Penjelasan Mendagri Tito soal Pj Kepala Daerah Bisa Mutasi dan Berhentikan ASN  

Mendagri Tito Karnavian mengatakan, banyak yang mempermasalahkan SE tentang penjabat kepala daerah boleh memutasi dan memberhentikan PNS.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Sep 2022, 04:25 WIB
Mendagri Muhammad Tito Karnavian dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Implementasi PPKM Darurat di Jawa dan Bali yang dilaksanakan secara virtual, Kamis (1/7).

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, banyak yang mempermasalahkan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 821/5492/SJ tentang penjabat kepala daerah boleh memutasi dan memberhentikan pegawai negeri sipil (PNS).

"Jadi disampaikan SE ini di trigger semenjak adanya 6 Kepala Daerah Gubernur dan 68 PJ Bupati, Walkot, jadi 76 sekarang. Ini mulai Otonomi Daerah (Otda) ini mulai teriak-teriak, mulai mengeluh, mempermasalahkan, galau. Karena banyak sekali sudah mulai, kan enggak boleh mutasi pegawai," kata Tito kepada wartawan, Rabu (21/9).

"Ada beberapa persetujuan yang perlu yang dimintakan Mendagri harus tandatangan terkait mutasi pegawai. Ini luas sekali, setelah dilihat ada hal-hal bisa disimpelkan," sambungnya.

Ia menyebut, yang pertama mengenai kewenangan untuk menandatangani surat pemberhentian sementara kepada mereka pejabat ASN yang sudah terkena pidana. Kemudian, yang sudah terkena, diputuskan dalam sidang pelanggaran disiplin yang nyata.

"Mereka ini untuk PJ, kalau untuk definitif enggak perlu persutujuan Mendagri. Ada PP menjelaskan bahwa tidak boleh terjadi kekosongan, bila ada pejabat ditahan harus diberhentikan dan harus segera diisi. Ini sudah mulai banyak," sebutnya.

"Kedua mutasi antardaerah, isunya ketika SE keluar, temen-temen media mengutip judulnya. Saya aja yang baca kaget, karena bukan kewenangan itu diberikan. Tapi poinnya di 4a dan 4b. Yaitu sudah terkena masalah hukum, sudah ditahan, itu harus diberhentikan. Kalau nunggu kita panjang. Kalau semua minta izin tertulis Kemendagri, prosesnya panjang," sambungnya.

Menurut mantan Kapolri ini, apabila 270 daerah menumpuk di Otda. Maka nantinya akan menjadi banyak lagi. "Ini baru 74, 270 berarti 3 kali lipatnya numpuknya. Sehingga yang bisa disimpelkan, disimpelkan. Jadi masalah teknis saja," ujarnya.

 


Tak Bisa Sewenang-Wenang

Ia pun mengungkapkan, isu ini pun menjadi berkembang dan seolah-olah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah memberikan kewenangana penuh terhadap PJ untuk memberhentikan dan mutasi jabatan.

"Sudah dijelaskan Kapuspen, tapi saya marahi. Karena enggak detail, ini ada fenomena blind leads blind, berkomentar salah akhirnya salah. Makanya saya bilang ralat judulnya dan makasih Pak Guspardi Gaus bilang Kemendagri memberikan kewenangan amat terbatas," ungkapnya.

Selain itu, ia mengaku, ada kekhawatiran banyak pihak akan terjadi politisasi karena adanya kewenangan tersebut. Namun, kewenangan itu hanya ada saja yakni menandatangani yang sudah berhadapan dengan masalah hukum dan harus diberhentikan.

"Itu pun 7 hari kemudian harus lapor Kemendagri, dan saya bisa meralat. Dan kedua mutasi antardaerah, nanti prosesnya tetep ke Kemendagri, lalu ke Otda, diserahkan ke BKN. Kemudian disetujui atau tidaknya. Jadi sekadar tandatangan persetujuan mutasi daerah, enggak harus ke saya, karena nanti akan numpuk," paparnya.

"Karena kami ingin berikan pelayanan fleksibel dan lincah, dan menurut saya enggak bertentangan dengan UU. Kalau ada PJ yang sewenang-wenang, kita perketat. 3 bulan sekali mereka berikan pertanggungjawaban. Kedua sistem pengawasan kita harus paham juga temen-temen menjabat ini SK-nya mereka satu tahun, bisa diperpanjang orang sama atau berbeda," tambahnya.

Ia menegaskan, kalau PJ terlalu banyak sewenang-sewenang akan bisa diganti. Apalagi, jika tidak puas juga akan jauh lebih gampang lagi untuk melakukan pergantian.

"Temen-temen PJ ini penugasan Presiden dan Mendagri. Temen-temen ini karena penugasan bisa dipanggil DPR melalui Mendagri. Jadi temen-temen Komisi II sampaikan ke Kemendagri untuk dihadirkan. Saya enggak keberatan, kami enggak akan lindungi kalau melakukan sewenang-wenang, kalau enggak puas dengan pengawasan di Kemendagri," tutupnya. 

Reporter: Nur Habibie/Merdeka.com

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya