kemenkes. Jumlahnya (obat Cidofovir) berapa, saya enggak begitu hapal. Yang penting kita sudah secure (amankan ketersediaan obat)."
Bukti Penggunaan Cidofovir
Cidofovir -- yang juga dikenal sebagai Vistide -- adalah obat antivirus yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) AS untuk pengobatan retinitis sitomegalovirus (CMV) pada pasien dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
Retinitis sitomegalovirus adalah peradangan yang terjadi pada retina mata yang dapat menyebabkan kebutaan.
Dalam pembaruan CDC per 28 Juli 2022, tidak tersedia data tentang efektivitas Cidofovir dalam mengobati kasus cacar monyet pada manusia. Namun, telah terbukti efektif melawan orthopoxviruses dalam penelitian in vitro dan hewan.
Virus Monkeypox termasuk dalam genus orthopoxviruses. CDC memiliki protokol akses yang diperluas yang memungkinkan penggunaan Cidofovir yang disimpan untuk pengobatan orthopoxvirus (termasuk monkeypox) dalam wabah.
Tidak diketahui apakah seseorang dengan infeksi cacar monyet yang parah akan mendapat manfaat dari pengobatan dengan Cidofovir, meskipun penggunaannya dapat dipertimbangkan dalam kasus seperti itu.
Menurut CDC, obat Brincidofovir mungkin memiliki keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan Cidofovir. Brincidofovir adalah obat antivirus yang disetujui oleh FDA pada tanggal 4 Juni 2021 untuk pengobatan penyakit cacar manusia pada pasien dewasa dan anak-anak.
Tidak tersedia data tentang efektivitas Brincidofovir dalam mengobati kasus cacar monyet pada manusia. Serupa dengan Cidofovir, telah terbukti efektif melawan orthopoxviruses dalam penelitian in vitro dan hewan.
CDC saat ini sedang mengembangkan EA-IND untuk membantu memfasilitasi penggunaan Brincidofovir sebagai pengobatan cacar monyet.
Advertisement