Liputan6.com, Jakarta Semakin menurunnya tren COVID-19 nasional, epidemiolog Dicky Budiman dari Griffrith University, Australia mengingatkan, lebih penting membuat COVID-19 terkendali ketimbang mengejar fase masuk endemi. Menurutnya, di balik fase endemi tetap ada ancaman yang harus diperhatikan.
"Endemi itu sebenarnya suatu status yang sifatnya juga enggak statis ya, dia itu dinamis, meskipun misalnya, DKI sudah 100 persen dikatakan endemi. Justru yang harus dikejar status terkendalinya," ujar Dicky dalam keterangan yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Kamis (22/9/2022).
Advertisement
"Jadi, ini (endemi) kan bukan juga status yang bisa kita banggakan dan bisa berbahaya. Pelajaran dari cacar monyet (monkeypox), status endemi bisa menjadi permasalahan ketika dia berubah karakter menjadi epidemi."
Endemi adalah kondisi dengan penyakit selalu muncul dan menjadi karekteristik di wilayah tertentu, tetapi dengan jumlah kasus yang rendah dan bisa dikendalikan.
Dicky berharap bila pandemi COVID-19 menjadi endemi, maka endeminya tidak di Indonesia. Utamanya adalah menekan peluang virus Corona bersirkulasi.
"Saya ingin mengingatkan kepada publik dan Pemerintah bahwa sebetulnya endemi itu tidak bagus dan bahaya. Artinya, kalaupun kita berupaya, ya jangan sampai endeminya di Indonesia," terang Dicky.
"Kita harus masuk ke dalam satu fase yang sebenarnya terkendali ya. Tapi tentu upaya itu akan sangat bergantung pada kombinasi perubahan perilaku dan upaya pemerintah dalam menemukan kasus secara cepat sehingga kita bisa meminimalisir peluang virus bersirkulasi di wilayah Indonesia."
Ancaman Kesehatan Lain
Berkaitan dengan fase endemi, Dicky Budiman menegaskan, kondisi tersebut tidak hanya dilihat dari terpenuhinya cakupan vaksinasi COVID-19. Selain itu, pelonggaran protokol kesehatan juga tidak bisa digeneralisasi karena tergantung kondisi daerah masing-masing.
"Untuk masuk status endemi ini, enggak bisa dikatakan karena cakupan vaksinasi sudah terpenuhi. Tidak seperti itu," katanya.
"Untuk pelonggaran protokol kesehatan tidak dimaknai adalah sebagai satu upaya yang tidak digeneralisir, itu tidak bisa diterapkan."
Di sisi lain, ada pula ancaman kesehatan seperti permasalahan polusi di kota-kota besar. Dalam hal ini, ada ancaman kesehatan lainnya yang juga menjadi hal yang dipertimbangkan dalam memasuki fase endemi.
"Misalnya, yang namanya flu, sehingga pakai makser, pembatasan, peningkatan kualitas udara menjadi satu hal yang tetap perlu dijaga," pungkas Dicky.
Advertisement
Booster Lindungi Kelompok Rawan
Upaya yang perlu dikejar Pemerintah sekarang adalah cakupan vaksinasi booster. Hal ini demi memberikan perlindungan kepada kelompok populasi yang rawan seperti lansia dan komorbid.
"Booster ya penting sekali. Pada tahap ini, kita harus upayakan booster. Kita lakukan untuk melindungi kelompok yang paling rawan, walaupun pada akhirnya nanti itu hanya akan sangat selektif ya," Dicky Budiman melanjutkan.
"Maksudnya pada kelompok-kelompok yang betul-betul diperlukan mendapat booster dan juga nanti yang memang akan berpergian ke daerah endemi."
Berdasarkan data Vaksinasi COVID-19 Kemenkes per 22 September 2022 pukul 11.35 WIB, vaksinasi dosis 3 atau booster pertama di angka 26,83 persen (62,9 juta dosis suntik) dan dosis 4 atau booster kedua tenaga kesehatan di angka 39,09 persen (574.098 dosis suntik).
Sementara itu, cakupan vaksinasi dosis 1 di angka 87,10 persen (204,4 juta dosis suntik) dan dosis 2 di angka 72,88 persen (171 juta dosis suntik).
Optimistis Status Pandemi Dicabut 2023
Selanjutnya, Dicky Budiman optimistis status pandemi COVID-19 bisa dicabut oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) paling cepat akhir tahun 2022 atau awal 2023. Namun, tentunya sejumlah hal terkait kriteria pencabutan mesti diperhatikan.
"Beberapa waktu lalu juga sudah sudah saya sampaikan bahwa kalau saya ekspektasinya ya estimasi optimis akhir tahun ini yang paling cepat ya atau awal tahun depan itu akan bisa dicabut status pandemi," jelasnya.
"Dengan alasan, kita melihat tren efektivitas atau manfaat dari vaksin COVID-19 sangat jelas dalam menurunkan keparahan maupun fatalitas atau kematian. Meskipun (vaksinasi) tidak 100 persen (melindungi), tapi ada pengurangan jumlah virus yang ditularkan dari orang yang terinfeksi."
Poin selanjutnya, selain tren COVID-19 yang membaik secara global maupun nasional, seberapa besar imunitas yang terbentuk di komunitas juga harus dipertimbangkan, baik imunitas hybrid yang merupakan kombinasi infeksi alami virus Corona dan vaksinasi atau vaksinasi sendiri.
"Alhamdulillah, semua itu bisa menjadi dasar penguat pemulihan yang ditandai dengan pelonggaran-pelonggaran (pembatasan/protokol kesehatan)," imbuh Dicky.
Advertisement