Liputan6.com, Moskow- Empat wilayah yang dikuasai Rusia di Ukraina bagian timur dan selatan pada Selasa 20 September 2022 mengumumkan rencana mereka untuk memulai pemungutan suara, agar menjadi bagian dari Rusia. Upaya untuk mengambil alih wilayah tersebut didukung Kremlin, dan bisa menjadi langkah awal Moskow untuk kembali mengekskalasi perangnya menyusul klaim keberhasilan Ukraina di medan perang.
Penjadwalan referendum di Luhansk, Kherson, dan sebagian wilayah Zaposizhzhia dan Donetsk yang dikuasai Rusia.
Advertisement
Penjadwalan referendum tersebut dilakukan setelah Vladimir Putin mengatakan bahwa pemungutan suara tersebut diperlukan dan karena Moskow telah kehilangan kekuatannya sejak invasi pertamanya tujuh bulan lalu, seperti dikutip dari laman AP News, Rabu (21/9/2022).
Mantan Presiden Dmitry Medvedev, mengatakan bahwa referendum yang menarik daerah-daerah di Ukraina ke Rusia itu akan dibuat ulang perbatasan-perbatasanya dan 'tidak dapat diubah' dan kemungkinan Moskow akan menggunakan cara apa pun untuk mempertahankannya.
Pada tahun 2014, Rusia mengirim pasukannya ke Semenanjung Krimea lalu kemudian mengadakan referendum di sana yang membuka jalan aneksasi Krimea oleh Moskow.
Rencana pemungutan suara di wilayah yang sudah dikontrol Rusia jelas menguntungkan Rusia. Tetapi, oleh sebagian orang khususnya pemimpin Barat yang mendukung Kiev hal tersebut dianggap ilegal.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba salah satunya yang mengecam rencana pemungutan suara itu sebagai sebuah scam.
"Referendum tidak akan mengubah apapun," kata Dmytro kepada wartawan di markas besar PBB saat ia menghadiri pertemuan tahunan pemimpin dunia.
"Ini adalah tindakan keputusasaan dari Rusia, tetapi hal ini tidak akan membantu mereka," tambahnya.
Penasihat keamanan nasional As Jake Sullivan mengatakan Amerika Serikat tidak akan pernah mengakui wilayah tersebut selain sebagai bagian dari Ukraina, ia jug amenambahkan bahwa upaya Kremlin menunjukkan kegagalan Rusia di medan perang.
"Ini bukan tindakan negara yang ‘percaya diri’. Tindakan ini tidak menunjukkan kekuatan," kata Jake Sullivan.
Kanselir Jerman Olaf Scholz yang juga menghadiri Sidang Umum PBB di New York mengatakan: “Sangat jelas bahwa referendum palsu ini tidak dapat diterima.”.
Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengatakan bahwa rencana referendum ini merupakan “cynicism.”
"Rusia menyatakan perang dan sekarang menjelaskan bahwa di wilayah yang sama akan diadakan referendum. Jika ini tidak tragis, mungkin lucu," kata Macron seraya menambahkan bahwa pemungutan suara itu tidak akan memiliki konsekuensi hukum.
Referendum Mempercepat Perdamaian
Menteri Luar Negeri Latvia Edgars Rinkevics menuntut untuk memberikan lebih banyak sanksi terhadap Rusia dan lebih banyak senjata untuk Ukraina dalam tweetnya.
“Kita harus mengatakan tidak pada tekanan Rusia,” ujarnya dalam tweetnya.
Di Donetsk, bagian dari wilayah Donbas Ukraina yang telah ditetapkan Putin sebagai tujuan utama invasi, pemimpin kelompok separatis Denis Puhilin mengatakan pemungutan suara itu akan mengembalikan keadilan historis rakyat yang telah lama menderita di wilayah itu.
Daerah-daerah yang dikuasai Rusia di Ukraina bagian timur dan selatan mengumumkan rencana mereka pada selasa (20/9) untuk memulai pemungutan suara minggu ini untuk menjadi bagian dari Rusia. Upaya ini didukung oleh Kremlin untuk menarik empat wilayah yang ada di Ukraina ke Rusia.
