Liputan6.com, Jakarta - Laskar Rempah DKI Jakarta, Mohammad Resyad Ghifari Mulyadi, berkesempatan mengikuti Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022 pada Juni 2022. Ini adalah sebuah program di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan.
"(Ini) bertujuan tapak tilas dan merevitalisasi jalur rempah untuk nantinya diajukan jadi Warisan Budaya Takbenda (UNESCO) di 2024," kata Mo, begitu ia akrab disapa, dalam bincang virtual "Intercultural Connection and Understanding" dalam International Forum On Spice Route (IFSR) 2022, Rabu, 21 September 2022.
Mo menjelaskan, ia menjelajah ke jalur rempah di Indonesia Timur dengan menyambangi Ternate, Tidore, Banda Neira, dan Kupang. Perjalanan dilakukan dengan Kapal Republik Indonesia (KRI) Dewaruci selama dua minggu ke daerah tersebut.
Advertisement
"Pertama kali saya ke timur Indonesia dan melihat ada sebuah ketersambungan dan kemiripan dengan titik rempah yang ada di Pantai Utara Jakarta dan Melaka. Pertama, mereka sama-sama menuturkan bahasa melayu, itu yang paling kentara untuk saya," lanjut pria yang pernah melanjutkan studi di Malaysia tersebut.
Saat di Ternate, Maluku Utara, ia tinggal di sebuah asmara haji dengan pemandangan Gunung Gamalama. Dari posisi gunung tersebut, ia dapat melihat Pulau Maitara dengan di belakangannya terdapat Pulau Tidore.
Berlanjut saat perjalanan ke Banda Neira, Mo menyampaikan rombongan disambut Belang Adat, sebuah acara bergengsi antarnegeri adat di Pulau Banda. "Mereka beriringan kanan-kiri menyambut di pelabuhan," katanya.
Dari Banda hingga Kupang
Mo berkata, "Pulau Banda ini bisa dibilang titik nol rempah Indonesia karena pertama kali VOC datang itu mencari pala ke Pulau Banda. Di situ mereka bikin start-up, pertama kali bikin kebun, dan menerapkan sistem tanam paksa."
Kemudian Mo dan perwakilan Laskar Rempah dari 34 provinsi juga menjejakkan kaki di Kupang. Ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur itu dikatakannya memiliki rempah paling kuat, yakni cendana.
"Mungkin bisa dibilang rempah-rempah pewarna alam untuk kain wastra. Saya paling kagum waktu melihat cara mereka bikin tenun karena satu per satu dipintal, dibikin polanya. (Kain) high grade berharga mahal itu pakai pewarna alam dan rempah-rempah semuanya," ungkap Mo.
Ia melanjutkan, dari semua pengalaman saat dirinya pertukaran pelajar ke Kanada pada 2014, kuliah di Malaysia, hingga perjalanan Muhibah Budaya Jalur Rempah, Mo menyimpulkan ada tiga bahasa universal yang dapat digunakan untuk memahami satu sama lain. Ketiga hal ini disebut Mo yang paling efektif.
Advertisement
3 Cara Memahami Hubungan Antarbudaya
1. Musik dan Menari
"Tidak bisa kita pungkiri, musik adalah bahasa universal yang walau kita enggak tahu bahasa yang mereka tuturkan, dengar musiknya saja bisa joget. Kekuatan musik itu sangat transendental, bisa menyampaikan sebuah pesan tanpa harus mengucapkan apa-apa. Terutama di Indonesia Timur kemarin, musik dan joget itu adalah bahasa budaya," kata Mo.
Ada pula momen ketika ia ke Desa Tubo di Ternate yang menanam cengkih. Di sana, ia disambut dengan musik togal dengan instrumen yang terdiri atas tifa, gong, dan viol.
"Di situ, kita disambut musik dan mama-mama Ternate langsung joget, kita diajak joget, itu bahasa budaya di sana, semua orang otomatis kalau ada musik itu joget. Malam ada acara di Benteng Oranje dengan Wali Kota dan Sultan Ternate, mereka mainkan lagu, langsung semua orang tahu gerakan (tariannya). Dua-duanya sudah terbukti selama pengalaman saya bisa memecah barrier dan rasa canggung," tambahnya.
Ia dan rombongan juga sempat ke festival musik di Tidore bernama Marasante. Di festival tersebut, banyak sanggar sekitar Ternate dan Tidore yang menampilkan karyanya.
"Di sini, hubungan antarbudaya jalur rempah yang kuat itu di-expose. Kalau musik berdasarkan seni tutur itu musik togal, mereka juga memainkan musik yangger, ini adalah narasi musik yang masuk dari Barat, yaitu Portugis. Kalau di Pantai Utara Jakarta namanya Keroncong Tugu, jadi ada benar-benar penelitian antara Keroncong Tugu dan musik yangger yang nantinya berevolusi jadi musik keroncong sekarang. Ada narasi ketersambungan, jalur rempah ini bekasnya sampai sekarang masih ada dan masih sangat kuat," tambahnya.
2. Makanan
Bukan hanya musik dan menari, makanan juga jadi bahasa universal selanjutnya. "Makanan di Ternate selalu ada puding, mungkin itu jejak Portugis di sana. Yang saya foto itu puding jagung. Mau nasi kotak, prasmanan, semua ada puding," kata Mo.
Selain itu, hal lain yang berkesan ketika bertandang ke Banda Neira adalah teh rempahnya. "Teh rempah pakai pala kayu manis luar biasa wanginya. Ada juga kue talam pakai bubuk pala dan kacang kenari. Makanan di sepanjang jalur rempah sangat kaya," lanjutnya.
3. Rasa Sakit
"Cara memahami hubungan antarbudaya paling kuat adalah rasa sakit karena akan menumbuhkan empati dan sesuatu yang paling nyata di hidup kita. Mencari kebahagiaan tidak ada habisnya. Kalau belajar mencintai rasa sakit mungkin hakikat yang bisa didapatkan. Tidak ada sakit yang relatif," terang Mo.
Rasa sakit pertama yang dijelaskan Mo adalah ketika ia dan rombongan tapak tilas melalui laut dari Banda Neira ke Kupang dengan KRI Dewaruci. "Dihantam ombak laut tujuh meter, semua orang muntah dan lemas, dapur tidak bisa beroperasi, air masuk ke kapal, mesin mati dua kali, laci terbuka, tempat minum bergelindingan, sampai air AC bocor," tambahnya.
"Narasi ketersambungan di Banda Neira, yaitu didatangkan leluhur-leluhur Banda yang dulu terpisah 400 tahun lalu setelah genosida di tahun 1621 yang hijrah dari Banda, akhirnya dipersatukan lagi saat kedatangan kita. Kita menyaksikan genosida dan peristiwa sejarah ini di jalur rempah, baik dan buruk kita dapat. Rasa sakit itu jadi satu juga dengan kita. Pagi itu kita doa bersama di Benteng Nassau, tempat pembantaian dan tabur bunga," tutupnya.
Advertisement