Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman RI akan memanggil Menteri Pertanian (Mentan) pada Kamis (22/9/2022) besok di Kantor Pusat Ombudsman RI untuk memberikan solusi atas tertahannya produk impor hortikultura di Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak dan Belawan sejak 4 September 2022 oleh Badan Karantina Pertanian (Barantan).
Penahanan produk impor ini lantaran importir belum mengantongi dokumen Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Hingga 20 September 2022, total kerugian importir diperkirakan mencapai Rp 10 miliar, dan total nilai barang mencapai Rp. 100 miliar dengan volume barang mencapai 400 peti kemas (kontainer).
Advertisement
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menjelaskan, pihaknya telah melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap Barantan, Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, hingga pemeriksaan lapangan (sidak) ke Pelabuhan Tanjung Priok pada Senin (19/9/2022) lalu.
"Sehubungan belum adanya solusi konkret dari pihak Kementerian Pertanian, besok Ombudsman melakukan pemanggilan terhadap Menteri Pertanian untuk hadir secara langsung tanpa diwakilkan, guna memberikan solusi atas permasalahan dimaksud," ujar Yeka di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Di sisi lain, Yeka mengatakan, dari pihak Kementerian Perdagangan dan Kemenko Bidang Perekonomian telah sejalan dalam menyampaikan solusi atas permasalahan ini. Dengan mendorong pemberian kebijakan maupun diskresi atau relaksasi berupa penundaan pemberlakukan Permentan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengawasan RIPH terhadap Persetujuan Impor (PI).
Pemeriksaan Sementara
Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, Yeka mengungkapkan, Ombudsman berpendapat bahwa terdapat tumpang tindih regulasi mengenai persyaratan impor produk hortikultura, yakni Permentan 39/2019 - Permentan 2/2020 - Permentan 5/2022, dengan Permendag 20/2021 - Permendag 25/2022.
"Adanya tumpang tindih regulasi ini menyebabkan tidak jelasnya prosedur pelayanan publik dalam importasi produk hortikultura dan pada akhirnya merugikan masyarakat, khususnya para pelaku usaha atau importir yang mengakses layanan. Hal ini tidak sesuai dengan standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 21 UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik," tegasnya.
Kemudian, Ombudsman berpendapat, kegiatan impor yang dilakukan oleh pelapor secara hukum telah sah karena telah memiliki izin berupa Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan.
Terkait Permentan 05/2022 tentang Pengawasan RIPH sebagai dasar hukum penahanan barang impor, Yeka menyatakan, seharusnya tidak berlaku surut terhadap SPI yang dimiliki oleh pelapor/importir yang telah diterbitkan sejak Januari-April 2022.
Advertisement
Laporan Masyarakat
Sebelumnya, pada 9 September 2022 Ombudsman menerima laporan masyarakat dari para pelaku usaha (importir), yang menyampaikan pengaduan dan keberatan atas penahanan produk impor hortikultura oleh Badan Karantina Pertanian, dengan alasan tidak RIPH di Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak dan Belawan.
Padahal, mereka sudah memiliki Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan. Pelapor merupakan importir yang mengimpor produk hortikultura seperti jeruk mandarin, lemon, anggur, cabai kering, dan lengkeng.
Di sisi lain, dengan tertahannya barang impor tersebut importir harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menjaga agar barang tersebut tetap aman berupa biaya penumpukan listrik, dan biaya demurrage (batas waktu pemakaian peti kemas di dalam pelabuhan).
"Ombudsman merespons laporan masyarakat secara cepat untuk menekan potensi kerugian yang dialami oleh masyarakat. Harapannya dapat ditemukan solusi atau jalan keluar yang tidak merugikan masyarakat dan adanya harmonisasi kebijakan pada kementerian terkait," pungkas Yeka.