Mereka “telah mendapatkan hak untuk menjadi bagian dari negara besar yang selalu mereka anggap sebagai tanah air mereka,” kata Edgars.
Sementara itu di Zaporizhzhia yang sebagian besar wilayahnya diduduki Rusia, aktivis pro-Rusia Vladimir Rogov mengatakan: “Semakin cepat kami menjadi bagian dari Rusia, semakin cepat perdamaian akan datang.”
Tekanan di internal Rusia untuk mendapatkan suara semakin meningkat setelah serangan balasan Ukraina yang dapat merebut kembali wilayah mereka yang luas.
Mantan speech writer Kremlin dan analis politik Rusia Abbas Gallyamov mengatakan di akun Facebooknya bahwa separatis yang didukung Moskow tampak takut bahwa Rusia akan meninggalkan mereka, di tengah serangan Ukraina. Tetapi mereka terus maju untuk rencana referendumnya dan memaksa Kremlin.
Advertisement
Fokus Penyerangan
Dalam sebuah wawancara di New York dengan “PBS News Hour,” Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa jika perdamaian ingin berada di Ukraina, pengembalian wilayah yang diserang oleh Rusia akan menjadi sangat penting.
Ia juga mengulangi pendapatnya bahwa Semenanjung Krimea harus dikembalikan ke Ukraina. Turki juga memiliki ikatan etnis yang kuat dengan Tatar Krimea. “Sejak tahun 2014, kami (Erdogan dan Putin) telah berbicara tentang ini dan itulah yang diminta darinya,” kata Erdogan.
Di kota Enerhodar yang diduduki Rusia, penembakan di sekitar pembangkit listrik tenaga nuklir terbesar di Eropa itu telah merusak sistem pendingin, ruang makan untuk staf, dan ‘bangunan khusus’, kata pemerintah setempat dalam sebuah pernyataan.
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporizhzhia telah menjadi fokus perhatian selama berbulan-bulan ini karena khawatir bahwa penembakan yang terjadi di sana dapat menyebabkan kebocoran radiasi. Namun, Rusia dan Ukraina saling menyalahkan satu sama lain atas penembakan itu.
Susah Diselesaikan
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan tidak ada kemungkinan penyelesaian diplomatik atas konflik tersebut. Medvedev, yang menjabat sebagai Presiden Rusia dari tahun 2008 hingga 2012, mengatakan bahwa referendum penting untuk melindungi penduduk mereka dan akan benar-benar mengubah jejak masa depan Rusia.
“Setelah referendum diadakan dan wilayah-wilayah tersebut menjadi bagian dari Rusia, tranformasi gepolotik dunia tidak dapat diubah,” kata Medvedev.
“Gangguan ke wilayah Rusia merupakan kejahatan yang membuat segala cara akan dilakukan untuk mempertahankan wilayah-wilayah di Rusia,” kata Medvedev serata menambahkan bahwa Rusia akan mengukuhkan wilayah-wilayah yang baru dalam konstitusinya sehingga tidak ada pemimpin Rusia di masa depan yang dapat menyerahkannya kembali.
“Itulah mengapa mereka sangat takut dengan referendum di Kyiv dan di barat, dan itulah mengapa referendum itu harus diadakan” kata Medvedev.
Analis Ukraina Volodymyr Fesenko, kepala think tank Penta Center di Kyiv, mengatakan Kremlin berharap pemungutan suara dan kemungkinan ekskalasi militer akan meningkatkan tekanan dari pemerintah Barat agar presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memulai pembicaraannya dengan Moskow.
Perebutan kembali wilayah oleh Ukraina, terutama di wilayah Kharkiv timur laut, telah memperkuat argumen Ukraina bahwa pasukannya dapat menimbulkan kekalahan yang lebih besar bagi Rusia dengan adanya pengiriman persenjataan tambahan ke Ukraina.
Advertisement